"Shafia! Cepat buka pintunya. Dasar wanita mandul!" seru Bu Winda.
"Buk, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah teriak?" Faris yang terganggu suara Ibunya yang memanggil istri tuanya. "Nah, kamu keluar Ris. Kamu lihat istri mandul kamu jam berapa sekarang? Tapi sarapan belum ada di atas meja dan dia masih enak-enakan tidur, kami mau makan apa sedangkan istri muda kamu yang sedang hamil harus makan dengan nutrisi yang baik." Cetus Bu Winda. "Buk mungkin Fia masih lelah, Ibu lihat sendiri bekerjanya tidak pernah diabaikan bahkan sekarang sudah bertambah satu anggota lagi mungkin dia —" Faris diam, tatapan tidak suka terpancar dari wajah Ibunya. "Bela aja terus. Buang aja wanita tidak berguna itu. Semakin lama ibu malas dia di sini!" sinis Bu Winda. Brakk!! "Ngapain kamu? Lihat jam berapa sekarang? Enak banget kamu tidur bangun siang. Cepetan bikin sarapan, hidup numpang nggak ada mikirnya." "Buk, hari ini aku gak masak ya, aku kurang sehat," sahut Fia. Wajahnya yang pucat tidak mampu mengubah pandangan Bu Winda padanya. "Terus kalau kamu sakit, kita suruh puasa gitu? Nggak bisa gitu dong. Cepetan bangun masak untuk kita, kamu ini sudah enak tinggal di sini. Bangun! Nggak ada kata sakit, alasan saja kamu," "Buk, gimana kalau kita pesan online aja? Fia beneran sakit Buk, lihat wajahnya pucat," "Dek, kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak bilang? Kita ke dokter sekarang ya," Faris melewati Ibunya membantu Fia untuk bersiap. "Alah, itu cuma alasan dia aja. Dia itu cemburu Ris," "Buk, aku tahu siapa Fia. Dia nggak mungkin berbohong, ayok dek, kita ke dokter. Aku nggak mau kalau kamu sakit begini," Fia mengikuti apa yang di katakan oleh Faris. Mereka pergi begitu saja tentu membuat geram Bu Winda. "Faris, tunggu!!" "Buk, mas Faris kemana? Apa yang terjadi sama mbak Fia?" "Wanita mandul itu ke dokter katanya sakit. Ibu yakin dia cuma pura-pura," "Siapa tau benar buk, di lihat dari wajahnya mbak Fia. Mas Faris tunggu sebentar, dompet kamu ketinggalan," Rara berlari ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat suara Faris terdengar. "Tunggu dek, kamu jangan lari. Tolong jaga kakak madu kamu, ya," "Ya, mas." Faris meninggal dua istrinya, merasa yakin jika semua akan membaik. Terlebih Fia adalah wanita yang baik dan Rara wanita yang supel tentu mudah untuk mereka saling mengakrabkan diri. Bibirnya tertarik keatas ia gegas mengambil dompet yang tergeletak di atas nakas, akan tetapi saat keluar pemandangan yang mampu membuatnya syok. Bugh!! "Aduh, mbak apa salah anakku? Maafkan aku jika kehadiranku menghancurkan hatimu. Tapi, aku janji akan menjadi madu yang baik untukmu. Kenapa kamu mendorongku, mbak. Aku cuma ingin menjagamu sesuai perintah suami kita," isak Rara. "Rara, kamu kenapa? Apa yang kamu bicarakan itu?" Fia yang kebingungan berusaha untuk membantu Rara. Namun, tangan besar mendorongnya kasar. "Mas, aku —" lidah Fia tercekat, Faris mendorongnya kasar. "Diam. Aku sudah melihat sendiri apa yang kamu lakukan itu. Pergilah menjauh dari Rara, jika aku melihatmu di dekatnya aku pastikan mengusir mu dari sini." Tegas Faris. "Rara sayang ada apa ini? Faris cepat dudukkan di sofa," "Dan kamu cepat ambilkan air minum!" sambungnya cetus pada Fia. Fia berlari mengambil air dalam gelas tak lama kemudian ia datang dengan air minum di tangannya. "Tunggu! Menjauh dari istriku. Aku tidak mau kamu menyakitinya lagi!" tegas Faris, membuat hati Fia sakit. "Mas—" "Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Rara bisa jatuh?" tanya Bu Winda, penasaran. "Buk, aku tahu mbak Fia tidak sengaja mendorongku," lirihnya, menoleh ke arah Fia yang terkejut dengan pengakuan adik madunya. "Kamu bilang apa Rara? Aku mendorongmu?" tanya Fia, menggelengkan kepala tidak percaya adik madunya memfitnahnya. "Benar begitu Fia? Jawab?!" sentak Bu Winda. "Bu —" "Apa? Kamu mau mengelak hah? Faris kamu lihat apa yang di lakukan wanita mandul itu. Dia hampir saja membunuh anak yang istrimu kandung. Ini tidak bisa di biarkan Faris, wanita tidak tahu diri, kamu!" Bu Winda, begitu marah hingga suaranya mampu memenuhi seluruh ruangan. "Mas, aku bisa —' "Pergilah, aku tidak ingin mendengar apapun alasannya. Aku kecewa sama kamu Shafia." Tubuh Fia terhuyung ke belakang, hatinya berdenyut nyeri panggilan yang tidak pernah ia denger kini begitu jelas di ucapkan oleh suaminya. Meski itu bukan hal pertama baginya setelah kehadiran wanita lain dalam rumah tangganya. Belum hilang rasa terkejut Fia kembali tersentak saat suara mobil meninggalkan rumah mewah suaminya. "Mas!" Fia berlari mengejar mobil mewah meninggalkan rumah. Para tetangga yang kebetulan berada di depan melihatnya aneh. "Mbak Fia, kamu yang sabar ya, aku heran kenapa wanita sebaik kamu harus di madu. Wajah kamu pucat sekali Fia? Apa kamu sakit?" ucap tetangga sebelah rumah. "Nggak buk, aku nggak sakit, permisi buk." "Shafia, jika sesuatu terjadi pada Rara terlebih calon cucuku, awas kamu! Ibu pastikan Faris menceraikan kamu!!!" 'astaghfirullahaladzim, kenapa begini? Apa ini wajah asli maduku?'Hari yang ditunggu tiba, pernikahan Poppy yang digelar secara sederhana, hanya mengundang tetangga dan saudara terdekat. Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka hadir di acara spesial itu, memberikan selamat untuk Poppy dan Arman."Mbak, maafkan aku ya, maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Aku..." Ucap Poppy di sela isak tangisnya."Aku sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang waktunya kita membuka lembaran baru, selamat ya. Aku bahagia melihatmu seperti ini Poppy," jawab Fia dengan senyum hangat."Terima kasih, Mbak Fia. Aku benar-benar malu sama Mbak Fia," Poppy menundukkan kepala, merasa sedikit malu."Sudah ah, masa pengantin nangis, make-upnya jelek tahu! Tuh, lihat jadi luntur kan," Fia menggoda Poppy, membuat Poppy tertawa meskipun air matanya masih mengalir.Alangkah indahnya kebersamaan seperti saat ini. Fia, wanita yang menjadi kakak iparnya dulu, selalu dihina bahkan Poppy ikut andil mengusir Fia dan mendukung seorang pelakor. Namun, sekarang Fia telah memaafkan
Tiga tahun kemudian, riuh suara yang terdengar hingga ke halaman depan. Erik yang baru saja keluar dari mobil mewahnya mempercepat langkahnya, di sana tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya tengah berjalan ke arahnya. Menyambut kedatangan, setelah lelah bekerja."Assalamualaikum kesayangan, ayah. Wah, rupanya sudah tampan dan cantik. Lalu, gimana kabarnya jagoan ayah dalam sana?" Erik mengecup perut Fia, kaku berpindah memeluk Al sesaat. Hingga Erik menikah ke arah samping Al, di mana sosok putrinya yang tengah merajuk dengan berlahan Erik meraih tubuh mungil itu membawanya dalam dekapan hangat tubuhnya."Apa putri ayah ini tengah merajuk lagi? Sayang maafkan ayah, hari ini ayah sibuk banget sampai ayah tidak sempat makan dan ponsel ayah sampai habis baterai," lirih Erik, berusaha menyentuh hati putrinya yang sejak siang tadi merajuk. Erik meminta bantuan pada Fia yang justru di sambut dengan mengangkat bahu acuh. "Aduh," keluh Erik, memegang perutnya."Ayah! Ayah sakit? Aban
"Apa maksudmu bicara seperti itu Poppy? Kamu lupa siapa yang di depan kamu ini, hah?" ucap Winda, geram melihat sikap dan tutur kata putri bungsunya."Tidak ada maksud apa pun, yang aku katakan ini benar kan? Aku bingung sebenarnya kami ini anakmu bukan sih mah? Kenapa mama ajarkan hal tidak baik pada kami? Lihat ayah yang selalu memberikan contoh yang baik, walau kami lebih patuh pada mama. Satu persatu kamu hancur dan itu karena keegoisan mama dan kamu mas!" Plak "Lancang kamu! Pergi dari sini, dasar anak tidak berguna!" usir Winda, tanpa merasa bersalah telah menampar dan kini mengusirnya."Tanpa di suruh, aku akan pergi dari sini. Dan kamu mas Faris, nikmati dinginnya penjara bersama mama," "Argk pergi kamu, pikirkan rumah tangga kamu yang hancur itu. Pantas saja suamimu memilih menikahimu secara sederhana nyatanya dia cuma seorang bajingan!""Aku begini karena ulah kalian berdua. Mas kamu lupa sudah mengkhianati mbak Fia, kamu menerima perjodohan dari mama dan lihat bagaimana
Plak"Kenapa ayah menampar ku? Apa aku membuat ayah marah?" Faris, mengusap cairan merah di sudut bibirnya. "Menjijikan!" Umpat Jordan."Ck, sudahlah jangan ikut campur masalah ku dan Fia. Ayah, sebenarnya siapa yang anak ayah, aku atau Fia? Selama ini ayah tidak sedikit pun mendukung keinginanku, bukankah ayah menginginkan menantu ayah kembali?"Plak Sekali lagi Jordan menampar Faris. Jordan, ayah Faris, sangat marah ketika mengetahui kebenaran tentang Faris yang meminta syarat sebelum mendonorkan darahnya untuk Al. "Faris, apa yang kamu lakukan?! Kamu meminta syarat menceraikan Fia dari Erik sebelum mendonorkan darahmu untuk Al?!" Jordan berteriak dengan nada marah.Faris tidak peduli dengan kemarahan ayahnya. "Apa yang salah, Ayah? Aku hanya ingin Fia kembali kepadaku."Jordan tidak bisa percaya dengan jawaban Faris. "Kamu tidak memiliki hati! Anakmu sendiri membutuhkan darahmu, dan kamu meminta syarat seperti itu?! Kamu tidak layak menjadi ayah!"Faris tersenyum sinis. "Ayah tida
"Mah, Al kecelakaan? Kapan, dan di mana? Apa tadi ayah yang memberi kabar? Sekarang gimana keadaannya, ayo kita ke sana mah!" Seru Faris panik."Mah?" sambung Faris, melihat Ibunya justru tenang."Sayang, duduk sebentar. Biarkan semua berjalan sesuai rencana, dan kamu sebentar lagi mendapatkan apa yang kamu inginkan, tunggu di sini," Faris menggeleng, bagaimana mungkin Ibunya bersikap tenang mendengar kecelakaan cucunya. "Mama, sadar akan ucapan mama?" tanya Faris, tak habis pikir."Sangat sadar. Faris duduk dan dengarkan kata mama, sejengkal lagi impian kamu untuk rujuk menjadi nyata. Fia akan menghubungimu dan meminta kamu untuk mendonorkan darah dan ..." Winda menjeda ucapannya, tersenyum kelicikan tercetak jelas di bibirnya."Jadi ini semua karena ..." "Ya, mama yang melakukannya. Kamu tenang tidak ada yang melihat dan itu melalui orang suruhan mama, dan kamu pun menyetujuinya.""Ya, tapi aku tidak setuju kalau mama mencelakai Al, dia anak aku mah!" "Sudahlah, kamu yang member
"Faris? Kamu sudah pulang?" Winda mengerutkan keningnya, melihat sang putra pulang lebih awal. Mengingat baru sehari kembali bekerja di perusahaan yang berada di luar kota namun kali ini anak sulungnya sudah ada di depan pintu di jam makan siang."Bisa geser mah? Aku lelah," ucapnya lirih, sarat akan kekesalan yang terpendam."Tunggu, wajah kamu kenapa lebam begitu?" Winda menahan tubuh Faris, hal itu semakin membuat pria tampan itu semakin kesal."Mah, bisa minggir tidak?!" Winda menggeser tubuhnya, membiarkan anaknya masuk. "Mama ambilkan air minum dulu," Winda gegas ke dapur, mengambil air putih untuk putranya."Minumlah, setelah itu jelaskan pada Mama apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dengan wajah bonyok semua kayak gini, kamu berantem sama siapa?""Bisa diam mah? Aku lelah, aku pusing, pulang mau tenang!" seru Faris, Winda menghela napas melihat sikap Faris."Baiklah, mama akan diam. Kamu mau makan sekarang? Biar mama siapkan,""Tidak perlu!" Faris meninggalkan Winda begitu