"Apakah dengan Saudari Shifra Zwetta? Istri Saudara Elzien Kagendra?" Sosok berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu, sigap memberi hormat pada wanita yang sudah gemetaran menahan pintu yang terbuka setengah.
"Ya Pak, saya sendiri," jawabnya gugup.Jantung berpacu cepat, air sudah menggenang di pelupuk matanya."Kami diperintahkan untuk memastikan keadaan suami Anda di bawah sana-""Apa yang terjadi dengan Mas Elzien, Pak?" sahut Shifra tak sabar."Mohon tenang dulu! Mari silakan!" Petugas dari patroli kepolisian malam itu membawa Shifra ke mobil dinasnya.Jari jemari lentik itu saling meremas tak tenang di pangkuan Shifra. Matanya telah basah dan isakan demi isakan mulai terdengar saat menatap keluar jendela. Suasana perkebunan teh dan kopi sangat gelap, semakin membuat hatinya ketakutan. Tak ada keterangan lagi dari dua orang polisi itu selain hanya akan memastikan sebuah kecelakaan.Mobil dinas polisi patroli itu mulai melambatkan laju saat memasuki sebuah rumah sederhana di tengah persawahan. Lampu kecil dan temaram yang menerangi bangunan dari anyaman bambu itu. Seorang pria yang rambutnya sudah putih seluruhnya berjalan cepat membuka pagar kayu. Dia membungkukkan badan memberi hormat lalu dua polisi turun kemudian membukakan pintu untuk Shifra.Kaki tertutup flatshoes itu gemetaran menapak di tanah, bahkan hampir terhuyung. Sebuah lengan kekar dengan cepat menahan pinggang dan meraih tangan Shifra.Aroma tubuh yang sangat dikenali wanita yang justru semakin terisak itu seolah memberi sebuah kenyataan pahit untuk Shifra."Maaf Sayaaang! Berjanjilah ini terakhir kali kamu menangis, hem?" Suara bariton nan menyejukkan itu terdengar hanya seperti bisikan di telinga Shifra.Dia menoleh memastikan bahwa semua itu bukan ilusinya. Sentuhan, dekapan, aroma, dan bisikan itu nyata adanya. Suaminya baik-baik saja."Mas Elzien jahat banget, sih??? Mau bikin Shifra mati ketakutan? Nggak lucu dan sama sekali nggak romantis, tau nggak?" Shifra meracau memukuli dada Elzien yang terkekeh dan tertawa puas sekali.Dia menangkap dua tangan istrinya lalu memeluk dengan erat. Memberi kecupan dalam dan lama di kening Shifra."Happy anniversary, Sayaaang!" ucapnya menunduk dan saling mendekatkan wajah.Menyatukan segala rasa yang ada dalam hati keduanya. Melebur mengalahkan tangis yang semula mengoyak jiwa. Menjemput rindu yang menyiksa bahkan belum lama berjarak. Menghapus semua prasangka buruk yang sebelumnya bercokol di kepala. Hanya menyisakan satu kata lega di hati Shifra."Ini benar-benar nggak lucu ... jangan lakukan ini lagi! Aku akan mati jika harus tanpamu, Mas!" isaknya lagi memukul pelan lengan Elzien yang hendak menggandengnya.Malam indah di tengah riuh suara alam, jauh dari bising perkotaan, mereka lalui dengan canda tawa. Tepat sebelum fajar menyingsing, Shifra terbangun. Tangannya meraba ke arah sampingnya, bibir ranum itu mengulas segaris senyuman. Sosoknya masih terlelap memunggunginya."Mas ... bangun, yuk? Sudah hampir Subuh, nanti terlambat ke surau lho ...," bisiknya lembut di telinga sang suami."Hm ... bentar lagi, ya? Kamu mandi duluan aja." suara serak itu membalas dengan mata masih terpejam.Shifra mendengkus kasar dengan bibir mengerucut. Elzien suka sekali menunda bangun pagi selama ini. Seperti biasa jurus jitunya akan segera dikeluarkan wanita yang usianya lebih muda itu."Ayo banguuuun!" bisiknya lagi dengan menarik telinga Elzien hingga kepala sedikit terangkat."Ampuuun! Iya Sayaaang, aku bangun! Oke? Lepasin sekarang!" pekiknya mengaduh menahan lengan Shifra agar tak terlalu kuat menjewer."Sekarang giliran Mas!" Elzien mengunci tubuh Shifra di atas kasur. Dua tangannya ditahan di atas kepala. Tatapan penuh puja saling bertemu dalam rasa yang sama. Senyuman yang meronakan wajah tersipu menatap pesona Elzien di atasnya."Mau lagi, hem? Ketagihan sekarang?"Shifra menggeleng dengan cemberut, "Mas harus lebih utamakan Allah daripada Shifra! Nggak boleh mencintai makhluk-Nya melebihi pada Allah! Ngerti?""Fahimna, yaa ustadzah!" balasnya mengecup bibir Shifra sekilas lalu turun dari tubuh mungil sang istri.___"Mas berangkat sekarang? Aku boleh ikut, nggak?" tanya Shifra dengan memanyunkan bibirnya."Nggak akan selamanya, Sayaaang. Kan masih bisa video call? Aku janji pasti kembali setelah semua urusan di sana beres, Ok? Kamu hanya cukup doakan Mas, hem?" Elzien mengusap kepala istrinya yang bersikap tak seperti biasa.Istrinya itu memaksa ikut Elzien untuk pergi meninjau lokasi yang akan menjadi proyek pemerintah di pulau terluar Indonesia. Pria itu tak mengijinkannya karena di daerah belum ada pasokan listrik dan fasilitas yang layak. Lagipula rencananya hanya dua hari saja meninggalkan Shifra. Entah mengapa istri yang biasanya ikhlas ke mana pun suaminya pergi bekerja, kali ini tak mau ditinggalkan."Iya, Mas! Jangan lupa langsung hubungi Shifra setelah sampai sana, ya?" ucap Shifra pada akhirnya merelakan kepergian Elzien. Meski harus dengan memeluknya beberapa menit lebih lama.Dua jam perjalanan udara dengan helikopter dilalui Elzien dan tiga orang rekan bisnisnya dari pemerintah dan dua orang pihak keamanan ikut serta dalam penerbangan. Sebuah tanah lapang di antara pepohonan lebat sengaja dipilih untuk pendaratan sang pilot. Kendaraan udara yang hanya bisa memuat tak lebih dari sepuluh orang itu berhasil mendarat dengan sempurna. Semua penumpang turun dengan menundukkan kepala dan menjaga segala yang mereka bawa agar tak tertiup angin kencang dari baling-baling."Kita lanjutkan dengan ATV, Pak!" kata salah satu penanggung jawab proyek itu menunjuk sebuah kendaraan besar beroda empat namun memiliki kemudi seperti motor.Karena hanya bisa ditunggangi oleh dua orang saja, dan ATV yang tersedia ada empat unit. Maka harus ada satu orang yang mengendarainya sendirian."Biar saya yang sendiri, Pak! Ini adalah salah satu kegemaran saya saat ada waktu senggang dulu." kata Elzien sambil terkekeh dan menepuk dadanya menunjukkan keahlian pada rekannya yang jauh lebih tua dibanding dia."Iya, baiklah! Jangan keluar jalur yang kami buat di depan ya, Pak!" pesan salah seorang polisi yang membonceng sekretaris Elzien bernama Baron.Elzien sudah siap di atas ATV dengan helm dan jaket keselamatannya. Satu ATV di belakangnya adalah pilot dan satu rekan bisnis dari pihak pemerintah. Dua di depan adalah polisi dan pihak dari tempat ini. Keempat kendaraan segala medan itu melaju dengan kecepatan sedang. Melalui hutan belantara yang terjal dengan kiri kanan sisinya jurang terjal nan curam.Pengemudi yang hanya sendirian itu mulai merasa ada yang tidak beres dengan kendaraannya. Elzien berusaha tetap tenang dan mengabaikan apa yang dirasakannya. Pelambat laju atau rem seperti tak berfungsi dengan baik di jalanan menurun. Gerakan tuas pun sangat alot dan tak terkendali. Dia mencoba memberi kode agar beristirahat sebentar. Tapi keenam rekannya tak begitu mengerti isyarat darinya."Tolong berhenti sebentar! Ada yang nggak--" Teriakannya terpotong saat salah satu roda depannya terperosok dalam lumpur yang liat.Tubuh berbalut rompi oranye dengan sepatu boot itu terlempar jauh melayang ke dasar tebing curam. Gerakan berhenti yang tiba-tiba saat laju kendaraan tak terkendali membuatnya tak siap dan terpental keras.Dua rekan di depan yang sudah berjarak sekitar puluhan meter baru berhenti ketika mendengar suara benturan keras."Pak Elzien!!!" teriak Baron menepuk pundak polisi yang memboncengnya.***Bersambung ...."Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa