Teriakan Shifra dan suara benda dilemparkan asal dari dalam kamar terdengar sampai ke ruang makan di mana Javaz masih membereskan sisa makanannya. Pria itu mendongak dan tersenyum tipis lalu melangkah sambil memasukan sapu tangan di saku celananya.
"Shif? Shifra? Buka pintunya! Kamu kenapa? Buka pintunya, Shif! SHIFRA!!!" Teriakan kepanikan serta ketukan berulang kali di pintu kamar Shifra terdengar panik, mengkhawatirkan wanita di dalamnya.Tak lama suara kunci diputar dari dalam, tubuh lesu dengan dua mata sembab muncul di ambang pintu."Kamu kenapa?" tanya Javas sedikit membungkuk menelisik wajah Shifra yang tertunduk.Kepala tertutup hijab itu hanya menggeleng tanpa terangkat sedikit pun."Apa aku sudah gila, Jav? Di mana-mana selalu ada bayangan Mas Elzien ... katakan Jav ... apa aku benar-benar tak bermimpi? Apa ini nyata? Aku tak memiliki siapa-siapa lagi sekarang?" tangisnya pecah, berjongkok memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya yang basah di antara dua siku yang bertumpu."Shif ... kamu nggak sendiri ... masih ada aku, hem? Percayalah ...," Javaz ikut berjongkok dan tanpa ragu mendekap janda dari kakaknya. Menepuk punggung dan mengusap kepala Shifra berulang kali hingga isakannya mulai mereda.Beberapa menit berlalu dalam posisi yang sama, wanita itu merasakan sebuah ketenangan dalam pelukan pria lain yang bukan suaminya.Bukan sengaja atau tak paham tentang ilmu yang dimiliki sebagai seorang yang pernah menjadi santri. Tapi itulah Shifra, sejak kecil tak menerima kasih sayang dari orang tua kandungnya. Hidup sebatang kara di dalam Pondok Yatim dan Dhuafa hingga seorang pria mapan meminta ta'aruf dengannya.Hanya bertahan dua tahun dia merasakan kehangatan sebuah keluarga. Seorang ayah yang dipanggilnya Papa, sekaligus dua adik yang serasa sahabat. Kebahagiaan yang tiada tara baginya harus kembali sirna dengan sebuah tragedi tak terduga. Semua seolah menjauh dan tak lagi peduli pada hati dan perasaannya.Tak ada lagi bahu untuk bersandar. Tak ada lagi ruang berbicara dan berbagi rasa. Hanya Javaz, pria yang pernah menyimpan rasa padanya. Pria yang sekarang masih bertahan ada di sisinya. Shifra merasakan kenyamanan meski bukanlah kehalalan untuknya. Dalam kekalutan dan ketidakpastian kapan kembalinya Elzien, membuat Shifra kehilangan akal. Dia hanya butuh seseorang yang bisa memberinya kekuatan secara nyata. Dan Javaz yang ada di depannya sekarang."Maafkan aku, Shif ... Maaf!" kata Javas memberi jarak.Wanita itu sudah tak mengalirkan air mata lagi, hanya isakan kecil yang tersisa. Dia menatap wajah Javaz dan tersenyum lalu mengangguk, tanda menerima permintaan maaf dan rasa terima kasih.Adik laki-laki dari almarhum suaminya itu menyodorkan sebuah sapu tangan pada Shifra."Hapus dengan ini!" senyuman tipis tersungging misterius di wajah Javaz saat apa yang diberikan diterima dengan senyuman mengembang oleh Shifra."Terima kasih, Jav ... mungkin jika bukan kamu adik dari Mas El, aku sudah kehilangan segalanya bersamaan dengan kepergian Mas El. Terima kasih, Jav ...," kata Shifra mencoba berdiri dari posisi jongkoknya."Eh? Kamu kenapa, Shif?" Dengan sigap Javaz menahan pinggang Shifra.Wanita itu menggeleng dan memegang pelipisnya saat mencoba menegakkan tubuh. Satu tangannya bertumpu di pintu kamar yang setengah terbuka. Saat berdiri tiba-tiba saja mata berkunang dan bumi serasa berputar."Aku ijin masuk ke kamar kamu, ya? Ayo, hati-hati!" Pria itu memapah Shifra yang berulang kali mengerjapkan mata dan menggeleng dan terlihat sempoyongan tak seimbang.Javaz menuntun Shifra masuk ke dalam kamar yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan Sifra dan Elzien."Mas El ... aku pusing banget, Mas ...," racaunya berjalan sempoyongan dibantu Javaz naik ke atas ranjang."Mas ... aku rindu ... kenapa kamu baru kembali sekarang? Jangan pergi lagi, Mas!" Shifra menarik tangan Javaz saat hendak memakaikan selimut ke tubuhnya.'Kalo gue jawab, bakal sadar nggak ya? Shit! Kenapa gue lupa tanya berapa lama efek halusinasi obat ini?' Batin