"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seharian ini, hah?" Bu Rahayu, berkacak pinggang di hadapan Fia.
"Buk, aku tidak enak badan itu sebabnya aku tidak masak hari ini. Tadi —" Fia, memijat pelipisnya. Pusing yang entah kenapa kembali datang sejak pagi tak kunjung hilang. "Alasan aja kamu. Cepat buatkan bubur ayam buat Rara, semua gara-gara kamu jadi kandungan Rara bermasalah. Kalau saja sesuatu terjadi pada mereka berdua sudah ibu habisi kamu. Cepetan! Sebentar lagi menantu kesayanganku akan pulang." Ucap Bu Winda tidak terbantahkan. Dengan langkah berat, Fia kembali ke dapur membuat bubur meski tubuhnya begitu lemah. Semula Faris akan mengantarnya ke dokter. Namum, entah drama apa yang sudah dilakukan oleh madunya sehingga ia terjatuh dan sayangnya di hadapan Fia yang semula ingin menolong kini ia manjadi tersangka. "Assalamualaikum, buk. Tolong bantu Rara dulu," Faris meminta Ibunya untuk membantu agar Rara duduk dengan nyaman. "Faris, suruh istrimu yang mandul itu bawa bubur ke sini. Kebangetan banget sih, kalau nggak suka bukan berarti mencelakai calon anakmu. Apa dia pura-pura lupa kalau anak kamu itu calon cucu ibu?" kesal Bu Winda. Tanpa menjawab Faris pun pergi meninggalkan dua wanita yang tengah duduk di ruang keluarga. Ia mencari istri tuanya yang tengah menyiapkan bubur untuk istri mudanya. "Mas," Faris berlalu begitu saja mengambil bubur yang sudah dibuat oleh Fia dan membawanya ke depan. Tidak ada kata terima kasih atau sapaan dari pria yang selalu memberikan kenyamanan untuknya. Fia bisa menghela napasnya. Acara makan malam berlangsung begitu cepat. Seperti biasa Fia akan makan di dapur. Namun, kali ini Fia memilih untuk tiduran tubuhnya semakin lemah. Akan tetapi tugasnya tidak mungkin di ganti sehingga Fia tetap mengerjakan meksi dengan wajah pucat. Dari jauh Faris terdiam di tempat, memperhatikan apa yang tengah di kerjakan oleh Fia. Niatnya untuk mengambil air minum ia urungkan, seakan kakinya menempel dengan lantai. Ia tertegun melihat Fia yang berapa kali hampir jatuh. Jauh di sudut hatinya, tidak percaya jika istri tuanya tega melakukan hal itu hanya saja Faris sulit untuk membela terlebih di hadapan Ibunya. Bruk!! "Aku tidak apa-apa, mas. Pergilah, jangan membuat masalah untukku, lagi." Ucapnya lirih, sarat akan penekanan. "A —" Faris, urung menahan langkah Fia. Wanita yang terluka karena ulahnya itu berlalu pergi. Wajahnya yang pucat pasi membuatnya tersadar jika ia tidak adil pada istrinya yang lain. "Kamu sedang apa Faris? Jangan bilang kamu mau mendekati wanita tidak tahu diri itu? Cepat, urus Rara. Ibu tidak mau sesuatu terjadi padanya." Tegas Bu Winda. "Buk, Fia sedang sakit. Apa tidak bisa jika Fia tetap istirahat? Besok aku cari pembantu untuk —" Faris kembali terdiam. "Kamu pikir sanggup? Banyak yang harus pikirkan, bukan cuma wanita itu saja Faris. Kamu tahu apa yang terjadi, sudahlah ibu tidak mau mendengar bantahan." Bu Winda, masuk menutup pintu kamar dengan kencang. Suara adzan berkumandang Fia terjaga, sejak semalam ia sulit untuk tidur sehingga pagi ini tubuhnya kembali lemah Brakk!! "Selesai masak kamu belanja. Ingat semua yang ada di daftar harus ada. Pantang pulang sebelum mendapatkannya." Sentak Bu Winda, mengejutkan Fia yang tengah menyiapkan sarapan di meja. "Apa lihat, lihat? Kamu mau mengiba di depan ibu? Jangan harap, ibu iba!" imbuh Bu Winda sengit. "Astaghfirullahaladzim, buk, apa ibu lupa cuma ngasih daftar belanja tanpa memberikan uang padaku?" ucap Fia santun. "Tau nggak ada uang, kamu dong yang bayar Giman sih. Jangan berlagak tidak tahu, duit yang kamu simpan itu duit dari anakku jadi semua itu milikku. Cepetan pergi sana, ingat jangan lama-lama!" "Astaghfirullahaladzim," lirih Fia. Langkahnya gontai meninggalkan rumah mewah suaminya. Lebih tepatnya rumah orang tuanya karena Faris di larang pindah dari rumah itu sehingga Faris mengikuti keinginan mereka sampai berpoligami karena permintaan orang tuanya. Sampai di pasar Fia membeli semua keinginan Ibu mertuanya, lima kantong besar kini ada di hadapan Fia. "Alhamdulillah, selesai." "Fia, kamu Fia kan?" tanya seseorang. Melihat wajah Shafia yang bingung. "Ini, aku, kamu lupa sama aku?" "Astaghfirullahaladzim," lirih Fia, tidak lama tubuhnya ambruk, membuat mereka terkejut. "Fia, bangun Fia!" Mereka saling bantu mengangkat tubuh Fia yang tidak sadarkan diri ke rumah sakit. Setelah menunggu dua jam akhirnya Fia sadar. "Aku di mana?" tanya Fia, bingung melihat kamar bercat putih aroma obat tercium di indra penciuman. "Kamu di rumah sakit, Fia. Gimana keadaan kamu?" "Aku," "Ibu Fia, selamat anda sedang hamil. Itu yang menyebabkan tubuh Bu Fia lemah, nanti akan saya resep kan vitamin agar Bu Fia tidak lembah," dokter menjelaskan kondisi Fia yang lemah karena sedang mengandung. "Apa. Jadi kamu hamil Fia?" "Apa dok, saya hamil?" tanya Fia, tanpa menjawab pertanyaan pria di depannya. Ia begitu syok namun, juga bahagia. "Itu benar Bu Fia, sebentar lagi suami ibu akan datang ke sini jadi–" "Apa, suamiku akan ke sini? Dok, tolong sembunyikan kehamilanku dari suamiku, aku mohon," "Fia!"Hari yang ditunggu tiba, pernikahan Poppy yang digelar secara sederhana, hanya mengundang tetangga dan saudara terdekat. Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka hadir di acara spesial itu, memberikan selamat untuk Poppy dan Arman."Mbak, maafkan aku ya, maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Aku..." Ucap Poppy di sela isak tangisnya."Aku sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang waktunya kita membuka lembaran baru, selamat ya. Aku bahagia melihatmu seperti ini Poppy," jawab Fia dengan senyum hangat."Terima kasih, Mbak Fia. Aku benar-benar malu sama Mbak Fia," Poppy menundukkan kepala, merasa sedikit malu."Sudah ah, masa pengantin nangis, make-upnya jelek tahu! Tuh, lihat jadi luntur kan," Fia menggoda Poppy, membuat Poppy tertawa meskipun air matanya masih mengalir.Alangkah indahnya kebersamaan seperti saat ini. Fia, wanita yang menjadi kakak iparnya dulu, selalu dihina bahkan Poppy ikut andil mengusir Fia dan mendukung seorang pelakor. Namun, sekarang Fia telah memaafkan
Tiga tahun kemudian, riuh suara yang terdengar hingga ke halaman depan. Erik yang baru saja keluar dari mobil mewahnya mempercepat langkahnya, di sana tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya tengah berjalan ke arahnya. Menyambut kedatangan, setelah lelah bekerja."Assalamualaikum kesayangan, ayah. Wah, rupanya sudah tampan dan cantik. Lalu, gimana kabarnya jagoan ayah dalam sana?" Erik mengecup perut Fia, kaku berpindah memeluk Al sesaat. Hingga Erik menikah ke arah samping Al, di mana sosok putrinya yang tengah merajuk dengan berlahan Erik meraih tubuh mungil itu membawanya dalam dekapan hangat tubuhnya."Apa putri ayah ini tengah merajuk lagi? Sayang maafkan ayah, hari ini ayah sibuk banget sampai ayah tidak sempat makan dan ponsel ayah sampai habis baterai," lirih Erik, berusaha menyentuh hati putrinya yang sejak siang tadi merajuk. Erik meminta bantuan pada Fia yang justru di sambut dengan mengangkat bahu acuh. "Aduh," keluh Erik, memegang perutnya."Ayah! Ayah sakit? Aban
"Apa maksudmu bicara seperti itu Poppy? Kamu lupa siapa yang di depan kamu ini, hah?" ucap Winda, geram melihat sikap dan tutur kata putri bungsunya."Tidak ada maksud apa pun, yang aku katakan ini benar kan? Aku bingung sebenarnya kami ini anakmu bukan sih mah? Kenapa mama ajarkan hal tidak baik pada kami? Lihat ayah yang selalu memberikan contoh yang baik, walau kami lebih patuh pada mama. Satu persatu kamu hancur dan itu karena keegoisan mama dan kamu mas!" Plak "Lancang kamu! Pergi dari sini, dasar anak tidak berguna!" usir Winda, tanpa merasa bersalah telah menampar dan kini mengusirnya."Tanpa di suruh, aku akan pergi dari sini. Dan kamu mas Faris, nikmati dinginnya penjara bersama mama," "Argk pergi kamu, pikirkan rumah tangga kamu yang hancur itu. Pantas saja suamimu memilih menikahimu secara sederhana nyatanya dia cuma seorang bajingan!""Aku begini karena ulah kalian berdua. Mas kamu lupa sudah mengkhianati mbak Fia, kamu menerima perjodohan dari mama dan lihat bagaimana
Plak"Kenapa ayah menampar ku? Apa aku membuat ayah marah?" Faris, mengusap cairan merah di sudut bibirnya. "Menjijikan!" Umpat Jordan."Ck, sudahlah jangan ikut campur masalah ku dan Fia. Ayah, sebenarnya siapa yang anak ayah, aku atau Fia? Selama ini ayah tidak sedikit pun mendukung keinginanku, bukankah ayah menginginkan menantu ayah kembali?"Plak Sekali lagi Jordan menampar Faris. Jordan, ayah Faris, sangat marah ketika mengetahui kebenaran tentang Faris yang meminta syarat sebelum mendonorkan darahnya untuk Al. "Faris, apa yang kamu lakukan?! Kamu meminta syarat menceraikan Fia dari Erik sebelum mendonorkan darahmu untuk Al?!" Jordan berteriak dengan nada marah.Faris tidak peduli dengan kemarahan ayahnya. "Apa yang salah, Ayah? Aku hanya ingin Fia kembali kepadaku."Jordan tidak bisa percaya dengan jawaban Faris. "Kamu tidak memiliki hati! Anakmu sendiri membutuhkan darahmu, dan kamu meminta syarat seperti itu?! Kamu tidak layak menjadi ayah!"Faris tersenyum sinis. "Ayah tida
"Mah, Al kecelakaan? Kapan, dan di mana? Apa tadi ayah yang memberi kabar? Sekarang gimana keadaannya, ayo kita ke sana mah!" Seru Faris panik."Mah?" sambung Faris, melihat Ibunya justru tenang."Sayang, duduk sebentar. Biarkan semua berjalan sesuai rencana, dan kamu sebentar lagi mendapatkan apa yang kamu inginkan, tunggu di sini," Faris menggeleng, bagaimana mungkin Ibunya bersikap tenang mendengar kecelakaan cucunya. "Mama, sadar akan ucapan mama?" tanya Faris, tak habis pikir."Sangat sadar. Faris duduk dan dengarkan kata mama, sejengkal lagi impian kamu untuk rujuk menjadi nyata. Fia akan menghubungimu dan meminta kamu untuk mendonorkan darah dan ..." Winda menjeda ucapannya, tersenyum kelicikan tercetak jelas di bibirnya."Jadi ini semua karena ..." "Ya, mama yang melakukannya. Kamu tenang tidak ada yang melihat dan itu melalui orang suruhan mama, dan kamu pun menyetujuinya.""Ya, tapi aku tidak setuju kalau mama mencelakai Al, dia anak aku mah!" "Sudahlah, kamu yang member
"Faris? Kamu sudah pulang?" Winda mengerutkan keningnya, melihat sang putra pulang lebih awal. Mengingat baru sehari kembali bekerja di perusahaan yang berada di luar kota namun kali ini anak sulungnya sudah ada di depan pintu di jam makan siang."Bisa geser mah? Aku lelah," ucapnya lirih, sarat akan kekesalan yang terpendam."Tunggu, wajah kamu kenapa lebam begitu?" Winda menahan tubuh Faris, hal itu semakin membuat pria tampan itu semakin kesal."Mah, bisa minggir tidak?!" Winda menggeser tubuhnya, membiarkan anaknya masuk. "Mama ambilkan air minum dulu," Winda gegas ke dapur, mengambil air putih untuk putranya."Minumlah, setelah itu jelaskan pada Mama apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dengan wajah bonyok semua kayak gini, kamu berantem sama siapa?""Bisa diam mah? Aku lelah, aku pusing, pulang mau tenang!" seru Faris, Winda menghela napas melihat sikap Faris."Baiklah, mama akan diam. Kamu mau makan sekarang? Biar mama siapkan,""Tidak perlu!" Faris meninggalkan Winda begitu
"Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku huh? Apa begini caramu menghancurkan kami? Sayangnya hal itu tidak berlaku pada kami, aku akan menghancurkan kamu Faris!" geram Erik, sejak meninggalkan rumah untuk menemui Faris yang seenaknya mencuci otak putranya. "Haha! Kau takut? Erik, kamu lupa dia itu anakku, apa pun yang aku lakukan itu semua terserah sama aku, itu hak aku, paham?" Faris merapikan keras kemejanya yang sedikit berantakan karena ulah Erik. Bugh! Bugh! "Kamu pikir aku akan membiarkan semuanya terjadi. Kamu salah besar Faris, aku sendiri yang akan membuatmu menyesal karena sudah menyentuh keluargaku!" tegas Erik. Faris hanya tersenyum, sudut bibirnya terasa asin Erik berhasil melukainya. Melihat tingkah sepupu sekaligus ayah tiri anaknya, sedikit perasaan cemas namun Faris mampu bersikap tenang menghadapi Erik. "Kau takut Erik? Kamu lupa ikatan darah lebih kental dari apa pun dan aku yakin apa yang kamu lakukan ini akan membawa kehancuran hubunganmu dan Fia. Ka
"Jadi itu benar bund?" "Ya sayang, kenapa kamu tanya itu sama bunda? Jagoan bunda memikirkan hal lain?" tanya Fia, lembut."Tidak ada bund!" sahut Al santai.Hari berikutnya sikap Al seperti biasa hanya saja lebih diam, setiap Fia menanyakan selalu di jawab gelengan dan tidak apa-apa. Permintaan tiba tiba Al yang menginginkan sekolah dan permintaan yang sebentarnya membuat Fia curiga. Akan tetapi Fia mengabaikan mengira semua akan baik baik saja."Hari ini kita akan daftar sayang, kamu sudah pilih sekolah mana yang kamu inginkan?" tanya Fia, kali ini mengusap punggung putranya.Pembawaan yang tenang seakan semua berjalan sesuai keinginan, tanpa di ucapkan Fia tahu jika putranya menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi Fia tidak tahu apa, ia akan membicarakan kegelisahannya pada yang suami."Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Erik, khawatir dengan perubahan sikap anak sambungnya, sama seperti yang di rasakan Fia.Fia hanya menggeleng, ingin mengatakan jika curiga pada Faris itu tidak mungk
Kebahagiaan yang tidak pernah terpikirkan oleh Erik, jika akan secepat ini membuat istrinya hamil penerus untuknya. Sejak awal Erik tidak peduli dengan anak sebab sebelum menikah dengannya Fia memiliki anak yang sangat ia cintai. Tidak berbeda jauh berbeda dengan Erik, kehamilan ini adalah kehamilan yang kedua untuk Fia sehingga memudahkan wanita cantik berhijab itu menyikapinya dengan santai. Berbeda dengan Erik yang cemas bahkan kini bersikap posesif terhadapnya."Assalamualaikum sayang, kamu di mana?""Waalaikumsalam mas kamu sudah pulang? Aku ada di dapur. Apa yang kamu bawa itu?" Fia berbalik menyambut kedatangan Erik, entah kenapa hari ini Fia merindukan aroma tubuh pria yang begitu mencintainya."Kamu lupa apa yang kamu minta tadi siang? Di mana Al?" Erik mengecup kening Fia sekilas, sebelum berlanjut mengusap perut rata Fia."Aku kira tidak ada mas. Aku lupa Al sedang pergi bersama ayah, sebentar lagi pulang." Fia berulang kali mengendus kemeja yang masih melekat di tubuh Er