POV AtikaMalam ini, adalah malam pertamaku tidur terpisah dengan Mas Yoga. Sebenarnya tidak ada bedanya, saat sekasur dengan Mas Yoga pun, tidurku tidak pernah terganggu, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Saat tengah malam, ataupun menjelang pagi, salah satu pasangan ada yang membangun untuk pemenuhan kebutuhan hasrat.Dahulu di awal-awal rumah tangga seperti itu, saya atau Mas Yoga yang berinisiatif untuk memulai, tetapi harus berakhir dengan mengecewakan, sampai akhirnya saya jadi terbiasa. Karena saat ini saya pun belum pernah melakukannya. Yang berbeda hanyalah, tidurku tidak lagi sebebas dulu, yang bisa berputar ke sana ke mari, aku harus berbagi tempat tidur dengan suamiku.Selepas Isya, saya sudah menutup pintu kamar, walaupun saat ini sedang tidak salat karena adanya tamu bulanan yang datang berkunjung. Dari sakit tadi hingga sewaktu-waktu sebelum saya masuk ke dalam kamar, perlakuan Mas Yoga, ibunya, dan Henny, benar-benar sangat berbeda. Saya dilayani layaknya seo
Part 15Selepas sarapan lontong sayur pemberian dari mantan ibu mertua. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi chat yang penggunanya paling banyak di dunia. Pesan dari Susi, sahabat sepermainan Erika adikku saat di kampung dahulu, dan kebetulan rumah Susi tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal, hanya berbeda perumahan saja.[ Mbak Atika, bisa ketemu nggak di Taman Bahagia, sebentar lagi.][Boleh, Sus, kebetulan lagi ada waktu luang. Mbak berangkat sekarang, ya?][Iya, Mbak Atika, tak tunggu. Saya sudah di depan permainan anak, sembari ngawasi Indri.][Iya, Sus, embak langsung jalan, ya.][Ok, Mbak.]Taman Bahagia, letaknya tidak terlalu jauh dari gerbang utama perumahan tempatku tinggal. Tempatnya strategis, dikelilingi banyak perumahan berbagai macam kelas, dan sering dijadikan tempat untuk janjian bertemu, karena mudah untuk ditemukan.Tidak terlalu jauh dari pintu masuk taman, sosok Susi sudah terlihat sedang duduk-duduk di bangku yang tidak jauh dari berbagai macam permainan anak.
Part 16Selepas menemani Ida sarapan pagi, kawanku itu langsung menuju ke tempat kerjanya, sedangkan aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Sepanjang jalan, apa yang tadi kami bicarakan terus saja menganggu pikiranku. Sebaik apa pun yang sekarang sudah ditunjukkan mantan mertuaku, atau keinginan Mas Yoga untuk tetap tinggal bersamanya. Mengikuti mau mereka tetaplah sebuah kesalahan, walaupun aku tidak tidur "bercampur" dengan mantan suami, tetapi kesembuhan Mas Yoga, tetap harus di waspadai. Aku takut khilaf, karena sejujurnya aku masih peduli terhadapnya.Perubahan drastis yang dilakukan mantan ibu mertua pun menjadi pemikiranku. Dia mungkin sekarang bersikap baik karena kondisi anaknya yang sedang sakit, tetapi bukan tidak mungkin jika mantan ibu mertua tahu, jika Mas Yoga ternyata sudah sembuh, sifatnya akan kembali seperti semula. Aku hanya dikorbankan untuk terus menjaga kelemahan anak kesayangannya. Karena kemungkinan, tidak ada seorang perempuan pun yang mau menjadi pasanganny
Kedua nenek sihir masih berada di kamarnya, saat aku menemani Ceu Imas berkemas. Kuwanti-wanti untuk mengganti nomor handphone atau pun menon aktifkan nomor hape-nya hingga seminggu ke depan nanti, sampai Ceu Imas benar-benar sudah merasa puas berkumpul dengan keluarganya.Kuberikan gaji sebulan ke depan untuknya, buat pegangan selama di kampung nanti. Saya benar-benar paham, bagaimana rasanya rindu dengan keluarga, walaupun bisa lewat handphone, tapi tetap tidak bisa menggantikan sentuhan kulit.Kuantar dan kupesankan ojek online buat mengantar Ceu Imas ke terminal bus. Mantan bumer dan Henny masih di dalam kurungan, jadi mereka semua tidak tahu tentang pulang kampung pembantunya di rumah ini. Kembali ke dalam rumah, dan langsung menuju dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkannya Ce Imas, dan keluarkan air dingin ke dalam kamar, kunci pintunya dan langsung tidur setelahnya. Saya harus menikmati masa-masa kebebasan ini.Menjelang sore, suara berisik di luar kamar membangunk
"Jangan menekan ibu seperti itu, Atika." Paras wajahnya terlihat memerah, entah marah entah ingin menangis, karena terus kutekan tentang hutang piutang."Aku nggak merasa menekan ibu, hanya ingin memastikan, kapan ibu mau membayar hutang? Harusnya ibu berterima kasih sudah aku ingatkan, jika nanti keburu nggak ada umur masih meninggalkan hutang, berat loh, Buk," sindirku, wajahnya semakin memerah."Ibuku punya hutang apa, Dek.""Deg...." Jantungku terasa berhenti berdetak, mendengar suara Mas Yoga di belakangku, begitupun ibunya sendiri, kami berdua tidak menyangka jika Mas Yoga sudah pulang dari kantor."Nggak, Yoga, Atika bohong, ibu tidak pernah berhutang duit sama Atika," ujarnya cepat. Yoga lalu mendekati ibu, dan mencium tangannya."Yang benar yang mana, Dek. Ibu bilang, tidak pernah berhutang dengan Adek?" sembari duduk di sofa, berhadapan denganku. Aku santai saja menanggapinya."Menurut Mas?" Mas Yoga terlihat sedikit kebingungan, mendapat pertanyaan balik dariku."Kok, balik
Part 19 Langkahku sudah melewati pintu pagar halaman. Mobil Mas Yoga ternyata terparkir di pinggir jalan depan rumah, pantas saja tadi tidak terdengar suara kendaraannya. "Deekkk....!" Mas Yoga berlari dari dalam rumah, mengikutiku. Tak kuhiraukan panggilan darinya, gegas kumelangkah lebih cepat. Mas Yoga menahan langkahku, berdiri tepat di hadapanku, menghalang-halangi, agar aku membatalkan niat pergi meninggalkan rumah. "Jangan tinggalkan mas, Dek, Adek tahu, 'kan, jika Mas sangat mencintai Adek," sapanya, memohon. Terlihat kesungguhan di dalam kaca mata. "Minggir, Mas, jangan halangi aku," sentakku, mendorong tubuhnya. "Tolong, Atika, jangan tinggalkan, Mas," pintanya, memohon sekali lagi. Setengah bernyanyi saat berucap."Mas lupa, kalau sudah menjatuhkan talak terhadapku," ucapku, mengingatkan. "Biarkan aku pergi, Mas." "Aku khilaf Dek, aku tidak tahu jika itu semua adalah fitnah," Jawab Mas Yoga. Sembari memegang bahuku, kulepaskan kedua tas dari genggaman, untuk menepis
Part 20Aku dan Adit menoleh hampir bersamaan ke arah suara yang membentak tersebut."Erna," desis kupelan. Erna dan seorang kawannya semakin mendekat."Kamu kenal, Anita?" tanya Adit pelan, aku hanya mengangguk."Jadi ternyata tuduhan Henny dan ibunya Yoga, benar adanya," sindirnya, dengan senyuman merendahkan. Kudiamkan saja ucapan Erna, Adit yang sepertinya ingin menyanggah, kukasih kode untuk tidak meladeninya. Kusibukan berdua Adit memakan makanan yang sudah dipesan, menganggap tidak ada siapapun di tempat ini, selain aku dan Aditya."Hei, perempuan jalang tidak punya malu!" sentaknya keras. Tidak lagi kubanyak bicara, berdiri cepat lantas melayangkan sebuah tamparan keras, tanpa Adit sempat mencegah."Auuchhh .....!" Perempuan bermulut pedas itu menjerit kesakitan, wajahnya langsung terlihat memerah, matanya sudah berair, mungkin menahan perih pada pipinya. Kawannya yang ingin menyerang kugertak terlebih dahulu."Cepat, maju sini, akan kutampar kau dua kali lebih keras daripada
Part 21"Jadi ini penyebabnya, sehingga kamu bersikeras ingin ke luar rumah," sindir Mas Yoga, matanya tajam menatap Adit. Aku dan Aditya masih diam saja, toh, kami pun tidak melakukan apa-apa."Sepertinya saya pernah melihat kamu," ujar Mas Yoga kepada Adit, tatapan matanya menyimpan amarah, atau mungkin juga cemburu."Iya, Pak, saya dulu pernah bekerja di pabrik wafer tempat bapak dulu menjadi manager di sana," jelas Adit."Ohh, pantas," sindir Mas Yoga, senyumnya terlihat sinis. Ada kesan meremehkan keberadaan Adit. "Pantas apa, Pak?" tanya Adit, belum paham maksud Mas Yoga."Iya, pantas, kalian sudah saling mengenal, jangan-jangan sejak Atika masih menjadi istri saya kalian sudah main belakang," sindir Mas Yoga. Aku masih diam saja, mendengar dan memperhatikan."Hati-hati jika bicara, Pak," geram Adit, merasa tersinggung. Di sisi lain, mungkin dia tidak suka jika aku pun turut direndahkan, apalagi memang kami tidak melakukan apa-apa yang melanggar norma asusila. "Kamu yang hati-