Share

Bab 6 Cincin yang Terlepas

Keesokan harinya setelah Shifra mengatakan kelakuan Zora pada Javaz. Wanita yang berstatus sebagai janda atas kepergian Elzien Kagendra itu dilabrak oleh adik iparnya sendiri. Berbagai kekerasan hingga kata-kata kasar dilontarkan padanya. Perdebatan panjang antara Javaz dan Papa Haribawa pun menjadi pemandangan yang setiap hari terpampang di depan mata Shifra.

"Kamu pucet banget, Shif?" sapa Javaz pagi hari setelah percekcokan dengan Haribawa dan diakhiri dengan kepergian pria paruh baya itu masuk kembali ke kamarnya, tak jadi sarapan.

"Sedikit pusing dengan semua ini, Jav. Maaf ... kalian jadi harus bertengkar setiap hari karena belain aku," katanya menunduk menyembunyikan sudut matanya yang basah.

Belum sempat mendapatkan jawaban dari Javaz, wanita itu sudah terhuyung saat akan menarik kursi di ruang makan. Dengan sigap pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menahan pinggang Shifra yang hampir roboh.

"Shif ... bangun! Shifra!" Javaz mengangkat tubuh lunglai di gendongannya ke atas ranjang big size kamar Shifra.

"Kita lakukan sekarang, Pa? Sepagi ini? Kita pura-pura dulu aja sampai dia siuman, Gue nggak tega, Pa!" kata Javaz menggeleng dan dengan berani mengecup kening Shifra.

"Dia pingsan beneran? Bukan karena obat dari kamu?" tanya Haribawa bingung.

"Iya ... biar dia yang minta sendiri. Gue cuma perlu sedikit lebih dekat lagi. Ambil kepercayaan dia, kalo dia dah nyaman. Dia pasti mau melakukannya suka rela," paparnya tersenyum sinis.

Haribawa keluar kamar meninggalkan keduanya setelah berkata, "terserah! Jangan terlalu lama! Aset kita semakin menipis. Si Aparat Sialan itu makin hari makin nglunjak minta lebih dan lebih," dia masih menggerutu sendiri sepanjang langkah kaki keluar kamar Shifra.

"Papa tenang aja ... dalam waktu kurang dari setahun dia pasti jadi milik Gue, Pa ...," Javaz berdiri dan meninggalkan Shifra sendirian.

*****

Aroma teh jahe menyeruak di indera penciuman bersamaan dengan cahaya menyilaukan menembus sela kelopak mata Shifra yang perlahan terbuka.

"Lo udah bangun? Gimana? Kenapa maksain buat bangun dan masak, kalo lagi nggak enak badan, sih?" omel Javaz mengangsurkan segelas cangkir ke hadapan Shifra.

Wanita itu berusaha bangun dan bersandar di kepala ranjang. Menerima cangkir yang masih mengepulkan asap dari tangan Javaz lalu tersenyum.

"Thank's, Jav! Bismillah ...," katanya sebelum menyeruput teh jahe hangat.

"Maaf, aku jadi ngreporin kamu, Jav. Kamu nggak jadi kerja?" ucapnya menunduk dan mengusap bibir lalu memainkan cangkir di tangannya. Shifra tak pernah berani menatap lawan jenisnya selain pada sang suami.

"Aku yang harusnya minta maaf, Shif ... bohong jika aku katakan ... perasaanku sama kamu hilang gitu aja setelah kamu menikah dengan Mas El. Aku masih peduli dan sayang sama kamu,"

Ucapan Javaz berhasil membuat Shifra mendongak menatap wajahnya. Masih dengan berdiri di sisi ranjang, pria itu menunduk tajam dan memegang dadanya.

"Di sini, mungkin sama dengan apa yang kamu rasakan sekarang, Shif ... mungkin lebih sakit dari kamu," katanya menepuk dadanya tiga kali, " Aaah ... sudahlah ... kenapa aku jadi ikutan mellow gini, sih?" lanjutnya sambil terkekeh dan menggeleng.

"Lo udah sadar dan bisa 'kan kalo Gue tinggal ke kantor? Em ... Gue usahain bakal pulang cepet, maksimal jam empat, Gue dah di rumah, oke?" katanya sumringah sekaligus mengubah gaya bicaranya lagi seperti biasa.

"Makasih, Jav ... mungkin cuma Kamu yang bisa kupercaya saat ini. Kamu yang masih peduli sama aku," kata Shifra tersenyum lembut.

Javaz mengangguk dan beranjak keluar kamar dan menutup pintunya kembali dengan senyuman licik di wajah.

'Gue nggak sabar milikin Lo, Shif!' batinnya bersorak senang.

Selepas kepergian Javaz dari kamarnya, Shifra membuka semua gorden jendela yang belum sempat dibukanya Subuh tadi.

"Mas El ... kamu sedang apa sekarang? Apakah di sana matahari secerah ini? Terima kasih kamu telah tertulis untukku, terima kasih juga untuk seorang Javaz yang kamu jadikan lebih baik dan menjadi sosok yang baru. Tak seperti saat SMA dulu, Mas. Kamu berhasil mengubah badboy-nya Javaz. Tapi ...," Shifra menunduk dengan setetes bening jatuh dari sudut matanya.

"Kamu, em ... bukan, tapi aku. Ya, aku ... gagal menjaga dan menasehati Zora, Mas. Maafkan aku ... apa yang harus kulakukan pada Zora, Mas? Dia ... dia ...," isak Shifra bicara sendiri seolah ada Elzien pada bayangan kaca jendela di depannya.

Setiap detik dijalani Shifra dengan rutinitas yang sama. Berada di kamar dan di dapur, membersihkan seluruh ruangan dan istirahat. Shalat di awal waktu dan tak lupa mengerjakan shalat sunnah rawatib. Mendekat dan merayu Tuhannya agar Elzien selamat dan kembali dalam pelukannya secara nyata. Dengan sabar dan terus berdoa menantikan keajaiban yang tercipta. Entah berapa lama lagi harus menahan rasa rindu yang semakin mengakar dalam hatinya.

"Assalamualaikum! Shifra?" Sebuah ketukan di pintu kamar Shifra membuat wanita itu menyelesaikan bacaannya.

"Sodaqollahul'adzim ...," ucapnya lirih lalu beranjak membuka pintu tanpa melepaskan mukenanya.

"Maaf, aku ingkar janji. Sebagai gantinya, aku bawain martabak manis kesukaan kamu, hem?" Seru Javaz mengangkat bungkus plastik transparan yang memperlihatkan sebuah kotak di depan wajah Shifra.

"Aku sudah makan, Jav ... kenapa nggak chat dulu, sih? Sayang 'kan kalo nggak kemakan?" Shifra berdecak menatap dua kotak bertuliskan label makanan di hadapannya.

"Hm ... kamu nggak balas, padahal Gue dah telpon berkali-kali lho ...," kekeh Javaz menggeleng, "Ya udah, kita makan berdua, Gue tunggu di bawah!" lanjutnya bersenandung meninggalkan Shifra yang tersipu.

"Masa sih Javaz telpon?" gumamnya mencari ponsel dan tersenyum, lalu menggeleng saat menemukan smart phone-nya dalam mode silent.

"Pantesan nggak denger ada notif sebanyak ini," ucapnya lirih sambil geleng-geleng kepala.

Dia melepas mukena dan merapikan hijab di depan kaca rias. Sedikit tersenyum saat dirasa sudah tak perlu melakukan apapun pada wajahnya. Seorang perempuan dalam masa iddah seharusnya memang tak boleh berhias kecuali untuk pengobatan. Itu yang Shifra pelajari dan dikaji saat di pesantren dulu.

"Kamu ingat momen martabak ini, Shif?" Javaz memulai basa-basi dengan pertanyaan tentang masa lalu mereka.

"Yang pas ngerjain tugas di rumah Mona?" Shifra menanggapi dengan tertawa singkat, mengingat masa putih abu-abunya.

Sepanjang menikmati makanan dari terigu dan telur bertopping aneka rasa itu, Javas terus saja membuat Shifra tertawa lepas dengan cerita nostalgia yang pernah dialami bersama.

"Shif ...," Tangan Javas menyentuh punggung tangan Shifra di atas meja.

Seketika tawa wanita itu terhenti dan menarik tangannya, tapi justru Javas menggenggamnya erat.

Shifra menatap tak suka dan berusaha menarik dengan kuat.

"Aku masih akan terus menunggumu, Shif ... buka hatimu untukku, aku jan--"

Cincin pernikahan di jemari Shifra terlepas saat tangannya berhasil lepas dari genggaman Javaz.

"Maaf Javaz ... aku belum yakin sepenuhnya tentang kepergian Mas El untuk selamanya. Dia pasti kembali. Jadi ... aku akan terus menunggu Mas El sampai aku tiada, Jav!" tegas Shifra mengambil cincinnya di meja dan berdiri meninggalkan meja makan, kembali ke kamar.

Air matanya berjatuhan seiring dengan tubuhnya yang meluruh ke lantai. Bersandar di balik pintu kamarnya. Tangis itu pecah, jemarinya saling bertautan memutar cincin pernikahannya yang sempat terlepas.

"Kenapa bisa terlepas? Ini nggak boleh! Nggak! Nggak boleh! Aku masih istri Mas Elzien Kagendra! Aku bukan janda! MAS EL MASIH HIDUP!" Isaknya sedikit berteriak tak mampu lagi membendung amarah.

Membenturkan kepala belakangnya pada pintu dan sebuah jerit tangisan menyesakkan dada memenuhi kamar temaram yang memiliki banyak kenangan bersama Elzien Kagendra.

***

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status