DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUA
Part 6
"Heiii .... Henny, mana?" panggil si perempuan pengerat itu. Kuacuhkan saja, tidak kuhiraukan sembari terus memasukkan dan merapikan pakaianku ke dalam lemari.
"Hei! Aku panggil kamu, Henny di mana?" tanyanya lagi. Aku lalu menengok ke arahnya, berpura-pura seperti tidak ada orang di depan pintu kamar.
"Ada suara, tetapi nggak ada orangnya, mungkin ada Setan Pengganggu di sini," ucapku dengan sedikit keras. Sengaja kulakukan agar si betina penganggu itu ikut mendengar. Lalu kembali membelakanginya sambil terus sibuk memasukkan pakaian ke dalam lemari pakaian.
"Kurang ajar kamu, ya, nggak punya sopan santun!" pekiknya, aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya, tapi dari lengkingan suaranya, sepertinya dia marah besar dan tersinggung.
'sebodo amat' bathinku, terus saja mengacuhkannya, kuanggap dia tidak pernah ada di kamar ini. Terus saja melanjutkan aktivitasku.
"Hei! Atika! Kamu jangan pura-pura budek, ya!" sentaknya lagi. Aku lalu menoleh ke arah perempuan benalu itu. Matanya terlihat sudah hampir mau melompat, wajah putihnya sudah terlihat memerah, sangat marah sekali kelihatannya.
"Mbak manggil, saya?" tanyaku santai, seperti orang yang baru n'geh, jika ada "Mahluk lain" di kamar ini. Wajah perempuan itu terlihat merah padam. Kedua matanya masih melotot tajam ke arahku. Rasanya ... ingin kucolok saja kedua bola mata itu.
"Kamu benar-benar kurang ajar, ya!" bentaknya lagi. Tangannya sudah mulai menunjuk-nunjuk. Kucoba untuk sedikit bersabar menahan diri.
"Saya kurang ajar apa, Mbak?" tanyaku, pura-pura polos saja, seperti merasa tidak berdosa. Sembari kembali melipat pakaian dan menaruhnya dahulu di atas kasur, sebelum kumasukkan ke lemari.
"Yah, kamu memang kurang ajar, dari tadi dipanggil-panggil pura-pura tidak dengar." Terlihat geram dia sekarang, tangannya malah mulai bertolak pinggang.
"Loh, Mbak Erna kapan manggilnya? Setahu saya, baru saat nama saya disebut. Kok malah dikatain budek sama, Mbak," jawabku datar saja, sambil terus merapihkan pakaian. Hanya pakaianku saja yang kupindahkan, tidak ada pakaian milik Mas Yoga. Aku memang memutuskan untuk berpisah kamar.
"Saya sendiri bingung, gak ada hujan gak ada angin, Mbak seenaknya saja ngatain saya budek."
"Ya budeklah, dari tadi dipanggil, hai-hei-hai-hei, malah pura-pura nggak dengar!" sentaknya lagi, masih nyolot sepertinya perempuan berkelakuan minus ini.
"Yang Mbak panggil 'kan, si-hai sama si- hei, dan bukan nama saya. Buktinya saat Mbak manggil nama saya, saya langsung menjawab," sanggahku akan ucapannya. Terus saja kupermainkan emosinya. Wajahnya kembali terlihat geram.
"Dasar perempuan nggak berpendidikan," hinanya dengan seenak mulutnya saja. Kembali kucoba menyabarkan diri, dan terus berusaha bersikap tenang. Tetapi, bukan hanya dia yang bisa berbicara tajam.
"Ngaca dong, Mbak, pendidikan saya memang tidak setinggi, Mbak. Tetapi saya rasa, moral saya jauh lebih baik daripada, si'mbak. Mas Yoga itu suami saya loh, dan saya ini istri sahnya, lalu Mbak tanpa punya rasa malu terus menggoda suami saya.
Saat Mbak sedang menempuh pendidikan tinggi, Mbak diajari tentang adab dan moral tidak?" tanyaku mulai menyerang balik.Wajah perempuan tidak punya malu itu langsung terdiam, tetapi wajahnya masih memendam kemarahan.
"Kamu ngapain di sini, Na?" tanya Henny, menengok dari balik pintu kamar. Perempuan bernama Erna itu pun langsung menoleh ke arah Henny.
"Ini bukannya kamarmu, Hen?" tanyanya pada Henny.
"Sudah nggak lagi sekarang."
"Ko, bisa?" tanya Erna lagi, heran.
"Sudah diambil alih sama penjajah Belanda," jawab Henny menyindirku. Mataku mendelik ke arahnya, tetapi dia langsung membuang muka.
"Apaan, Belanda?" tanya si parasit itu, belum paham rupanya wanita yang mengaku bermartabat itu.
"Sudah, ah, ayuk ke kamarku saja, kelamaan di sini, mataku sepet, otakku pun jadi mampet," sindir dia lagi, sambil menarik tangan Erna mengajaknya untuk cepat keluar dari kamarku.
Tidak lama setelah mereka keluar kamar, aku pun segera kembali melanjutkan pekerjaanku, merapikan dan memasukkan baju-baju ke dalam lemari. Sebenarnya tidak terlalu banyak pakaian yang kupunya, selain memang aku tidak pernah memegang uang tunai, karena jatah uang jajanku sudah dipegang ibu mertua. Dan aku merasa tidak enak untuk memintanya saat itu, karena kupikir itu akan menyinggung perasaannya dan seperti tidak menghormatinya.
Mengadu pada Mas Yoga pun tidak kulakukan, aku tidak ingin seperti mengadu domba di antara mereka. Tetapi ternyata semakin aku mengalah dan mencoba mengerti, mereka malah semakin semena-mena memperlakukan aku. Seakan-akan aku bukanlah bagian dari keluarga besar mereka.
Untungnya Mas Yoga, mantan suamiku itu orangnya sedikit pelupa. Beberapa kali sering kutemukan uang di saku celana atau pun bajunya. Dari situlah aku sedikit banyak bisa membeli jajanan, atau pun sekadar bedak murahan kemasan plastik, juga deodorant sachetan.
Hari ini adalah hari pertama aku menjanda, hari pertama aku menjalani masa Iddah, dan rencana untuk menjual gelang-gelang emas ini adalah sebuah langkah pertama aku akan berusaha mandiri dalam ekonomi, mungkin aku akan mencoba untuk berdagang lewat online, memasarkan barang-barang milik orang lain, dan mencoba untuk mengambil sedikit keuntungan.
Segera aku keluar dari kamar, dan mengunci pintunya, lalu langsung ke pasar untuk menjual perhiasan gelang, dan aku bisa jajan apa saja nanti di sana.
'Senangnya jadi janda, bisa punya uang sendiri' Hatiku terasa ceria. Lalu mulai melangkah keluar rumah.
"Jadi, perempuan kampung ini sudah di cerai Mas Yoga, Hen. Tapi tadi masih mengaku-ngaku istrinya. Nggak punya malu sama sekali. Mungkin ... urat malunya memang sudah putus, Hen."
