Keesokan harinya setelah Shifra mengatakan kelakuan Zora pada Javaz. Wanita yang berstatus sebagai janda atas kepergian Elzien Kagendra itu dilabrak oleh adik iparnya sendiri. Berbagai kekerasan hingga kata-kata kasar dilontarkan padanya. Perdebatan panjang antara Javaz dan Papa Haribawa pun menjadi pemandangan yang setiap hari terpampang di depan mata Shifra.
"Kamu pucet banget, Shif?" sapa Javaz pagi hari setelah percekcokan dengan Haribawa dan diakhiri dengan kepergian pria paruh baya itu masuk kembali ke kamarnya, tak jadi sarapan."Sedikit pusing dengan semua ini, Jav. Maaf ... kalian jadi harus bertengkar setiap hari karena belain aku," katanya menunduk menyembunyikan sudut matanya yang basah.Belum sempat mendapatkan jawaban dari Javaz, wanita itu sudah terhuyung saat akan menarik kursi di ruang makan. Dengan sigap pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menahan pinggang Shifra yang hampir roboh."Shif ... bangun! Shifra!" Javaz mengangkat tubuh lunglai di gendongannya ke atas ranjang big size kamar Shifra."Kita lakukan sekarang, Pa? Sepagi ini? Kita pura-pura dulu aja sampai dia siuman, Gue nggak tega, Pa!" kata Javaz menggeleng dan dengan berani mengecup kening Shifra."Dia pingsan beneran? Bukan karena obat dari kamu?" tanya Haribawa bingung."Iya ... biar dia yang minta sendiri. Gue cuma perlu sedikit lebih dekat lagi. Ambil kepercayaan dia, kalo dia dah nyaman. Dia pasti mau melakukannya suka rela," paparnya tersenyum sinis.Haribawa keluar kamar meninggalkan keduanya setelah berkata, "terserah! Jangan terlalu lama! Aset kita semakin menipis. Si Aparat Sialan itu makin hari makin nglunjak minta lebih dan lebih," dia masih menggerutu sendiri sepanjang langkah kaki keluar kamar Shifra."Papa tenang aja ... dalam waktu kurang dari setahun dia pasti jadi milik Gue, Pa ...," Javaz berdiri dan meninggalkan Shifra sendirian.*****Aroma teh jahe menyeruak di indera penciuman bersamaan dengan cahaya menyilaukan menembus sela kelopak mata Shifra yang perlahan terbuka."Lo udah bangun? Gimana? Kenapa maksain buat bangun dan masak, kalo lagi nggak enak badan, sih?" omel Javaz mengangsurkan segelas cangkir ke hadapan Shifra.Wanita itu berusaha bangun dan bersandar di kepala ranjang. Menerima cangkir yang masih mengepulkan asap dari tangan Javaz lalu tersenyum."Thank's, Jav! Bismillah ...," katanya sebelum menyeruput teh jahe hangat."Maaf, aku jadi ngreporin kamu, Jav. Kamu nggak jadi kerja?" ucapnya menunduk dan mengusap bibir lalu memainkan cangkir di tangannya. Shifra tak pernah berani menatap lawan jenisnya selain pada sang suami."Aku yang harusnya minta maaf, Shif ... bohong jika aku katakan ... perasaanku sama kamu hilang gitu aja setelah kamu menikah dengan Mas El. Aku masih peduli dan sayang sama kamu,"Ucapan Javaz berhasil membuat Shifra mendongak menatap wajahnya. Masih dengan berdiri di sisi ranjang, pria itu menunduk tajam dan memegang dadanya."Di sini, mungkin sama dengan apa yang kamu rasakan sekarang, Shif ... mungkin lebih sakit dari kamu," katanya menepuk dadanya tiga kali, " Aaah ... sudahlah ... kenapa aku jadi ikutan mellow gini, sih?" lanjutnya sambil terkekeh dan menggeleng."Lo udah sadar dan bisa 'kan kalo Gue tinggal ke kantor? Em ... Gue usahain bakal pulang cepet, maksimal jam empat, Gue dah di rumah, oke?" katanya sumringah sekaligus mengubah gaya bicaranya lagi seperti biasa."Makasih, Jav ... mungkin cuma Kamu yang bisa kupercaya saat ini. Kamu yang masih peduli sama aku," kata Shifra tersenyum lembut.Javaz mengangguk dan beranjak keluar kamar dan menutup pintunya kembali dengan senyuman licik di wajah.'Gue nggak sabar milikin Lo, Shif!' batinnya bersorak senang.Selepas kepergian Javaz dari kamarnya, Shifra membuka semua gorden jendela yang belum sempat dibukanya Subuh tadi."Mas El ... kamu sedang apa sekarang? Apakah di sana matahari secerah ini? Terima kasih kamu telah tertulis untukku, terima kasih juga untuk seorang Javaz yang kamu jadikan lebih baik dan menjadi sosok yang baru. Tak seperti saat SMA dulu, Mas. Kamu berhasil mengubah badboy-nya Javaz. Tapi ...," Shifra menunduk dengan setetes bening jatuh dari sudut matanya."Kamu, em ... bukan, tapi aku. Ya, aku ... gagal menjaga dan menasehati Zora, Mas. Maafkan aku ... apa yang harus kulakukan pada Zora, Mas? Dia ... dia ...," isak Shifra bicara sendiri seolah ada Elzien pada bayangan kaca jendela di depannya.Setiap detik dijalani Shifra dengan rutinitas yang sama. Berada di kamar dan di dapur, membersihkan seluruh ruangan dan istirahat. Shalat di awal waktu dan tak lupa mengerjakan shalat sunnah rawatib. Mendekat dan merayu Tuhannya agar Elzien selamat dan kembali dalam pelukannya secara nyata. Dengan sabar dan terus berdoa menantikan keajaiban yang tercipta. Entah berapa lama lagi harus menahan rasa rindu yang semakin mengakar dalam hatinya."Assalamualaikum! Shifra?" Sebuah ketukan di pintu kamar Shifra membuat wanita itu menyelesaikan bacaannya."Sodaqollahul'adzim ...," ucapnya lirih lalu beranjak membuka pintu tanpa melepaskan mukenanya."Maaf, aku ingkar janji. Sebagai gantinya, aku bawain martabak manis kesukaan kamu, hem?" Seru Javaz mengangkat bungkus plastik transparan yang memperlihatkan sebuah kotak di depan wajah Shifra."Aku sudah makan, Jav ... kenapa nggak chat dulu, sih? Sayang 'kan kalo nggak kemakan?" Shifra berdecak menatap dua kotak bertuliskan label makanan di hadapannya."Hm ... kamu nggak balas, padahal Gue dah telpon berkali-kali lho ...," kekeh Javaz menggeleng, "Ya udah, kita makan berdua, Gue tunggu di bawah!" lanjutnya bersenandung meninggalkan Shifra yang tersipu."Masa sih Javaz telpon?" gumamnya mencari ponsel dan tersenyum, lalu menggeleng saat menemukan smart phone-nya dalam mode silent."Pantesan nggak denger ada notif sebanyak ini," ucapnya lirih sambil geleng-geleng kepala.Dia melepas mukena dan merapikan hijab di depan kaca rias. Sedikit tersenyum saat dirasa sudah tak perlu melakukan apapun pada wajahnya. Seorang perempuan dalam masa iddah seharusnya memang tak boleh berhias kecuali untuk pengobatan. Itu yang Shifra pelajari dan dikaji saat di pesantren dulu."Kamu ingat momen martabak ini, Shif?" Javaz memulai basa-basi dengan pertanyaan tentang masa lalu mereka."Yang pas ngerjain tugas di rumah Mona?" Shifra menanggapi dengan tertawa singkat, mengingat masa putih abu-abunya.Sepanjang menikmati makanan dari terigu dan telur bertopping aneka rasa itu, Javas terus saja membuat Shifra tertawa lepas dengan cerita nostalgia yang pernah dialami bersama."Shif ...," Tangan Javas menyentuh punggung tangan Shifra di atas meja.Seketika tawa wanita itu terhenti dan menarik tangannya, tapi justru Javas menggenggamnya erat.Shifra menatap tak suka dan berusaha menarik dengan kuat."Aku masih akan terus menunggumu, Shif ... buka hatimu untukku, aku jan--"Cincin pernikahan di jemari Shifra terlepas saat tangannya berhasil lepas dari genggaman Javaz."Maaf Javaz ... aku belum yakin sepenuhnya tentang kepergian Mas El untuk selamanya. Dia pasti kembali. Jadi ... aku akan terus menunggu Mas El sampai aku tiada, Jav!" tegas Shifra mengambil cincinnya di meja dan berdiri meninggalkan meja makan, kembali ke kamar.Air matanya berjatuhan seiring dengan tubuhnya yang meluruh ke lantai. Bersandar di balik pintu kamarnya. Tangis itu pecah, jemarinya saling bertautan memutar cincin pernikahannya yang sempat terlepas."Kenapa bisa terlepas? Ini nggak boleh! Nggak! Nggak boleh! Aku masih istri Mas Elzien Kagendra! Aku bukan janda! MAS EL MASIH HIDUP!" Isaknya sedikit berteriak tak mampu lagi membendung amarah.Membenturkan kepala belakangnya pada pintu dan sebuah jerit tangisan menyesakkan dada memenuhi kamar temaram yang memiliki banyak kenangan bersama Elzien Kagendra.***Bersambung ...."Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa