Share

Bab 4

Wajah sendu Bu Hartati terlihat kala melepas putri sulungnya ketika bus antar propinsi itu perlahan bergerak. Dibalik kaca jendela, Raya balas menatap ibunya, sambil mengulas senyum dan melambaikan tangan, seolah ingin memberi tahu jika ibunya tak perlu mengkhawatirkannya.

Beberapa pesan dan nasihat sudah diucapkan Bu Hartati sebelum Raya berangkat tadi. Meski rasa khawatir dan takut melanda. Namun, wanita yang sudah menjanda sepuluh tahun itu berusaha tegar dan yakin jika putrinya bisa menjaga dirinya.

Bus yang ditumpangi Raya terus bergerak melewati kota demi kota, masuk keluar hutan dan akhirnya menyebrangi lautan, jarak tempuh antara Palembang dan Jakarta membuatnya harus duduk diam selama lebih dari 20 jam di dalam bus.

Pagi akhirnya menjelang ketika bus ini berbelok ke terminal Rawamangun. Rasa lelah melanda sekujur tubuhnya, namun, tak membuat semangatnya luntur. Gadis itu memandang ke depan, berharap impiannya untuk sukses dan memiliki banyak uang akan terkabul.

Sejak semalam ia sudah memberi tahu bibinya jika pagi ini busnya akan tiba, dari pesan W* terakhir yang diterimanya, bibinya bilang akan menjemputnya, dan memintanya untuk menunggu.

Dengan langkah cepat, Raya keluar dari bus, sambil menyandang ransel dipunggungnya, gadis itu berjalan menuju ke deretan warung yang menjual minuman ringan. Demi menghilangkan dahaganya yang mulai terasa seperti gurun pasir.

"Air mineralnya satu, mbak," Pinta Raya.

Seorang gadis yang hampir seusianya, langsung melayaninya, tangan terampilnya mengambil sebuah botol air mineral bermerk terkenal, dan segera menyerahkannya.

Raya mengambil botol air mineral itu, dan balas menyodorkan sebuah lembaran uang lima ribuan padanya. Tak lama, gadis itu membuka dan meminum hampir setengah botol isinya.

"Mbak kembaliannya, aku minta wafer yang itu ya," tunjuk Raya pada sebuah wafer Nabat* coklat tak jauh darinya.

"Nggak ada kembaliannya, Mbak. Uangnya pas kok."

Untuk sekian detik Raya tertegun kala mendengar ucapan gadis pelayan warung itu, tak lama mata Raya mendelik. Otaknya seketika berhitung ketika kesadarannya kembali.

"Maksudnya, ini sebotol harganya Lima ribu?" Ketus Raya sambil memperlihatkan botol air mineral yang dipegangnya.

"Iya, benar mbak. Harganya Lima ribu."

Raya mencebik kesal, begitu mendengar jawabannya. Matanya masih mendelik seakan tak bisa menerima harga sebuah botol air mineral bisa semahal itu.

"Mahal banget! Di tempatku ini harganya cuma Tiga Ribu, di warungnya Wak Husna malah cuma Dua Ribu Lima Ratus." Raya mencicit.

"Di kampungnya elu mungkin segitu Neng. Ini Jakarta, ya beda lah harganya." Jawab gadis penjaga warung itu tak mau kalah.

Raya mendes*h panjang, bibirnya terlihat ingin mengumpat, tak lama ia memandang botol air mineral yang masih tersisa setengah di pegangnya dan meletakkannya begitu saja di atas meja.

"Nih, ambil, setidaknya aku masih sisakan setengah airnya untukmu." Ketusnya kesal.

Raya mengambil tas ranselnya yang tadi ia lepas, dan menentengnya kembali, tak lama, gadis itu membalikkan badan, dan memilih meninggalkan tempat ini sambil berdecak kesal.

Sepanjang perjalanan keluar dari terminal, gadis itu terus menggerutu. Ia menyesal karena telah mengeluarkan uang lebih hanya untuk sebotol air mineral.

"Ah, kenapa harus kutinggalkan disana botolnya. Kan masih ada sisa airnya." gadis itu menyesali perbuatannya.

"Kalau mau naik haji nggak begitu kali caranya, ambil untung kok banyak bener. Tahu gini, mending beli dua botol di warungnya Wak Husna saja, kemarin," umpat Raya masih mengingat kekesalannya tadi.

Raya mengambil sebuah sobekan kertas kecil bertuliskan alamat rumah Bi Lastri dari dalam saku tas ranselnya. Rumah Bi Lastri ada di daerah Kali Malang, Bekasi. Bibirnya terlihat komat Kamit karena mencoba mengingat dan mengeja kembali pesan bibinya.

Bola mata Raya mulai berputar, mencari tempat untuk beristirahat. Suasana terminal yang ramai, membuatnya sedikit kesulitan mencari tempat yang nyaman untuk duduk.

"Panas!" Keluhnya sambil menggerakkan telapak tangannya, mengipasi wajahnya, hingga

kurang lebih satu jam kemudian, Sang bibi akhirnya tiba menjemputnya.

***

Raya tercekat untuk beberapa saat lamanya ketika mengetahui bahwa rumah Bi Lastri begitu kecil dan sempit. Tak seperti apa yang ada di benaknya. Rumah Bibinya ini sangat sederhana dengan kedua anaknya yang mulai beranjak remaja.

Asap rokok mengepul kuat begitu Raya melangkah memasuki rumah ini. Seorang pria yang tengah asyik menonton televisi kemudian menatapnya. Sadar, dengan tatapan suaminya, Bi Lastri langsung mengenalkanku pada penghuni rumahnya.

"Ini Raya, bang! Anaknya Mbak Hartati," Ucap bi Lastri.

Pria ini tersenyum, ia bersikap cukup ramah, lalu meminta Raya tak perlu sungkan dan menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, membuat gadis itu hanya bisa tersenyum getir, saat melihat kondisi rumah bibinya yang sempit dan ramai.

Kedua anak bibinya juga tak terlalu ramah menyambut kedatangannya, si sulung Dara, bahkan tak lepas dari headset di telinganya sedang adiknya Dita, sibuk bermain game online.

"Dara, ajak Mbak Raya kekamarmu ya!" Pinta Bi Lastri pada putri sulungnya.

Mata remaja itu menatap Raya tak berkedip, membuat Raya mulai tak sabar. Gadis itu masih berusaha menahan lisannya untuk tidak berkata kasar. Mengingat mereka masih keluarganya.

Dengan langkah malas, remaja berusia dua belas tahun yang lalu mengajaknya kekamar. Sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan satu ranjang medium, tempat kedua putri bibinya itu membaringkan tubuh.

"Masuklah, tapi, jangan sembarangan menyentuh barang barangku," ucap remaja bernama Dara itu.

Melihat sikap sepupu dan keadaan rumah bibinya, membuat Raya menggeleng pelan. Hatinya mulai khawatir. Ia merasa tak akan betah jika harus menetap beberapa saat di rumah bibinya ini.

Raya meletakkan ranselnya. Untuk sejenak ia diam hingga akhirnya mengambil ponselnya dan menelepon ibunya, mengabarkan keadaannya saat ini.

[Syukurlah, kau sudah sampai. Ingat, baik baik disana, jaga sikapmu, dan jangan sekali-kali merepotkan bibi mu, ya]

Ucap emak begitu hendak mengakhiri panggilan teleponnya, membuat Raya hanya menghela nafas panjang. Ia memilih duduk di atas tempat tidur. Bibirnya lalu bergumam pelan.

"Lalu, aku mau tidur dimana?" keluh Raya, mengingat rumah ini hanya memiliki dua kamar tidur saja.

"Mungkin lebih baik, aku cari kost kostan saja nanti. Tak apalah keluar uang tapi aku bisa tidur dengan nyaman, " Lanjut Raya sambil menatap ranjang kamar ini.

***

Tujuh hari pertama tinggal di rumah Bibinya dilalui gadis itu dengan perasaan tak rnyaman. Setiap malam Raya terpaksa menggelar karpet di lantai untuk tidur. Karena kasur kamar ini tak bisa dipakai untuk tiga orang.

Pagi pagi sekali bibinya sudah berangkat. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik mengharuskannya berangkat lebih awal. Jika tidak, maka bisa terlambat mengingat jalanan yang akan ramai jika matahari sudah terbit.

Kedua orang sepupunya juga bersiap siap berangkat sekolah, karena hari ini adalah hari Senin. Sedang, Bang Harun, suaminya Bi Lastri juga terlihat akan bersiap untuk berangkat kerja.

Semua penghuni rumah ini akhirnya pergi, hanya tinggal ia sendiri saja. Entah mengapa gadis itu juga bersiap siap hendak keluar rumah.

"Maaf Bi, sepertinya aku tak akan lama menumpang dirumahmu," tutur Raya pelan.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status