DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA
Bagian 7
Erna, wanita pengganggu rumah tangga orang yang mengaku bermartabat itu berucap pedas dan menusuk. Kuberbalik badannya menatap tajam, ada Henny di sampingnya, dan kemungkinan besar Henny juga yang bercerita tentang talak yang sudah Mas Yoga hadiahkan untukku.
"Tadi Mbak Erna ngomong apa?" tanyaku, tetap berusaha baik-baik terlebih dahulu. Baru kugiles seperti cucian kotor.
"Aku bilang, Kamu perempuan kampung yang tidak punya malu! Sudah dicerai Mas Yoga, tapi masih mengaku-ngaku sebagai istrinya." Suaranya malah terdengar semakin keras.
"Memangnya, Anda punya malu?" Kuberbalik bertanya kepadanya.
"Jelas dong. Aku lebih berpendidikan daripada kamu, jadi aku lebih paham apa itu rasa malu," jawabnya cepat, wajahnya mendongak angkuh. Merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan aku.
"Berusaha mendekati pria yang sudah beristri, apa itu termasuk punya malu?" sindirku pelan.
"Mendatangi suami orang tanpa mengenal waktu, lalu bermanja-manja di depan mata istrinya, apa itu juga termasuk punya malu?"
Erna terdiam, begitupun Henny. Wajah Erna malah sudah seperti kepiting rebus, dan kepiting rebus itu harus kugoreng hangus sekarang.
"Kamu itu tidak lebih seperti perempuan sewaan, mendatangi pelanggan lewat panggilan. Dan perempuan yang ada di sampingmu itu adalah germonya," sindirku lagi lebih pedas kepada kedua makhluk yang tidak punya rasa malu itu. Kali ini bukan hanya Erna yang memerah wajahnya, Henny pun sama seperti itu. Sepertinya ucapanku menghujam telak ke jantung mereka.
Sesaat diam, lalu kulanjutkan bicara."Selama belum ada putusan pengadilan, status saya di mata hukum negara, masih sebagai istri Mas Yoga, apapun hutangnya. Walaupun kami tidak lagi tidur bersama. Ingat itu yah sama Anda, wanita berpendidikan?" ucapku ketus. Mereka masih terdiam, hanya matanya saja yang melotot hampir keluar.
“Selama aku masih dalam masa Iddah pun, Mas Yoga tetap bertanggung jawab untuk memberikan nafkah buatku,” ucapku lugas, lalu kembali melanjutkan menceramahi mereka.
“Sepertinya bangku sekolah yang pernah Anda duduki dulu, akan menyesal karena saking pintarnya, hingga Anda terlewat bodoh,” cecarku lagi, tidak aku kasih kesempatan mereka untuk mendebat, ataupun menyangkal semua keputusanku. Hening sewaktu-waktu, dan kupikir semua sudah selesai, dan ternyata aku salah. Petasan ceplik itu malah semakin meledak.
"Dasar perempuan kampung! Pandai bersilat lidah," hujatnya lagi, hanya mampu menghina tidak mampu mendebat berdasarkan pengetahuan. Contoh orang-orang bodoh menurutku. Sudah tersudut karena memang salah, tapi tidak mau mengakuinya, dan malah malah mengeluarkan hujatan untuk sekedar menunjukkan keegoisan dan agar tetap dianggap benar.
"Wanita yang kamu panggil kampung ini, lebih bisa menjaga martabat dibanding kamu yang mengaku perempuan kota, tapi berkelakuan kampungan. Seperti perempuan yang tidak punya moral." Saya langsung berbalik badan, tidak ingin lagi melanjutkan pertikaian. Mencari jajanan pasar jauh lebih penting dari pada perempuan yang terus meladeni yang memiliki otak sebagian macam mereka berdua.
Akupun menjauhi mereka dan mulai ingin keluar rumah, untuk cepat-cepat pergi menjauhi dua kuntilanak tersebut. Bukannya takut, kupikir hanya buang-buang waktu saja dan tidak ada untungnya.
Terdengar derap langkah kaki berjalan cepat semakin mendekat. Sama seperti Henny saat kutampar tadi. Perempuan yang mengaku berpendidikan ini pun mau menyerang dan menyakitiku secara phisik. Cepat aku berbalik, menghindar saat dia hampir menabrak, dan hanya mengenai angin. Lantas kujoroki perempuan tersebut dengan kencang, hingga tubuhnya terhuyung dan menabrak pinggir meja ruang tamu yang terbuat dari kayu jati, menimbulkan bunyi yang sangat keras.
"Brraaakkk!" Bodynya anti benturan furniture kayu semacam meja dan kursi dengan kepala terlebih dahulu, sehingga meja dan kursi ikut bergeser karena benturan keras tersebut. Bukan saya berniat mencelakainya, saya hanya ingin membela diri, begitupun dengan peristiwa penamparan terhadap Henny tadi.
"Aauucchhh....!" Perempuan bernama Erna itu menjerit kesakitan. Kedua tangannya menutupi kepalanya sambil meringis. Henny membantu mengusap-usap kepala Erna yang seperti bersujud karena menahan rasa sakit, dan sepertinya dia pun mulai menangis.
"Dasar perempuan iblis! Tadi pipiku yang kau tampar, sekarang kawanku yang kau aniaya, dasar perempuan jalang!" teriak Henny, aku penuh amarah.
Apa aku diam saja dengan tuduhannya? Tentu saja tidak, jika dibiarkan, mereka akan menganggap jika menyerang orang terlebih dahulu, maka yang diserang tidak boleh melawan atau pun menghindar. Sebuah teori kedunguan.
"Hen, matamu belum buta'kan? Kamu bisa lihat sendiri, siapa yang menyerang terlebih dahulu. Apa mau aku sumpahi biar matamu buta menayangkannya." Henny langsung terdiam, aku pun mendekati pintu dan mulai membukanya, melangkah keluar rumah untuk langsung menuju pasar.
Berjalan sedikit cepat ke arah jalan besar untuk mencari angkot, agar secepatnya sampai ke toko emas, tempatku ingin menjual perhiasan.
Baru berjalan beberapa langkah, saya bertemu dengan mantan ibu mertua yang baru saja keluar dari pintu pagar tetangga. Rumah Bu Susi, dengan ditemani Bu Susi menuju pintu pagar rumah. Untuk menjaga adab, dan agar tetangga tidak curiga, saya pun meminta ijin sebentar untuk pergi meninggalkan rumah.
Terlihat, raut wajah tidak senang dengan mimik muka sang mantan, saat aku hendak mencium tangannya dan meminta izin untuk pergi ke pasar. Sepertinya dia tahu, jika saya ingin menjual gelang-gelang yang dulu pernah diakui sebagai miliknya.
"Ibu mau pesan makanan apa? Biar nanti sepulang dari pasar akan kubelikan."
"Tidak usahh, tidak perlu, kau makan sendiri," jawabnya ketus.
“Ya sudah, kalau ibu tidak mau dan tidak bersedia aku belikan makanan, aku pergi dulu ya, Buk.” Pamitku pada sang mantan, dia masih melengos, tidak mau melihatku. Kuacuhkan saja, dan lanjutkan kembali langkah ke arah jalan raya.
'Mie ayam dan es campur, sepertinya enak di cuaca panas seperti ini' ucap bathinku. Aku butuh udara bebas untuk bernafas, melepaskan kegundahan yang terasa sangat menyesakkan dada. Keluar rumah dengan status sebagai perempuan yang baru saja ditalak. sejujurnya, aku mulai lelah dengan pernikahanku, mencoba bertahan karena alasan menjalani ibadah terpanjang walaupun tanpa adanya pelukan kehangatan.
Semangkok mie ayam ditambah bakso dan es campur menemaniku, selepas menjual dua gelang emas tadi di pasar. Untung saja harga emas sedang naik, jadi saat dijual tadi harganya tidak jauh berbeda dengan yang di kwitansi pembelian, walaupun per gram emasnya mendapatkan potongan 10 ribu. Dompetku penuh uang, hasil dari menjual emas tadi. Justru yang membuat saya bingung, harus diapakan uang tersebut. Ingin mengirim uang ke ibu di kampung, satu pun tidak ada yang punya rekening bank, baik ibu, maupun ke dua adikku, sementara bapak sudah sepuluh tahun yang lalu pulang.Keberadaanku di kota ini pun, karena diajak tetangga rumah di kampung, untuk ikut bekerja di pabrik, tempat di mana dia sudah bekerja terlebih dahulu, dan posisi pabrik waffer tempatku bekerja dulu, tidak terlalu jauh dari pasar tempat kumakan mie ayam sekarang ini. Mas Yoga dulunya adalah atasanku di pabrik wafer tersebut. Jabatannya sebagai manager produksi, sedangkan saya hanyalah karyawan operator biasa. Tetapi setelah p
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 9Menjelang sore, aku kembali pulang sembari membawa sebungkus mie ayam dan dua bungkus es campur, untuk mantan ibu mertua dan dua anaknya Henny. Kembali menaiki angkutan kota berwarna merah yang banyak menunggu penumpang di depan pasar. Bisa dikatakan, pasar yang aku kunjungi tersebut adalah pangkalan akhir angkot yang kunaiki.Sesampainya di rumah, sepertinya Erna masih berada di dalam, karena kendaraan yang dipakainya masih terparkir di halaman rumah, dan benar saja, baru saja masuk ke ruang tamu, terlihat mereka sudah berkumpul di situ.Tiga nenek sihir berkumpul bersama, sepertinya mereka semua memang sengaja menunggu kepulanganku, dan dua tas besar milikku juga terlihat di situ. Kucoba bersikap tenang, sembari berteriak memanggil dua anak Henny, yang sangat senang menerima pembelian dariku, sekalian dengan mie ayamnya kuberikan untuk mereka berdua."Tasku, kenapa ada di luar?" tanyaku, santai saja. Lalu mendekati dan duduk di kursi depan
Mata Erna, perempuan yang mengaku pintar dan bermartabat itu membulat sempurna, saat saya bilang, jika "perkakas" Mas Yoga tidak lagi bisa berfungsi maksimal. Saya sendiri tidak paham apa penyebabnya. Tiap-tiap tempat yang kami datangi selalu memberikan keterangan diagnosa yang berbeda-beda.Seperti tidak percaya, Erna mengambil selembar kertas di atas meja, membaca sebentar lalu diam, dan dengan cepat mengambil selembar kertas lagi, dan lagi. Membacanya cepat, kali ini wajahnya benar-benar terlihat kaget maksimal, benar-benar seperti orang yang sedang panik."Cinta Mbak Erna, 'kan tulus, tidak masalah dong dengan keluhan yang diderita Mas Yoga," sindirku santai saja sambil menyenderkan tubuh di sofa. Sementara mantan ibu mertua dan Henny, paras wajahnya terlihat tegang sekali. Mereka seperti sedang menunggu, apa ucapan Erna selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.Erna mulai terlihat seperti orang linglung, seperti sedang berpikir keras. Sedikit ragu-ragu dia melirik
Pov YogaSesaat baru saja ingin berangkat bekerja. Terdengar ibu memanggil namaku dari ruang tamu, aku pun segera menghampirinya. Tidak beberapa lama, ibu menyuruh kakakku Henny yang sedari tadi ada bersamanya untuk juga memanggil istriku, Atika. Yang terakhir kali terlihat sedang mencuci gelas dan piring di westafel dapur."Ada apa, Bu?" tanyaku ke ibu, yang malah menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu.Tidak beberapa lama, Henny kembali lagi ke ruang tamu dengan Atika yang mengikuti di belakangnya. Atika--istriku, yang sudah hampir empat tahun ini kunikahi, memilih untuk berdiri di sampingku. Seseorang yang sabar dan penurut juga tidak banyak membantah, menurutku. Tetapi tidak, jika menurut pendapat ibu dan Henny.Setiap hari, ada saja yang dilaporkan kepadaku tentang Atika. Yang malas'lah, sering membantah, bahkan boros. Padahal, setiap bulan, uang belanja kuserahkan pada ibu untuk mengelolanya. Bahkan, uang buat jajan Atika pun kuserahkan juga ke ibu. 300 ribu p
