Hari yang ditunggu tiba, pernikahan Poppy yang digelar secara sederhana, hanya mengundang tetangga dan saudara terdekat. Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka hadir di acara spesial itu, memberikan selamat untuk Poppy dan Arman."Mbak, maafkan aku ya, maafkan semua kesalahanku di masa lalu. Aku..." Ucap Poppy di sela isak tangisnya."Aku sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang waktunya kita membuka lembaran baru, selamat ya. Aku bahagia melihatmu seperti ini Poppy," jawab Fia dengan senyum hangat."Terima kasih, Mbak Fia. Aku benar-benar malu sama Mbak Fia," Poppy menundukkan kepala, merasa sedikit malu."Sudah ah, masa pengantin nangis, make-upnya jelek tahu! Tuh, lihat jadi luntur kan," Fia menggoda Poppy, membuat Poppy tertawa meskipun air matanya masih mengalir.Alangkah indahnya kebersamaan seperti saat ini. Fia, wanita yang menjadi kakak iparnya dulu, selalu dihina bahkan Poppy ikut andil mengusir Fia dan mendukung seorang pelakor. Namun, sekarang Fia telah memaafkan
Tiga tahun kemudian, riuh suara yang terdengar hingga ke halaman depan. Erik yang baru saja keluar dari mobil mewahnya mempercepat langkahnya, di sana tiga orang yang begitu berarti dalam hidupnya tengah berjalan ke arahnya. Menyambut kedatangan, setelah lelah bekerja."Assalamualaikum kesayangan, ayah. Wah, rupanya sudah tampan dan cantik. Lalu, gimana kabarnya jagoan ayah dalam sana?" Erik mengecup perut Fia, kaku berpindah memeluk Al sesaat. Hingga Erik menikah ke arah samping Al, di mana sosok putrinya yang tengah merajuk dengan berlahan Erik meraih tubuh mungil itu membawanya dalam dekapan hangat tubuhnya."Apa putri ayah ini tengah merajuk lagi? Sayang maafkan ayah, hari ini ayah sibuk banget sampai ayah tidak sempat makan dan ponsel ayah sampai habis baterai," lirih Erik, berusaha menyentuh hati putrinya yang sejak siang tadi merajuk. Erik meminta bantuan pada Fia yang justru di sambut dengan mengangkat bahu acuh. "Aduh," keluh Erik, memegang perutnya."Ayah! Ayah sakit? Aban
"Apa maksudmu bicara seperti itu Poppy? Kamu lupa siapa yang di depan kamu ini, hah?" ucap Winda, geram melihat sikap dan tutur kata putri bungsunya."Tidak ada maksud apa pun, yang aku katakan ini benar kan? Aku bingung sebenarnya kami ini anakmu bukan sih mah? Kenapa mama ajarkan hal tidak baik pada kami? Lihat ayah yang selalu memberikan contoh yang baik, walau kami lebih patuh pada mama. Satu persatu kamu hancur dan itu karena keegoisan mama dan kamu mas!" Plak "Lancang kamu! Pergi dari sini, dasar anak tidak berguna!" usir Winda, tanpa merasa bersalah telah menampar dan kini mengusirnya."Tanpa di suruh, aku akan pergi dari sini. Dan kamu mas Faris, nikmati dinginnya penjara bersama mama," "Argk pergi kamu, pikirkan rumah tangga kamu yang hancur itu. Pantas saja suamimu memilih menikahimu secara sederhana nyatanya dia cuma seorang bajingan!""Aku begini karena ulah kalian berdua. Mas kamu lupa sudah mengkhianati mbak Fia, kamu menerima perjodohan dari mama dan lihat bagaimana
Plak"Kenapa ayah menampar ku? Apa aku membuat ayah marah?" Faris, mengusap cairan merah di sudut bibirnya. "Menjijikan!" Umpat Jordan."Ck, sudahlah jangan ikut campur masalah ku dan Fia. Ayah, sebenarnya siapa yang anak ayah, aku atau Fia? Selama ini ayah tidak sedikit pun mendukung keinginanku, bukankah ayah menginginkan menantu ayah kembali?"Plak Sekali lagi Jordan menampar Faris. Jordan, ayah Faris, sangat marah ketika mengetahui kebenaran tentang Faris yang meminta syarat sebelum mendonorkan darahnya untuk Al. "Faris, apa yang kamu lakukan?! Kamu meminta syarat menceraikan Fia dari Erik sebelum mendonorkan darahmu untuk Al?!" Jordan berteriak dengan nada marah.Faris tidak peduli dengan kemarahan ayahnya. "Apa yang salah, Ayah? Aku hanya ingin Fia kembali kepadaku."Jordan tidak bisa percaya dengan jawaban Faris. "Kamu tidak memiliki hati! Anakmu sendiri membutuhkan darahmu, dan kamu meminta syarat seperti itu?! Kamu tidak layak menjadi ayah!"Faris tersenyum sinis. "Ayah tida
"Mah, Al kecelakaan? Kapan, dan di mana? Apa tadi ayah yang memberi kabar? Sekarang gimana keadaannya, ayo kita ke sana mah!" Seru Faris panik."Mah?" sambung Faris, melihat Ibunya justru tenang."Sayang, duduk sebentar. Biarkan semua berjalan sesuai rencana, dan kamu sebentar lagi mendapatkan apa yang kamu inginkan, tunggu di sini," Faris menggeleng, bagaimana mungkin Ibunya bersikap tenang mendengar kecelakaan cucunya. "Mama, sadar akan ucapan mama?" tanya Faris, tak habis pikir."Sangat sadar. Faris duduk dan dengarkan kata mama, sejengkal lagi impian kamu untuk rujuk menjadi nyata. Fia akan menghubungimu dan meminta kamu untuk mendonorkan darah dan ..." Winda menjeda ucapannya, tersenyum kelicikan tercetak jelas di bibirnya."Jadi ini semua karena ..." "Ya, mama yang melakukannya. Kamu tenang tidak ada yang melihat dan itu melalui orang suruhan mama, dan kamu pun menyetujuinya.""Ya, tapi aku tidak setuju kalau mama mencelakai Al, dia anak aku mah!" "Sudahlah, kamu yang member
"Faris? Kamu sudah pulang?" Winda mengerutkan keningnya, melihat sang putra pulang lebih awal. Mengingat baru sehari kembali bekerja di perusahaan yang berada di luar kota namun kali ini anak sulungnya sudah ada di depan pintu di jam makan siang."Bisa geser mah? Aku lelah," ucapnya lirih, sarat akan kekesalan yang terpendam."Tunggu, wajah kamu kenapa lebam begitu?" Winda menahan tubuh Faris, hal itu semakin membuat pria tampan itu semakin kesal."Mah, bisa minggir tidak?!" Winda menggeser tubuhnya, membiarkan anaknya masuk. "Mama ambilkan air minum dulu," Winda gegas ke dapur, mengambil air putih untuk putranya."Minumlah, setelah itu jelaskan pada Mama apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang dengan wajah bonyok semua kayak gini, kamu berantem sama siapa?""Bisa diam mah? Aku lelah, aku pusing, pulang mau tenang!" seru Faris, Winda menghela napas melihat sikap Faris."Baiklah, mama akan diam. Kamu mau makan sekarang? Biar mama siapkan,""Tidak perlu!" Faris meninggalkan Winda begitu