Fitnah dihembuskan oleh Ipar dan ibu mertua dari Atika kepada suaminya, Yoga. Bahwa perselingkuhan telah Atika lakukan di belakang suaminya, padahal itu semua hanyalah sebuah rekayasa. Ketiadaan anak dan status sosial keduanya yang berbeda sebenarnya yang menjadi alasan mereka ingin menyingkirkan Atika. Setelah talak dijatuhkan, akhirnya Atika membongkar semua kelemahan yang dimiliki oleh Yoga, hingga usia empat tahun pernikahan mereka belum juga dikaruniai anak.
Lihat lebih banyakDITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA
Part 1
Aku terhenyak, saat suamiku Mas Yoga berucap pelan tetapi tegas, dan matanya menatap tajam.
"Hari ini juga, aku jatuh, 'kan talak satu padamu, Dek." Hanya itu ucapnya.
"Demi Tuhan, itu tidak benar, Mas ... itu semua rekayasa, aku tidak mungkin berbuat serendah itu," jelasku dengan nada mengiba kepada Mas Yoga, sambil kugenggam tangannya, tetapi suamiku itu diam saja. Mengibaskan pelan seolah tidak lagi peduli, kemudian bergegas pergi keluar rumah sampai suara deru mobilnya tidak lagi terdengar.
"Kamu sudah dengar, 'kan, Yoga bilang apa? Sekarang cepat kemasi barang-barangmu, jangan sampai ada yang tertinggal," ucap ketus ibu mertuaku, dengan senyum kemenangan menghiasi bibirnya.
Aku segera bangkit berdiri dari tempat dudukku, sofa ruang tamu berwarna kelabu, tempat di mana aku dijadikan "tersangka" pada sesuatu hal yang tidak pernah kulakukan.
"Sudah cepetan! Tapi ingat yah, hanya pakaian mu saja yang kau bawa," sindir Henny, kakak iparku. Yah, aku disangkakan punya hubungan dengan pria lain lewat fitnah keji yang dilakukan ipar dan ibu mertuaku. Menghasut Mas Yoga agar mau menceraikan aku, lewat skenario jahat yang sudah mereka rencanakan.
"Tega sekali Ibu dan Kak Henny memfitnah aku, apa salahku, Bu?"
"Kamu mau tahu, salah kamu apa?" tanya balik ibu mertuaku. Aku mengangguk menatap wajah mereka berdua.
"Karena kamu mandul!" sentaknya, telunjuk tangannya mengarah tepat ke wajahku. Sekali lagi aku terhenyak, aku tersadar jika selama ini aku yang selalu direndahkan dan dihinakan mereka. Bukan hanya karena pernikahan kami yang belum mendapatkan keturunan, tetapi perbedaan derajat sosial pun sering kali mereka permasalahkan, dan sebenarnya dari situlah awal kebencian mereka berasal.
"Tahu dari mana jika aku yang mandul, bisa saja anakmu sendiri yang mandul!" bentakku, sambil kutunjuk wajah mertuaku. Yah, aku harus melawan sekarang, toh saat ini posisiku sudah diceraikan, jadi tidak ada lagi yang harus aku khawatirkan.
Paras ibu mertua dan kakak iparku terlihat kaget, mungkin mereka tidak menyangka, aku yang selama ini bagai "Upik Abu" yang hanya diam saat dibentak dan ditindas, ternyata sekarang bisa melawan. Aku sudah lelah bersikap sopan dan selalu mengalah terhadap mereka. Yang ada, aku selalu ditindas.
"Yah jelas kamu yang mandul'lah! Atika!"
Kau lihat sendiri, kakak-kakaknya Yoga yang lain. Henny anaknya dua, Wulan anaknya malah tiga, dan aku jika anakku yang dua tidak meninggal, seharusnya sudah punya lima anak, jadi yah tidak mungkin jika Yoga yang mandul!" teriaknya keras, tidak senang ia sepertinya, jika aku membalikkan ucapannya."Lagi pula, bagaimana mungkin aku bisa punya anak, jika anakmu itu memberikan nafkah batin buatku saja tidak sanggup!" sentakku lagi, tidak kalah kerasnya dari ucapan ibu mertuaku. Terperangah mereka, kedua mata mereka melotot seperti tidak percaya, dengan apa yang mereka dengar. Hal-hal rahasia rumah tangga yang selama ini aku tutup rapat-rapat terhadap siapapun, bahkan dengan orang tuaku sendiri, hari ini akhirnya kutumpahkan juga.
Mas Yoga memang bermasalah dengan kejantanannya.
"Kurang sabar apa aku, hampir empat tahun hidup bersama anakmu, yang tidak mampu menjadi seorang lelaki sejati!" sindirku lagi.