Javaz mengumpati kebodohannya tak bertanya tentang informasi obat yang disemprotkannya pada sapu tangan."Mas ... temani aku dulu ...," wanita yang mulai tak sadar itu kembali duduk dan mengalungkan dua lengannya ke leher Javaz.Susah payah pria itu menelan salivanya, hati kecilnya berkata jangan, tapi sesuatu di bawah sana sudah mulai mengeras. Sebagai lelaki dewasa tak bisa dipungkiri, wanita ini menggoda jiwanya."Mas nggak kangen sama aku? Apa aku tak memuaskanmu di malam itu? Jadi Mas El pergi?" Shifra meracau dengan meliukkan tubuhnya bergelayut manja di leher Javaz.Tak ada jawaban dari pria berperawakan hampir sama dengan Elzien itu. Tangannya mulai menyentuh pinggang wanita di depannya.Mendapat sebuah respon dari pria yang di matanya adalah Elzien, Shifra mendekatkan wajah. Memiringkan kepala dan menempelkan bibirnya di bibir Jazaz yang seketika membelalakkan mata.Merasa tak berbalas dengan hal yang diharapkannya seperti hal yang sering dilakukan dengan suaminya. Wanita itu memberi gerakan pada indera pengecapnya.Javaz merasa menang karena bukan dia yang memulai. Melainkan wanita berstatus janda tiga bulan itu menginginkannya. Dia tak kuasa lagi untuk tidak membalas perlakuan Shifra yang diterimanya cuma-cuma.Kecupan demi kecupan terbalas semakin dalam. Semua alat gerak keduanya pun tak tinggal diam. Saling merasakan dan menjelajahi setiap helai kain yang perlahan ditanggalkan satu per satu."Mas ... aaah ... ternyata, aku melewatkan-- ini ... ssshhhh ... se--lama ...," desisan dan racauan Shifra membuat Javaz melakukannya semakin brutal. Keduanya larut dalam lautan dosa yang tak seharusnya dilakukan.Pria itu rubuh di sisi wanita yang masih meracau menyebut nama suaminya dengan mata tertutup. Senyumannya mengembang dengan napas yang masih terengah setelah berhasil mengeluarkan hormon stres-nya. Berbaring menatap langit-langit kamar dan tersenyum lebar.'El ... El ... kamu terlalu bodoh atau apa? Jadi selama dua tahun kamu belum menyentuhnya? Baru saja melakukannya beberapa hari sebelum tiada? Dasar Bodoh!' Batinnya menertawakan sang kakak dengan gelengan.Dia menoleh ke arah wajah teduh di sampingnya yang mulai hanyut dalam lelap. Sedikit mendekat dan mencondongkan tubuhnya, mengecup bibir Shifra sekilas."Luar biasa! Kenapa semudah ini mendapatkanmu, hem? Dari lima tahun lalu harusnya aku sudah melakukan ini," Javaz terkekeh lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang sama dengan wanita polos di sampingnya.Dering alarm dari ponsel di nakas membawa kembali alam bawah sadar Javaz. Tak biasa dengan suara berisik di telinganya sepagi ini membuat pria itu berdecak kesal."Berisik banget, sih!" umpatnya terbangun dan menyadari sedang berada di tempat yang bukan kamarnya sendiri."Gue harus cepat sebelum Shifra bangun!" gumamnya beranjak ke kamar mandi.Bayangan romansa dirinya dan Shifra masih terlihat jelas. Meski dia tahu akan fatal jika sampai membuat wanita itu hamil atau akan sangat membencinya jika sadar nanti. Tapi semua sudah terjadi dan tak mungkin kembali ke hari kemarin. Nyatanya wanita itu yang memulainya lebih dulu."Tenanglah Jav! Jika ini gagal, maka plan B sudah siap, 'kan?" Pria itu menyemangati dirinya sendiri sambil mengeringkan tubuhnya di depan cermin. Menutup segala ketakutan dalam dirinya karena merencanakan sesuatu kejahatan pada yang dicintainya, Shifra pewaris tunggal kekayaan dan kuasa keluarga Kagendra.Dengan rasa percaya diri yang masih tersisa, dia keluar kamar mandi di dalam kamar pribadi kakaknya. Jantungnya berdetak cepat saat melihat Shifra sudah terduduk di ranjangnya. Tatapan matanya bertemu, wajah terkejut wanita itu sedikit menggetarkan nyalinya. Tapi dengan cepat Javaz mampu mengendalikan lagi dengan senyuman dan sapaan."Kamu sudah bangun?" katanya bersikap seolah dia adalah Elzien, suami Shifra.'Apa reaksimu, Sayang? Itu yang akan menentukan nasibmu ke depan,' rencana busuknya tersusun rapi di benak Javaz saat itu juga.***Bersambung ...."Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man