"Ini sih keterlaluan. Mau sampai kapan diam, Fi? Kau harus melapor pada guru," desak Talia, teman sekelasnya yang baru saja masuk ke kelas. Nada suaranya terdengar gusar, seolah tak bisa menahan kekesalannya melihat keadaan Fiora.
Fiora masih diam, tangannya menyentuh salah satu coretan di mejanya. Ia mengusapnya perlahan, lega karena setidaknya Reksa sedikit berbaik hati dengan tidak menggunakan spidol permanen untuk ini. "Tidak perlu," ucap Fiora akhirnya. "Reksa paling cuma dapat hukuman ringan, dan itu tidak akan menjamin dia berhenti menggangguku." "Kau cuma takut, kan? Kalau dia malah bertingkah lebih parah kalau kau melapor," balas Talia sambil menatapnya tajam. Fiora tidak menjawab. Itu memang salah satu alasannya, tapi ada hal lain yang lebih menakutkan. Pikirannya kembali ke kejadian yang membuatnya menjadi pesuruh Reksa. Hari itu, Fiora mendapat giliran piket kelas. Tugasnya adalah membuang sampah ke tempat pembuangan sementara di belakang sekolah, area yang jarang dilewati kecuali oleh siswa petugas kebersihan atau siswa-siswa yang ingin menghindari pengawasan guru. Begitu tiba di sana, Fiora menutup hidungnya. Bau sampah bercampur asap rokok menusuk indra penciumannya. Ia tahu tempat itu memang sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak nakal yang suka merokok diam-diam. Fiora buru-buru mengosongkan tempat sampah yang dibawanya. Namun, saat hendak berbalik pergi, matanya menangkap sesuatu di atas tumpukan batu bata bekas. Puntung rokok yang masih menyala, dan panjangnya pun masih setengah. Fiora terpaku. Pikirannya masih berantakan sejak pagi. Semalam, rumahnya kembali dipenuhi suara pertengkaran. Sang ayah selalu menuduh istrinya selingkuh setiap dia pulang dari kerja, lalu mereka mulai berteriak, saling menyalahkan tanpa henti. Fiora mendengarkan semuanya dari balik dinding kamar, kesulitan untuk tidur. Ikut campur dalam urusan orang dewasa bukan pilihan. Jika ia mencoba, yang ada malah dirinya yang dijadikan sasaran pelampiasan kemarahan. Jadi, seperti biasa, ia hanya bisa menunggu hingga semuanya reda. Tapi pertengkaran itu tidak pernah benar-benar berakhir, hanya berhenti sementara sebelum meledak lagi. Ia datang ke sekolah dengan kepala berat dan pikiran penuh. Matanya masih terasa panas akibat kurang tidur. Semua terasa melelahkan. Ia ingin sejenak melupakan semuanya, walau hanya sebentar. Kata orang, rokok bisa membantu menghilangkan stres. Fiora tidak pernah tertarik sebelumnya, tapi sekarang pikirannya terlalu kalut. Setelah memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sekitarnya, ia mengambil puntung rokok itu dan membawanya ke bibir. Hisapan pertama terasa aneh di mulut Fiora. Begitu asapnya masuk, rasa pahit dan getir langsung memenuhi lidahnya, menggelitik tenggorokannya dengan sensasi panas yang tidak nyaman. Ia berusaha menahan batuk, tapi belum sempat mengembuskan asapnya keluar, tiba-tiba— Cekrek. Suara jepretan kamera membuat Fiora tersentak kaget. Fiora tersedak dan detik itu juga paru-parunya terasa terbakar. Asap rokok yang seharusnya diembuskan justru masuk lebih dalam, membuat dadanya sesak. Batuknya pecah tanpa bisa ditahan. Ia membungkuk, terbatuk-batuk hebat sementara matanya mulai berair. Sambil berusaha mengatur napasnya yang tersengal, Fiora menatap orang yang baru saja mengambil gambarnya. Dan di sana, bersandar santai di dinding dengan ponsel terangkat, berdiri seorang laki-laki dengan ekspresi puas. Reksa. Dia menyeringai, menatap layar ponselnya sejenak sebelum mengangkat kepalanya untuk menatap Fiora. "Ini dia wajah yang mencuri rokokku." Fiora membeku. "Kau baru saja mengambil fotoku?" Reksa tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya dan menunjuk benda ditangan Fiora dengan dagunya. Jelas meminta kembali rokoknya. Fiora menunduk, menatap rokok yang masih terselip di antara jarinya. Sisa rasa pahit masih terasa di lidahnya, dan tenggorokannya masih terasa perih akibat batuk barusan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap menyerahkannya begitu saja. Reksa mengambilnya dengan santai, lalu tanpa ragu, ia membawanya ke bibir dan menghisap dalam-dalam. Asap putih keluar perlahan dari mulutnya, mengepul di udara sebelum menghilang. Matanya melirik Fiora sekilas, seolah sedang memberi contoh bagaimana cara merokok yang benar. "Ya, pencuri." Reksa akhirnya membuka suara, menunjukkan layar ponselnya kepada Fiora. Di sana, jelas terlihat wajahnya yang sedang menghisap rokok dengan ekspresi canggung. "Lihat wajahmu, wow! Kau terlihat bagus disini." Dia menyeringai lagi. "Bagaimana rasanya, rokok milikku?" Fiora merasakan darahnya berdesir. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Hapus fotonya." Reksa hanya tertawa kecil, tampak menikmati situasi ini. Ia menggoyangkan ponselnya di udara seolah-olah sedang memamerkan barang berharga. "Kenapa? Kau takut?" tanyanya dengan nada menggoda. "Bukannya tadi kau sangat menikmati rokok itu?" "Aku tidak menikmatinya!" Fiora membantah cepat. "Oh ya?" Reksa terkekeh, matanya masih tertuju pada layar ponselnya. "Sayangnya, kamera tidak bisa berbohong." Ia melirik Fiora dengan penuh kepuasan sebelum kembali melihat ponselnya yang masih menampilkan foto Fiora. "Kalau aku mengirim ini ke guru BP atau menyebarkannya ke grup sekolah, kira-kira apa yang akan terjadi, ya?" Fiora merasakan dadanya semakin sesak. Jika foto itu tersebar dan sampai ke tangan guru, kemungkinan terburuknya adalah orang tuanya akan dipanggil ke sekolah. Tidak! Jangan sampai itu terjadi! "Kumohon, jangan lakukan itu," katanya, suaranya lebih lirih. Reksa tersenyum miring. "Baiklah. Aku tidak akan menyebarkannya," dia berpura-pura berpikir. "Tapi dengan satu syarat." Fiora menelan ludah. Ia tahu ini tidak akan berakhir begitu saja. "Syarat apa?" Reksa menyeringai. "Mulai sekarang, turuti semua perintahku." Jantung Fiora mencelos. "Apa?" "Siapa namamu?" "Fiora." Reksa mengangguk kecil. "Fiona." Fiora menghela napas, mencoba menahan kesal. "Fi-o-ra," ulangnya, mengeja dengan jelas. "Baiklah, Fiona. Tugas pertamamu belikan aku sandwich buah." "Apa?" "Dan satu kaleng kopi." * Fiora memandang coretan yang mengotori mejanya, dengan kesal. Meskipun tidak menggunakan tinta permanen, bukan berarti coretan itu bisa dihapus seperti menghapus papan tulis. Fiora mendesah lelah karena cukup sulit dihapus hanya dengan tangan kosong. Namun, dia tidak punya pilihan lain selain mencoba membersihkannya dengan tisu kering yang selalu dia taruh di dalam tas. "Nih," Satu bungkus tisu basah mendarat di mejanya. Fiora memandang orang yang melakukan itu, dan terheran. Tidak hanya Fiora, Talia, serta semua teman sekelasnya memandangnya dengan mata membola. Reksa yang melakukannya. Fiora berterimakasih lalu dengan cepat