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 7Erna, wanita pengganggu rumah tangga orang yang mengaku bermartabat itu berucap pedas dan menusuk. Kuberbalik badannya menatap tajam, ada Henny di sampingnya, dan kemungkinan besar Henny juga yang bercerita tentang talak yang sudah Mas Yoga hadiahkan untukku."Tadi Mbak Erna ngomong apa?" tanyaku, tetap berusaha baik-baik terlebih dahulu. Baru kugiles seperti cucian kotor."Aku bilang, Kamu perempuan kampung yang tidak punya malu! Sudah dicerai Mas Yoga, tapi masih mengaku-ngaku sebagai istrinya." Suaranya malah terdengar semakin keras."Memangnya, Anda punya malu?" Kuberbalik bertanya kepadanya."Jelas dong. Aku lebih berpendidikan daripada kamu, jadi aku lebih paham apa itu rasa malu," jawabnya cepat, wajahnya mendongak angkuh. Merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan aku. "Berusaha mendekati pria yang sudah beristri, apa itu termasuk punya malu?" sindirku pelan."Mendatangi suami orang tanpa mengenal waktu, lalu bermanja-manja di dep
Semangkok mie ayam ditambah bakso dan es campur menemaniku, selepas menjual dua gelang emas tadi di pasar. Untung saja harga emas sedang naik, jadi saat dijual tadi harganya tidak jauh berbeda dengan yang di kwitansi pembelian, walaupun per gram emasnya mendapatkan potongan 10 ribu. Dompetku penuh uang, hasil dari menjual emas tadi. Justru yang membuat saya bingung, harus diapakan uang tersebut. Ingin mengirim uang ke ibu di kampung, satu pun tidak ada yang punya rekening bank, baik ibu, maupun ke dua adikku, sementara bapak sudah sepuluh tahun yang lalu pulang.Keberadaanku di kota ini pun, karena diajak tetangga rumah di kampung, untuk ikut bekerja di pabrik, tempat di mana dia sudah bekerja terlebih dahulu, dan posisi pabrik waffer tempatku bekerja dulu, tidak terlalu jauh dari pasar tempat kumakan mie ayam sekarang ini. Mas Yoga dulunya adalah atasanku di pabrik wafer tersebut. Jabatannya sebagai manager produksi, sedangkan saya hanyalah karyawan operator biasa. Tetapi setelah p
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUAPart 9Menjelang sore, aku kembali pulang sembari membawa sebungkus mie ayam dan dua bungkus es campur, untuk mantan ibu mertua dan dua anaknya Henny. Kembali menaiki angkutan kota berwarna merah yang banyak menunggu penumpang di depan pasar. Bisa dikatakan, pasar yang aku kunjungi tersebut adalah pangkalan akhir angkot yang kunaiki.Sesampainya di rumah, sepertinya Erna masih berada di dalam, karena kendaraan yang dipakainya masih terparkir di halaman rumah, dan benar saja, baru saja masuk ke ruang tamu, terlihat mereka sudah berkumpul di situ.Tiga nenek sihir berkumpul bersama, sepertinya mereka semua memang sengaja menunggu kepulanganku, dan dua tas besar milikku juga terlihat di situ. Kucoba bersikap tenang, sembari berteriak memanggil dua anak Henny, yang sangat senang menerima pembelian dariku, sekalian dengan mie ayamnya kuberikan untuk mereka berdua."Tasku, kenapa ada di luar?" tanyaku, santai saja. Lalu mendekati dan duduk di kursi depan
Mata Erna, perempuan yang mengaku pintar dan bermartabat itu membulat sempurna, saat saya bilang, jika "perkakas" Mas Yoga tidak lagi bisa berfungsi maksimal. Saya sendiri tidak paham apa penyebabnya. Tiap-tiap tempat yang kami datangi selalu memberikan keterangan diagnosa yang berbeda-beda.Seperti tidak percaya, Erna mengambil selembar kertas di atas meja, membaca sebentar lalu diam, dan dengan cepat mengambil selembar kertas lagi, dan lagi. Membacanya cepat, kali ini wajahnya benar-benar terlihat kaget maksimal, benar-benar seperti orang yang sedang panik."Cinta Mbak Erna, 'kan tulus, tidak masalah dong dengan keluhan yang diderita Mas Yoga," sindirku santai saja sambil menyenderkan tubuh di sofa. Sementara mantan ibu mertua dan Henny, paras wajahnya terlihat tegang sekali. Mereka seperti sedang menunggu, apa ucapan Erna selanjutnya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya.Erna mulai terlihat seperti orang linglung, seperti sedang berpikir keras. Sedikit ragu-ragu dia melirik
Pov YogaSesaat baru saja ingin berangkat bekerja. Terdengar ibu memanggil namaku dari ruang tamu, aku pun segera menghampirinya. Tidak beberapa lama, ibu menyuruh kakakku Henny yang sedari tadi ada bersamanya untuk juga memanggil istriku, Atika. Yang terakhir kali terlihat sedang mencuci gelas dan piring di westafel dapur."Ada apa, Bu?" tanyaku ke ibu, yang malah menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruang tamu.Tidak beberapa lama, Henny kembali lagi ke ruang tamu dengan Atika yang mengikuti di belakangnya. Atika--istriku, yang sudah hampir empat tahun ini kunikahi, memilih untuk berdiri di sampingku. Seseorang yang sabar dan penurut juga tidak banyak membantah, menurutku. Tetapi tidak, jika menurut pendapat ibu dan Henny.Setiap hari, ada saja yang dilaporkan kepadaku tentang Atika. Yang malas'lah, sering membantah, bahkan boros. Padahal, setiap bulan, uang belanja kuserahkan pada ibu untuk mengelolanya. Bahkan, uang buat jajan Atika pun kuserahkan juga ke ibu. 300 ribu p
POV YogaSeharian ini, aku menghabiskan waktu di sebuah cafe pinggir pantai laut Utara Jakarta. Merenung, banyak memikirkan hal-hal yang sudah terlewati sepanjang perjalanan pernikahanku dengan Atika. Rumah tangga kami terlihat tenang-tenang saja. Atika lebih banyak diam dan selalu mengikuti caraku menjadi imam di dalam rumah tangga kami.Pernah sesekali mengajakku untuk hidup mandiri, tidak hidup bercampur dengan ibu dan kakakku Henny. Memintaku untuk mengontrak rumah, kecil pun tidak apa-apa katanya, tetapi aku jelas-jelasan menolak keinginannya. Aku merasa sebagai anak lelaki satu-satunya, putra bungsu, harus melindungi dan menjaga ibuku dengan terus tinggal bersamanya.Aku terus meminta Atika agar bersabar, mau mengerti dan memahami watak ibuku. Atika menuruti keinginanku, hingga hampir berjalan empat tahun usia pernikahan kami.Terkejutkan dengan panggilan telepon yang masuk lewat gawaiku. Aisah, adik kedua Atika ternyata yang menghubungiku."Assalamualaikum, Mas Yoga. Bisa bicar
DITALAK KARENA FITNAH IPAR & MERTUABagian 13Kutepiskan tangan Mas Yoga yang hendak menyentuhku. Tidak kuhiraukan permintaan maafnya. Hatiku terlalu sakit, dengan talak yang sudah dia jatuhkan, atas perbuatan yang tidak pernah sama sekali kulakukan.Raut penyesalan terlihat jelas di wajahnya. Yoga duduk di sofa, sembari meremas-remas jembatan, sementara tangan mantan ibu mertuaku, masih terus memegangi tas yang berisi semua pakaian milikku."Jangan pergi Dek, apalagi menjelang malam seperti ini," ucap Mas Yoga pelan."Bukannya tadi, Mas Yoga yang bilang agar ibu membiarkan aku pergi, dan tidak perlu ditahan-tahan, kenapa sekarang jadi berubah?" Mas Yoga terdiam sejenak.“Itu karena Mas tidak tahu, jika perselingkuhan yang kamu lakukan hanyalah rekayasa ibu dan Kak Henny,” sesalnya."Sudah terlambat, Mas. Kata talak pun sudah kau jatuhkan." Mas Yoga terlihat mengirup nafas dalam-dalam, dan kembali memulai pembicaraan."Selain keluargaku, tidak ada yang tahu jika talak sudah kujatuhkan
POV AtikaMalam ini, adalah malam pertamaku tidur terpisah dengan Mas Yoga. Sebenarnya tidak ada bedanya, saat sekasur dengan Mas Yoga pun, tidurku tidak pernah terganggu, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Saat tengah malam, ataupun menjelang pagi, salah satu pasangan ada yang membangun untuk pemenuhan kebutuhan hasrat.Dahulu di awal-awal rumah tangga seperti itu, saya atau Mas Yoga yang berinisiatif untuk memulai, tetapi harus berakhir dengan mengecewakan, sampai akhirnya saya jadi terbiasa. Karena saat ini saya pun belum pernah melakukannya. Yang berbeda hanyalah, tidurku tidak lagi sebebas dulu, yang bisa berputar ke sana ke mari, aku harus berbagi tempat tidur dengan suamiku.Selepas Isya, saya sudah menutup pintu kamar, walaupun saat ini sedang tidak salat karena adanya tamu bulanan yang datang berkunjung. Dari sakit tadi hingga sewaktu-waktu sebelum saya masuk ke dalam kamar, perlakuan Mas Yoga, ibunya, dan Henny, benar-benar sangat berbeda. Saya dilayani layaknya seo