POV YogaSeharian ini, aku menghabiskan waktu di sebuah cafe pinggir pantai laut Utara Jakarta. Merenung, banyak memikirkan hal-hal yang sudah terlewati sepanjang perjalanan pernikahanku dengan Atika. Rumah tangga kami terlihat tenang-tenang saja. Atika lebih banyak diam dan selalu mengikuti caraku menjadi imam di dalam rumah tangga kami.Pernah sesekali mengajakku untuk hidup mandiri, tidak hidup bercampur dengan ibu dan kakakku Henny. Memintaku untuk mengontrak rumah, kecil pun tidak apa-apa katanya, tetapi aku jelas-jelasan menolak keinginannya. Aku merasa sebagai anak lelaki satu-satunya, putra bungsu, harus melindungi dan menjaga ibuku dengan terus tinggal bersamanya.Aku terus meminta Atika agar bersabar, mau mengerti dan memahami watak ibuku. Atika menuruti keinginanku, hingga hampir berjalan empat tahun usia pernikahan kami.Terkejutkan dengan panggilan telepon yang masuk lewat gawaiku. Aisah, adik kedua Atika ternyata yang menghubungiku."Assalamualaikum, Mas Yoga. Bisa bicar
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 13Kutepiskan tangan Mas Yoga yang hendak menyentuhku. Tidak kuhiraukan permintaan maafnya. Hatiku terlalu sakit, dengan talak yang sudah dia jatuhkan, atas perbuatan yang tidak pernah sama sekali kulakukan.Raut penyesalan terlihat jelas di wajahnya. Yoga duduk di sofa, sembari meremas-remas jembatan, sementara tangan mantan ibu mertuaku, masih terus memegangi tas yang berisi semua pakaian milikku."Jangan pergi Dek, apalagi menjelang malam seperti ini," ucap Mas Yoga pelan."Bukannya tadi, Mas Yoga yang bilang agar ibu membiarkan aku pergi, dan tidak perlu ditahan-tahan, kenapa sekarang jadi berubah?" Mas Yoga terdiam sejenak.“Itu karena Mas tidak tahu, jika perselingkuhan yang kamu lakukan hanyalah rekayasa ibu dan Kak Henny,” sesalnya."Sudah terlambat, Mas. Kata talak pun sudah kau jatuhkan." Mas Yoga terlihat mengirup nafas dalam-dalam, dan kembali memulai pembicaraan."Selain keluargaku, tidak ada yang tahu jika talak sudah kujatuhkan
POV AtikaMalam ini, adalah malam pertamaku tidur terpisah dengan Mas Yoga. Sebenarnya tidak ada bedanya, saat sekasur dengan Mas Yoga pun, tidurku tidak pernah terganggu, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Saat tengah malam, ataupun menjelang pagi, salah satu pasangan ada yang membangun untuk pemenuhan kebutuhan hasrat.Dahulu di awal-awal rumah tangga seperti itu, saya atau Mas Yoga yang berinisiatif untuk memulai, tetapi harus berakhir dengan mengecewakan, sampai akhirnya saya jadi terbiasa. Karena saat ini saya pun belum pernah melakukannya. Yang berbeda hanyalah, tidurku tidak lagi sebebas dulu, yang bisa berputar ke sana ke mari, aku harus berbagi tempat tidur dengan suamiku.Selepas Isya, saya sudah menutup pintu kamar, walaupun saat ini sedang tidak salat karena adanya tamu bulanan yang datang berkunjung. Dari sakit tadi hingga sewaktu-waktu sebelum saya masuk ke dalam kamar, perlakuan Mas Yoga, ibunya, dan Henny, benar-benar sangat berbeda. Saya dilayani layaknya seo
Part 15Selepas sarapan lontong sayur pemberian dari mantan ibu mertua. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi chat yang penggunanya paling banyak di dunia. Pesan dari Susi, sahabat sepermainan Erika adikku saat di kampung dahulu, dan kebetulan rumah Susi tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal, hanya berbeda perumahan saja.[ Mbak Atika, bisa ketemu nggak di Taman Bahagia, sebentar lagi.][Boleh, Sus, kebetulan lagi ada waktu luang. Mbak berangkat sekarang, ya?][Iya, Mbak Atika, tak tunggu. Saya sudah di depan permainan anak, sembari ngawasi Indri.][Iya, Sus, embak langsung jalan, ya.][Ok, Mbak.]Taman Bahagia, letaknya tidak terlalu jauh dari gerbang utama perumahan tempatku tinggal. Tempatnya strategis, dikelilingi banyak perumahan berbagai macam kelas, dan sering dijadikan tempat untuk janjian bertemu, karena mudah untuk ditemukan.Tidak terlalu jauh dari pintu masuk taman, sosok Susi sudah terlihat sedang duduk-duduk di bangku yang tidak jauh dari berbagai macam permainan anak.