"Dasar wanita pembohong, sudah miskin, tukang fitnah lagi!" Hinaan dari mulut Henny kembali terdengar lagi.
"Kau tanyakan saja nanti pada adikmu yang lemah itu." Wajah si Henny kali ini yang kutunjuk-tunjuk. Semakin pucat saja wajahnya terlihat.
"Jika dengan wanita lain, mungkin anak dan adik kalian sudah ditendang saat baru berumah tangga."
Aku segera berlalu meninggalkan mereka, yang masih diam termangu saat kutinggalkan tadi. Segera berkemas memasukkan semua pakaianku ke dalam dua tas besar. Ingin segera meninggalkan rumah besar ini, aku di sini bukan sebagai menantu, tetapi tidak lebih dianggap sebagai pembantu.
Kuakui, Mas Yoga adalah suami yang baik, walaupun seringkali dihasut dan panas-panasi oleh kedua nenek sihir tersebut. Aku berusaha memaklumi kelemahannya, menemaninya berobat tanpa sepengetahuan ibu dan saudara-saudaranya. Tapi kali ini, Mas Yoga benar-benar termakan fitnahan mereka. Mungkin dia juga marah dengan kelemahannya sendiri, lalu kehilangan akal untuk menaikkan harga dirinya.
Bahwa dia tetap lelaki, yang berhak memberikan cerai.Semua pakaianku sudah selesai kumasukkan, saat kepala ibu mertuaku terlihat melongok ke dalam kamarku. Wajahnya terlihat berbeda, tidak seperti biasanya. Pelan sekali dia berucap.
"Kamu tidak usah pergi yah, Atika."
Kali ini aku bergerak cepat. Menahan mas Yoga yang hendak kembali menyerang dengan cara menarik kencang kemeja yang dipakainya, hingga sepertinya sampai ada kancingnya yang terlepas. Tidak kalah keras aku pun berteriak mencegah. Hatiku sakit melihat Adit diperlakukan seperti itu."Kamu gila ya, Mas!" Mas Yoga menoleh ke arahku, sementara Adit masih terduduk kesakitan. Telapak tangannya menutupi kepalanya yang terbentur kursi besi tadi. Dan dua kawan penghuni kost pun ikut keluar menyaksikan."Dia ini kurang ajar! Sudah berani menganggu istri orang!" teriaknya lagi, matanya masih menyimpan amarah. Dan aku justru lebih marah, melihat sifat kekanak-kanakannya. Adit pelan-pelan bangkit berdiri. Nana yang ingin membantunya ditolak secara halus."Aku! Istri orang? Apa aku nggak salah dengar?Ingat yah Mas. Mas Yoga sudah menjatuhkan talak kepadaku," ucapku tegas, entah mengapa aku jadi benci melihat sikap kekanak-kanakannya. Bahkan selama dulu kami berumahtangga, segala hal dia serahkan kepa
Mas Yoga tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia mengendurkan ikatan dasinya dahulu, menarik napas dalam, berucap pelan. Sepertinya dia tidak mau ibu ikut mendengarkan."Biar kuambilkan air buat kalian berdua," ucap Henny seraya berdiri, sementara Etika masih bermanja-manja di pangkuanku. Dan sepertinya, Henny sengaja menjauh saat Mas Yoga ingin bercerita padaku."Ibu terkena tipu oleh Erna, atau bisa juga mereka berdua tertipu dengan orang lain. Entahlah." Yoga menyandarkan tubuhnya di sofa, sepertinya dia pun banyak pikiran. Terlihat dari wajahnya yang nampak lelah dan murung."Maksudnya apa, Mas? Aku belum paham?""Investasi bodong, Dek. Sebenarnya, sudah beberapa bulan yang lalu ibu ikut itu dengan Erna karena bujukan Henny. Berharap untung besar, justru semua uang simpanan ibu habis untuk investasi gak jelas itu!" Mas Yoga mulai terdengar emosi."Yang aku sayangkan, Ibu dan Henny tidak pernah bercerita apapun denganku tentang hal ini. Bahkan uang simpanan milik Mas yang dititip
"Lepaskan tanganku, mas," ucapku, berusaha melepaskan diri."Temui ibuku dulu Dek, sebentar saja. Sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan. Mas mohon, dek?"Kami saling bertatapan, matanya terlihat bersungguh-sungguh. Dan akhirnya aku mengangguk perlahan, sembari berucap pelan."Baik, Mas. Nanti aku akan menemui, ibu.""Alhamdulillah ... mas jemput nanti sepulang kerja.""Tidak usah, Mas. Aku naik online saja," jawabku mencoba menolak."Jangan Dek, nanti mas jemput saja di lobby utama. Kamu pulang jam lima kan?" Aku tidak menjawab, hanya mengangguk saja, mengiyakan."Ingat ya, Dek, kamu sudah janji. Mas tunggu nanti di lobby." Mas yoga segera melepaskan tanganku dan langsung menuju ke parkiran kendaraannya, dan aku kembali menunggu lift terbuka, untuk kembali bekerja.Sepanjang bekerja, aku benar-benar dibuat gelisah. Apakah Adit harus diberitahu atau tidak kepergianku nanti. Apakah memang dia harus tahu? Tetapi lebih baik tidak usah, aku tidak ingin mengganggu rapat pentingnya bers
Bagian 26"Hubungan apa Mbak, maksudnya?" "Maksud gue, lu pacaran sama si Adit!" sedikit suaranya yang keras, hingga orang-orang terdekat denganku menoleh ke arah kami bertiga. Mbak Lina memberi kode agar Stella berbicara lebih pelan. Tetapi tidak diindahkan. Ternyata, pendidikan tinggi dan kerja enak, tidak menjamin orang itu memiliki adab."Saya hanya berteman saja, Mbak. Sejak dari Adit bekerja di perusahaan yang dulu," jawabku pelan, tidak mau masalah, dengan ikut-ikutan ngotot seperti mereka."Awas lu ye, kalau bohong," ancam Stella, ngeliat tajam, lalu berdiri dari tempat duduknya, diikuti juga oleh Mbak Lina.Sudah tidak ada lagi semangat perlindungan untuk menghabiskan sisa makan siangku. Sebagian orang yang sempat mendengarkan pembicaraanku dengan Mbak Lina dan Mbak Stella, menatap dan sebagian melirik ke arahnya. Aku jadi merasa malu dan tidak enak hati. Lalu cepat-cepat saya meninggalkan kantin tersebut.Berjalan dengan agak tergesa-gesa menuju lift basemen, hingga tanpa k
"Siapa yang mengirim pesan, Tik?" Aku menutup handphone-ku, melihat ke arah Adit, agak ragu-ragu untuk melihatnya.“Jika tidak mau kasih tahu juga tidak apa-apa,” ucapnya lagi, dan aku cepat menjawab."Mas Yoga, Dit. Mengirim pesan memberi tahu, apakah ibu sedang sakit?""Ibumu?" tanya Adit memastikan."Oh, bukan Dit, ibunya Mas Yoga. Alhamdulillah kabar ibuku baik-baik saja.""Alhamdulillah jika begitu, senang mendengarnya." Sembari Adit meminum es teh manis pesanannya."Dit, bisakah aku nanya sesuatu?" Adit mengangkat wajahnya, tersenyum sambil tersenyum."Boleh lah, ada-ada saja, pakai harus nanya segala. Memangnya kamu mau nanya apa?" Aku terdiam sewaktu-waktu, memain-mainkan tisu bekas aku mengelap bibir, kembali berucap."Maksud Mas Yoga kasih tahu kalau ibunya sakit, apa ya, Dit?" tanyaku, meminta pendapatnya. Adit memandang, seperti orang bingung."Kok tanya aku, Tik, kan kamu yang paling mengenal mereka?" tanya Adit dengan nada heran."Aku hanya ingin mendengar pendapatmu, D
Part 24"Pakai syarat segala nih," ucap Adit sembari tertawa. Aku mengangguk."Apa syaratnya?""Kali ini biarkan aku yang traktir yah." "Masa, aku yang ngajak, kamu yang bayar, Tika," sanggah Adit. Sebagai pria, mungkin Adit merasa tidak enak. "Jika kamu nggak mau, aku nggak jadi ikut," ucapku mengancam, sembari memasang wajah pura-pura ngambek. Adit malah tertawa terbahak."Ya, sudah, terserah kamu saja deh." Adit lantas berdiri dari tempat duduknya, aku pun mengikutinya. Sepertinya Adit ingin pulang dahulu untuk berganti baju."Nanti aku jemput, yah?" tanyanya lagi, dan aku mengangguk mengiyakan. Adit mengangguk pamit, lantas kembali ke rumahnya. Dan aku pun bersiap untuk berganti baju, dan makeup-an sekadarnya.Pukul delapan malam, Adit sudah datang menjemput. Nana dan Vera, yang saat itu sedang duduk-duduk di teras, merayu-rayu untuk ikut, tetapi dengan tegas Adit menolaknya, dengan alasan ada hal penting yang ingin dia sampaikan untukku. Dan jujur saja, walaupun aku hanya diam,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen