Share

Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia
Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia
Author: Lotus

Bab 1

Author: Lotus
Ini sudah menjadi pernikahan ketujuh belas yang kuselenggarakan dengan tunanganku. Enam belas kali sebelumnya, dia selalu meninggalkanku sendiri di pelaminan karena adik angkatnya yang rapuh, Agnes.

Saat aku menggandeng lengan Lewis, melangkah di karpet merah, bayi di perutku tiba-tiba menendang dengan keras.

"Si kecil juga menantikan hari ini," katanya sambil tersenyum dan menggenggam tanganku.

Saat pastor mulai membacakan janji pernikahan, semua mata tertuju pada kami.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Lagi-lagi dari Agnes.

Ekspresi Lewis seketika membeku, jari-jarinya menegang tanpa dia sadari.

"Tolak teleponnya, Lewis." Aku menatapnya dengan tajam.

Pergulatan batinnya tergambar jelas di matanya. Jarinya menggantung di tombol tolak panggilan.

Akhirnya, telepon itu terputus dengan sendirinya.

Baru saja aku menghela napas lega.

Panggilan kedua segera masuk.

"Merry," panggilnya dengan suara rendah. Dia berusaha melepas tanganku. "Mungkin ini darurat. Biasanya dia nggak sesering ini."

Aku tak melepaskan tangannya. "Bayi kita sedang menunggu ayahnya berkata kamu bersedia."

Pupil matanya mengecil tajam, seolah tersengat panas, dia melepaskan tanganku. "Tapi, dia satu-satunya putri Paman Martin!"

Kalimat itu lagi. Martin Greg, seorang penasihat yang mati melindungi ayahnya Lewis, meninggalkan pesan terakhir, yaitu untuk menjaga Agnes baik-baik. Permintaan itu justru menghancurkan hidupku.

Dia mengeluarkan ponselnya. Saat membaca pesan dari rumah sakit, nada bicaranya berubah. "Dia menelan pil tidur!"

"Pil tidur lagi?" Aku mencibir, "Bulan lalu saat dia menelannya, seorang perawat malah menemukan botolnya bahkan belum dibuka!"

"Merry!" bentaknya. Dia menatapku dengan ekspresi kecewa. "Sebelum meninggal, Paman Martin..."

"Dia menitipkan putrinya padamu, bukan menyerahkan pisau untuk menusukku!" Aku meraih kerahnya. "Lihat sekeliling! Keluarga kita, bawahan kita, dan bayi kita yang belum lahir! Mereka semua menunggumu mengucapkan kesediaanmu!"

Ponsel kembali berdering untuk ketiga kalinya. Kali ini terdengar isak lemah Agnes. "Kak Lewis, tolong aku..."

Pupil mata Lewis mengecil.

"Bersikaplah dewasa sedikit!" Dia membuka paksa jari-jariku, seolah akulah yang bersikap tidak masuk akal. "Pernikahan bisa diulang, tapi nyawa manusia cuma satu."

Betapa familier kalimat itu. Waktu pernikahan ke-16 dibatalkan, dia juga berkata begitu.

"Lewis!"

Suaraku menggema di gereja, tetapi punggungnya pergi lebih tegas dibanding enam belas kali sebelumnya.

Dari bangku tamu terdengar bisikan-bisikan. Ada yang mencemooh, ada yang bersimpati, lebih banyak lagi yang menggeleng seperti sudah tahu ini akan terjadi.

Karena pada pernikahan pertama juga sama. Agnes tiba-tiba pingsan, lalu Lewis bergegas pergi.

Aku berlari mengejarnya ke rumah sakit dengan masih mengenakan gaun pengantin. Aku melihat Agnes terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Jarinya mencengkeram ujung baju Lewis. Saat menoleh padaku, sorot mata Agnes berkilat puas.

Lewis membelakangiku, jadi tak melihat senyuman sinis itu.

Upacara kelima diadakan di taman belakang. Aku menunggu seharian dengan gaun sederhana, tetapi tunanganku tak kunjung datang. Para tetua berbisik mencemooh, "Bahkan satu pernikahan pun nggak sanggup dilangsungkan."

Para rubah tua Vireka Selatan tidak pernah menyembunyikan penghinaan mereka padaku yang berasal dari Vireka Utara. "Sehebat apa pun Nona Keluarga Damian, ujung-ujungnya tetap nggak bisa memikat hati Bos Lewis."

Lewis kemudian memeluk dan menghiburku, mengatakan bahwa kali berikutnya tidak akan membiarkan siapa pun meremehkanku lagi.

Pernikahan ke-10, Lewis tiba-tiba pergi lagi. Sepupunya menimpali dengan bercanda di meja makan, "Kak, nikahi saja pengantin dan adikmu sekaligus, daripada repot bolak-balik begitu."

Dia hanya melirik pria itu, lalu pergi tanpa menoleh.

Kali ini, aku tidak mau menunggu lagi.

"Pernikahan dibatalkan. Nggak perlu diadakan lagi."

Para tetua Vireka Selatan terperanjat. Bahkan Andreas, ayah Lewis, yang biasanya meremehkanku pun ikut mendongak.

"Nona Merry." Pastor itu tergagap. "Mungkin kita bisa..."

"Aku bilang," tegasku lagi. "Pernikahan dibatalkan."

Andreas menyipitkan matanya. "Pernikahan Keluarga Ricardo nggak boleh dinodai."

Aku membalas tatapannya dengan tenang. "Kalau begitu, silakan Pak Andreas membujuk pewarismu kembali ke sini untuk menyelesaikan upacaranya."

Lalu, di bawah tatapan terkejut semua orang, aku melepas mahkota itu. Itu adalah pusaka keluarga yang diwariskan ayahnya Lewis. Setiap pengantin Keluarga Ricardo akan memakainya saat mengucapkan janji pernikahan mereka.

"Nggak, jangan!" Andreas sontak berdiri.

Namun, sudah terlambat.

Aku menghantamkan mahkota itu ke lantai. Suara pecahnya berlian mengejutkan semua orang.

Saat aku berbalik, aku merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Kembali ke kamar, aku duduk di depan meja rias dan perlahan menghapus riasanku.

Saat Lewis menelepon, di sana terdengar tawa ringan Agnes. "Terima kasih, Kak, sudah mau merayakan ulang tahunku bersamaku."

Aku juga ingin tertawa. Aktingnya makin asal. Tadi dia menelan pil tidur, eh, sekarang merayakan ulang tahun?

"Merry," panggil Lewis dengan nada malas, sedikit membujuk. "Agnes baik-baik saja. Bisakah kita menikah dua hari lagi? Aku sudah pesan tempat di Gereja Luminara, kamu 'kan suka mural di sana."

Dia selalu begitu, berjanji seenaknya, seolah masih bisa diperbaiki.

"Terserahmu," jawabku dengan nada dingin.

Dia di ujung telepon, tidak menyadari ada yang aneh. Nada bicaranya melunak. "Ngomong-ngomong, bagaimana hasil pemeriksaan kehamilannya? Apa dokter bilang bayinya sehat?"

Aku mengelus perutku. "Ya, sangat sehat."

Dia tersenyum lega. "Syukurlah. Nanti kalau aku pulang, kita..."

"Lewis," potongku. "Ulang tahun Agnes sudah selesai?"

Hening sebentar. Lalu, terdengar tawanya yang dalam. "Merry, apa kamu cemburu?"

Aku tak menjawab. Telepon itu langsung aku tutup, lalu aku mengeluarkan tiket pesawat dari laci.

Tujuan akhirnya adalah markas besar mafia Vireka Utara di Milaya yang telah dikirimkan bersama undangan.

Huruf-huruf kaligrafi emas yang mewah pada undangan berkilau di bawah lampu.

[Selamat datang kembali, Nona Merry.]
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 8

    Beberapa tahun kemudian, di acara penghargaan Kompetisi Inovasi Sains dan Teknologi Remaja Internasional.Amon berdiri di podium dengan setelan jasnya, menerima piala emas sambil disambut tepuk tangan gemuruh dari seluruh penonton."Amon." Sang pembawa acara tersenyum sambil menyerahkan mikrofon padanya. "Silakan sampaikan pidato kemenangan Anda."Dengan suara yang jelas dan mantap, Amon berkata, "Aku berterima kasih pada ibuku. Dia adalah panutanku."Aku tersenyum sambil bertepuk tangan, pandanganku menyapu layar ponsel.Muncul sebuah notifikasi berita.[Keluarga Ricardo dari Vireka Selatan terlilit utang. Sektor bisnis utama mereka terpaksa dijual. Hubungan Bos Lewis Ricardo dengan istrinya dikabarkan memburuk. Pertengkaran terus terjadi.]Foto yang disertakan adalah hasil jepretan diam-diam. Lewis dengan jenggot yang tidak terurus, sorot matanya tampak kosong dan lelah. Sementara Agnes, mengenakan gaun panjang kotor, berteriak histeris padanya.Aku menghapus berita itu dengan tenang

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 7

    Keributan itu sudah menarik perhatian seluruh tamu.Wajah Lewis pucat pasi, bibirnya bergetar, seolah masih ingin membela diri. Namun, tepat pada saat itu..."Kak Lewis!"Agnes tiba-tiba bergegas menghampiri. Satu tangan memeluk perutnya yang sedang hamil, tangan lainnya menggenggam erat lengan Lewis."Lewis, barusan kamu bilang mau kembali padanya?" Suaranya terdengar terluka. "Kamu mau mengakui anaknya? Terus, bagaimana dengan anak kita?"Ruangan langsung riuh. Aku hanya tersenyum sinis melihat adegan konyol itu.Wajah Lewis pucat pasi. Dia mencoba melepaskan diri. "Agnes! Lepaskan! Aku cuma...""Cuma apa?" Agnes menangis sampai riasannya luntur. Raut wajahnya tampak lelah. "Yang ada di perutku ini adalah anakmu! Anak Keluarga Ricardo!"Dia meraih tangan Lewis dan menekankannya ke perutnya.Agnes mendongak dengan wajah lusuh, menatap Lewis. "Kamu sudah janji pada ayahku akan menjagaku seumur hidup! Kamu bilang akan memberi kami, aku dan anak kita sebuah rumah! Di hadapanku, bagaimana

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 6

    Tujuh tahun kemudian, Pusat Keuangan Internasional Milaya.Aku berjalan memasuki aula pertemuan dengan menggandeng lengan ayahku. Kini, aku sudah jadi pemimpin tak terbantahkan di Vireka Utara."Pemimpin Damian." Begitulah orang-orang menyapaku sekarang.Amon yang kutuntun dengan tangan kananku tiba-tiba menggaruk perlahan telapak tanganku dengan tangannya yang mungil. Aku tersenyum dan membelai kepalanya dengan lembut. "Ada apa, malaikat kecilku?""Ibu, pria itu terus menatap Ibu." Amon yang pengamatannya cukup tajam, berbisik memperingatkanku sambil menoleh ke sudut aula yang gelap.Lewis Ricardo.Dia terlihat lebih lesu, semangat dan kepercayaan diri yang dulu dimilikinya telah lenyap. Agnes menempel erat padanya, matanya menatapku dengan waspada.Aku memalingkan muka tak peduli. "Abaikan saja."Namun, Lewis tetap mendekat. Dia mendorong Agnes yang mencoba menahannya, langkahnya goyah, bau alkohol yang kuat menyengat hidung."Merry." Suaranya bergetar menahan emosi. "Sudah tujuh tah

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 5

    Di Milaya, aula pesta Keluarga Damian dipenuhi cahaya gemerlap.Para tetua Vireka Utara berkumpul untuk menyambut kepulanganku."Merry," panggil ayahku dengan penuh kewibawaan sambil mengangkat gelasnya lebih dulu. "Selamat datang di rumah."Aku ikut mengangkat gelas kristalku. Pandanganku menyapu semua orang yang hadir. Di antara mereka ada anak buah lama ayahku, ada pula kekuatan muda yang baru bangkit, serta mereka yang dulu pernah mencemoohku sebagai pengkhianat yang kabur ke Vireka Selatan."Terima kasih semuanya." Sambil tersenyum, aku berbicara dengan tenang, "Selama bertahun-tahun, aku sudah banyak belajar di Vireka Selatan.""Contohnya?" Seseorang bertanya dengan penuh minat."Contohnya..." Aku meletakkan gelasku perlahan. "Bisnis dermaga mereka bertumpu pada suap ke pejabat bea cukai. Daftarnya ada di tanganku.""Jalur senjata mereka bergantung pada tiga orang perantara penting. Salah satunya sudah kurekrut.""Arus kas kasino mereka, dua pertiga nggak tercatat pajak. Besok, s

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 4

    "Kamu bilang apa barusan? Buat apa dia ke sana?"Perasaan cemas yang kuat membuncah di dada Lewis, membuatnya sesak napas.Detik berikutnya, ponselnya bergetar tak henti-henti.Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku, berharap ada secercah harapan.Mungkinkah itu Merry?Ternyata itu Agnes.Dulu, setiap melihat panggilannya, dia hanya merasa tak berdaya sekaligus iba. Kini, yang muncul hanya jengkel dan kecewa."Kak Lewis," ucap Agnes yang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Aku dengar ada masalah di pernikahanmu."Pelipis Lewis berdenyut. Dia menoleh ke sekeliling dan melihat wajah para tamu yang tampak penasaran seperti menonton drama."Agnes, aku sedang sibuk sekarang...""Aku bisa bantu!" Agnes buru-buru menyelanya, "Aku sudah di depan gereja. Keluarga Ricardo nggak boleh jadi bahan tertawaan. Aku bisa..."Klik!Lewis langsung menutup teleponnya.Saat itu juga, dia mendadak mengerti bagaimana rasanya Merry berdiri sendirian di altar.Ternyata begini rasanya ditinggalkan.

  • Ditinggal 17 Kali, Kini Aku Pemimpin Mafia   Bab 3

    Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dapur. Aku menyenandungkan lagu Vireka Utara sambil perlahan menggoreng daging sapi dan telur setengah matang.Ini adalah pesta perpisahan yang kusiapkan untuk diriku sendiri.Aku menarik kursi dan duduk. Saat garpuku nyaris menyentuh telur.Klek.Pintu terbuka.Lewis masuk, membawa harum parfum Agnes yang masih melekat pada tubuhnya. Di tangannya, dia membawa sebuket bunga.Sebuket besar bunga cendrawasih yang terlalu mencolok. Warna kuning keemasan berpadu dengan merah-oranye, tangkainya yang keras menjulang.Aku benci bunga itu. Bagiku, mereka tampak seperti sekumpulan kalkun malang yang dipaksa berdandan untuk dipajang di meja makan, canggung dan norak.Namun, Agnes menyukainya. Katanya bunga itu kuat, seperti dirinya yang selalu berharap bisa begitu."Pagi, Merry." Suaranya serak karena begadang, tetapi suasana hatinya sedang bagus. Dia meletakkan bunga yang mengganggu pandangan itu di meja, lalu duduk di hadapanku."Agnes rewel lagi semalam,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status