“Siapa dia?” gumam Atira pelan. Ia pun berusaha menoleh ke arah perempuan itu. Nihil. Selain gelap, perempuan itu melakukan panggilan di ruangan lain.
Atira terdiam dan berpikir, dari cara perempuan itu berbicara, ia terdengar ketakutan dan kemungkinan nyawanya aman untuk sementara.“Ah ya, tadi kayanya adzan subuh. Biasanya bapak-bapak banyak yang ke Mesjid. Harusnya aku berteriak saat mereka bubar.”Atira menghembuskan nafas kesal karenanya. Tadi ia tak memperkirakan hal itu.Terdengar krasak krusuk suara langkah beberapa orang di depan rumahnya.Ceklek...Pintu rumah Atira terbuka dari luar dengan pelan-pelan. Atira langsung pura-pura tak sadarkan diri karena mengira bahwa yang datang adalah orang yang berada di sambungan telepon perempuan tadi.“Stop kontaknya sebelah kanan, Pah!” ucap seorang wanita dari luar rumah. Tentunya dengan setengah berbisik, namun Atira tetap mengenali suaranya.“Bu Retno!” ucapnya dalam hati.“Emmmmm...!” Dug... dug... dug.Atira berusaha berbicara sambil menendang-nendangkan kakinya yang terikat ke tembok di belakangnya.“Siapa itu?” ucap pak Ramli, suami bu Retno.“Kenapa Pak Ramli?”Ternyata di luar masih ada beberapa orang lainnya.Bu Retno meringsek masuk untuk menyalakan lampu sendiri karena suaminya tak juga menemukan stop kontak tersebut.Pak Ramli menatap orang yang tergeletak di bawah dalam keadaan terikat tanpa menghampirinya. Wanita itu terus berusaha berbicara dengan mulut yang tersumpal. Belum jelas siapa wanita yang terikat itu karena setahu mereka penghuni rumah ini sedang berada di rumah sakit.Bu Retno menekan stop kontak dan keadaan langsung berubah terang.“Tira...!” ucap mereka serempak.Bapak-bapak lain yang sedari tadi berada di luar pun kini meringsek masuk setelah mendengar teriakan yang memanggil nama Atira.“Kenapa kamu, Tira?” tanya bu Retno sambil berlari ke arah Atira yang terikat di ujung dekat pintu. Bu Retno segera duduk dan melepaskan sumpalan kain dari mulutnya. “Tira, huhuhuhuhu!”“Awas perempuan itu kabur dari pintu belakang! Barusan ia masih ada di tengah,” ucap Atira sesaat setelah sumpalan mulutnya terlepas. “Ya Tuhan, jilbab punyaku,” lirihnya dalam hati saat ia melirik ke arah kain yang telah terlepas dari mulutnya.Pak Ramli dan beberapa bapak-bapak lain ada yang masuk ke ruang tengah dengan membawa pemukul apapun yang mereka temukan di rumah Atira. Sedangkan sebagian lain yang masih berada di luar, langsung mengepung rumah Atira.“Woy keluar!” terdengar teriakan bapak-bapak yang terdengar emosi. Sedangkan bu Retno sedang melepaskan ikatan Atira dengan cara mengguntingnya. Atira diikat menggunakan tali rapia yang dilipat berkali-kali sehingga ikatannya cukup kuat.“Tira, kenapa kamu ada di sini? Gimana bu Asih?” tanya bu Retno dengan berurai air mata.“Mas Bayu pulang, Bu!” ucap Atira dengan suara bergetar.“Apa? Kapan? Syukurlah!” ucap bu Retno. “Seenggaknya kamu bisa fokus sama Davin dan Daffa.”“Aku udah ditalak 3 sama Mas Bayu. Davin diculik, Bu!” lirih suara Atira namun masih terdengar oleh bu Retno.“Apa? Apa maksud kamu, Tira?” tanya bu Retno dengan wajah kagetnya.“Aku ke sini mau bawa baju-bajuku sama Daffa. Katanya mas Bayu bawa istri barunya pulang.”“Apa?” bu Retno semakin tercekat mendengar penuturan Atira. “Malang sekali nasibmu, Nak!” tuturnya sambil melanjutkan kegiatannya menggunting tali pengikat kaki Atira. Air matanya pun menganak sungai.“Ketemu juga kamu! Pintar sekali ngumpet di dalam tong sampah.”“Uuuhhh... “Terdengar euforia bapak-bapak yang nampaknya sudah menemukan si penjahat.Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A