mengeluarkan satu lembar tisu basah dan mulai mengusapkan pada permukaan meja. Tak butuh waktu lama, coretan-coretan itu mulai memudar, tersapu bersih hanya dengan beberapa gesekan. Fiora merasa lega saat melihat meja yang semula penuh dengan coretan, kini kembali bersih. “Syukurlah,” gumamnya pelan, merasa sedikit lebih tenang. Talia yang melihat itu hanya mengangkat alis. “Hanya menggunakan tisu basah bisa langsung bersih, ya? Kau beruntung.” Fiora hanya tersenyum kecil, merapikan tisu basah itu dan menyimpannya di dalam Laci, tidak yakin untuk mengembalikan pada yang punya. Setelah itu, ia membuang bekas tisu ke tempat sampah.Hujan deras menyambut dari jam terakhir sekolah, memukul-mukul genting dan membasahi jalanan tanpa ampun. Fiora berdiri di dekat jendela, memperhatikan bagaimana air hujan meluncur deras, memburamkan pandangan ke luar.Suasana kelas mulai sepi. Satu per satu siswa meninggalkan ruangan, beberapa di antaranya berlari menembus hujan tanpa payung, seolah lebih memilih basah daripada menunggu.Fiora menatap baris paling belakang di kelas. Bangku yang menjadi perhatiannya sudah kosong dari sebelum pelajaran terakhir, dia tidak tau kemana Reksa menghilang. Tapi satu hal tak bisa lepas dari pikirannya. Hadiah yang tadi diberikan, kenapa disimpan?“Fiora! Ayo pulang!” seru Talia dari pintu.Fiora mengangguk kecil, mengambil tasnya dan berjalan menghampiri gadis itu.Mereka bertiga—Fiora, Talia, dan Nabila—melangkah menuruni tangga menuju lantai satu. Suara hujan terdengar semakin keras, memantul di atap dan paving sekolah, menyiprat sampai di koridor lantai satu. Sesampainya di bawah, ketigany
Hari ini sebelum pelajaran pertama dimulai, Fiora menaiki tangga menuju lantai tiga gedung barat. Langkahnya pelan, tidak terburu-buru. Ia sudah hafal arah ruangan itu, meski tidak pernah tercantum di jadwal resmi sekolah.Saat membuka pintu, aroma teh hangat dan wangi diffuser yang samar langsung menyambutnya.Fiora berjalan pelan menuju kursi di samping jendela, tempat yang selalu ia pilih sejak pertama kali datang ke sini. Sudah hampir dua bulan berlalu sejak diferensiasinya. Ia mulai terbiasa duduk dalam lingkaran kecil ini, meski perasaan canggung itu belum sepenuhnya hilang.Awalnya dia mengeluh ketika mendapat kelas konseling yang berbeda dengan Nabila. Namun sekarang ia bersyukur. Entah kenapa Fiora merasa tidak ingin terlalu sering bertemu dengannya.Fiora mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ternyata dia menjadi orang terakhir yang memasuki kelas.Sebelumnya, saat masih seorang beta, ia tidak pernah membayangkan bahwa omega punya kelas khusus seperti ini. Bahkan para
"Jadi," Fiora akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi kepalanya. "Itulah sebabnya kau rutin menyelimutiku dengan feromonmu?"Reksa menoleh sedikit, lalu mengangkat bahu seperti seseorang yang baru saja menyadari sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya. "Sebelumnya aku hanya mengikuti insting," katanya ringan, hampir seperti gumaman. "Sekarang aku tahu alasannya kenapa."Mereka berjalan berdampingan menyusuri koridor, langkah mereka terpantul lembut di lantai ubin yang masih menyimpan kehangatan matahari.Tas tergantung miring di bahunya, dan rambutnya, yang baru saja ia sisir asal dengan jari, berkibar pelan setiap kali angin sore menyelinap masuk lewat celah jendela. Fiora menghela napas kecil, lalu mengalihkan wajahnya ke samping, berusaha menyembunyikan rona yang dengan cepat menjalari pipinya."Tapi tolong," katanya, pelan tapi sungguh-sungguh. "Lihat situasi. Jangan di kelas juga."Tangannya terangkat, menutup sebagian wajahnya. Jari-jarinya menyentuh pelipis, se
Begitu Reksa masuk ke dalam kelas, matanya menangkap pemandangan yang tak ia harapkan.Fiora duduk di bangkunya, buku tugas terbuka, dan di seberangnya, ada anak laki-laki yang pernah Fiora panggil dengan nama 'Adam'. Lelaki itu bersandar santai di meja, dan Fiora tertawa pelan karena sesuatu yang dikatakannya.Reksa berhenti di ambang pintu.Beberapa detik ia terdiam, lalu melangkah mendekat ke arah mereka. Tenggorokannya terasa kering karena Fiora masih belum menyadari kehadirannya. Ia melangkah lebih dekat, lalu berdeham cukup keras.Sekejap, perhatian keduanya langsung tertuju padanya.Adam menoleh. Begitu melihat raut wajah Reksa yang jauh dari ramah, ia langsung bangkit dari duduknya. “Aku balik ke tempatku dulu,” katanya pada Fiora, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.“Kau dan Adam,” kata Reksa. “Apa itu tadi?”Fiora bahkan tidak mengalihkan pandangan dari buku tugasnya. “Itu namanya mengobrol, Reksa. Mungkin kau pernah mendengarnya.”Jawaban itu membuat dahi Reksa mengernyit. N
Fiora duduk dengan gelisah di bangku kantin, pandangannya melayang pada kerumunan siswa yang sibuk dengan makan siang mereka. Di depannya, Talia mengaduk-aduk minumannya dengan malas, sesekali melirik Fiora yang tampak tidak tenang."Reksa menghindariku," ucap Fiora tiba-tiba, suaranya hampir tenggelam di antara riuh rendah kantin."Apa?!" Talia mengangkat alis, sedikit terkejut."Reksa menghindariku," Fiora mengulangi, kali ini dengan lebih tegas, sambil menatap lurus ke arah Talia."Ya, ya," Talia melambai seolah menepis udara di antara mereka. "Maksudku kenapa dia menghindarimu?" Dia memiringkan kepalanya, merasa heran."Itulah yang membuatku bingung. Kenapa dia menghindariku?" Fiora menggelengkan kepalanya, kebingungan jelas terlukis di wajahnya. "Seolah-olah aku melakukan sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu apa."Fiora lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Talia, suaranya mengecil seiring jarak di antara mereka yang menyempit. Gerakannya membuat Talia ikut memajukan badannya, pen
Reksa berjalan lesu menyusuri koridor kelas, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Dengan tatapan kosong, ia menerobos kerumunan siswa yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Beberapa bercanda di depan kelas, ada yang sibuk menyalin tugas, sementara yang lain berdiri bergerombol membicarakan sesuatu yang entah apa. Dinding koridor yang penuh dengan pengumuman kegiatan sekolah, poster ekstrakurikuler, serta jadwal ujian, sama sekali tak menarik perhatiannya.Pikirannya terseret ke dalam mimpi aneh yang mengganggunya semalam. Mimpi yang tak pernah ia bayangkan akan melibatkan Fiora yang polos.Tapi di dalam mimpi itu, Fiora bukanlah dirinya yang biasa. Dia lebih berani, lebih ekspresif dan ... yang paling mengganggu, lebih centil dari yang bisa ia bayangkan.Reksa mengusap pelipisnya dengan frustrasi, berharap bayangan mimpi itu segera hilang dari pikirannya. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Tanpa sadar, ia mengacak-acak rambutnya. "Sadarlah, Reksa!" marahnya pada dirinya send