Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat.
Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya.Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri.Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau sesak. Demi Tuhan aku tak ingin air mata ini jatuh lagi. Sudah kubilang menangis tidak bisa menawarkan solusi. Namun, televisi tabung ini seakan mengolokku."Lihatlah! Kau kalah juga jadi istri setia. Kau tak kuat juga menyembunyikan semua."Sama seperti ucapan seseorang yang mungkin sedang tertawa dengan Akila dan Mas Baja. Hatiku kian berdenyut pedih. Televisi itu seolah menertawaiku. Menjadi saksi bisu atas kesetiaan gadis kampung yang tak tahu diri. Kakiku tak mampu lagi menopang berat tubuh. Lutut pun bersimpuh. Teramat deras aliran air di pelupuk mata. Sesak yang menyeruak pun kian membuatku susah bernapas. Kupukul dada sebelah kiri. Berharap ia tak merasakan sakit lagi.***Getar ponsel diiringi nada dering kencang membangunkanku. Sinar mentari telah memasuki kisi-kisi. Aku tertidur di lantai semalaman. Dengan cepat kuraih ponsel di dalam tas yang teronggok tak jauh dari posisiku lalu mengangkat telepon itu."Amira! Jam berapa ini! Kamu lupa kalau akhir bulan Bos suka keliling?!" Pak Ginanjar berteriak kencang."Maaf, Pak, Maaf. Saya bangun kesiangan.""Payah! Kalau sampai Bos nanyain kamu dan kamu belum sampai. Tanggung sendiri akibatnya!" Kembali kujauhkan ponsel."Baik, Pak."Aku menutup telepon itu. Tanpa berpikir panjang langsung beranjak dari ruang televisi. Mencuci muka serta menggosok gigi. Secepat mungkin mengganti pakaian tanpa mandi terlebih dahulu. Tas yang isinya masih sama kusambar. Segera keluar dari rumah dan menguncinya. Kantor menjadi tujuanku. Dengan motor merah aku berpacu dengan waktu.Jalanan sudah cukup ramai. Sekitar pukul sembilan aku berhasil memarkirkan motor di parkiran kantor. Menilik kaca spion sebentar untuk memastikan tidak ada kotoran di mata. Menyisir rambut dengan tangan dan merapikan kerah baju. Jika harus dipecat aku sudah siap. Nasibku ada di tangan Bos.Beberapa rekan kerja tampak kusut wajahnya. Ada yang memijit pelipis dan berkomat kamit tidak jelas. Suasana kantor mendadak horor. Bos kami jarang memberi teguran, tapi sekalinya inspeksi mendadak, tak jarang beberapa karyawan harus angkat kaki. Aku pun menggeleng. Membayangkan jika hari ini hal itu terjadi padaku.Pak Ginanjar keluar dari ruangannya dengan wajah merah padam. Sepertinya beliau habis menjadi sasaran Bos. Aku berjalan menunduk, mendekati Pak Ginanjar."Bagaimana, Pak?" tanyaku saat Pak Ginanjar tepat di depanku. Pria berbadan gempal itu hanya memalingkan wajah ke arah pintu ruangannya. Tampak Bos sudah menantiku."Paling gak jangan potong gaji, ya, Pak. Kalau pun dipecat tetap kasih yang bulan ini." Aku berubah menjadi penghamba uang. Semua karena cicilan utang Mas Baja"Gak tahu diri. Dah, sana temui sendiri.""Baik, Pak." Kuayunkan langkah menuju ruangan itu. Mengetuk pintu sebagai tanda hormat pada atasan. Sebuah senyum tetap kuhiaskan di wajah."Masuk!" Bos berdiri sembari menatap jendela kaca. Ruangan Pak Ginanjar salah satu yang teryaman di kantor. Meski takut aku tetap melangkah."Kamu tahu berapa lama jatuh tempo utang kamu?" Suara baritonnya sangat berwibawa."Lima tahun, Pak.""Berapa lama kamu sudah mengangsurnya?" Bos masih menghadap ke jendela."Lima bulan, Pak," jawabku lirih."Itu artinya masih kurang berapa bulan?""Lima puluh lima bulan, Pak." Bos pun membalikkan badan."Itu artinya di masa itu kamu tidak boleh terlambat walau sekali. Dan hari ini saat saya melakukan kunjungan dengan sangat nyaman seorang admin penjualan justru terlambat. Saya paling tidak suka." Aku tak berani menatapnya. Ini semua memang salahku. Dan aku pantas mendapatkan konsekuensi."Maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulangi lagi.""Maaf? Apa maaf bisa mengembalikan dua jam keterlambatanmu?" Suara Bos mulai meninggi."Sekali lagi mohon maaf, Pak. Paling tidak jangan potong gaji saya, Pak. Kalaupun saya dipecat hari ini, saya minta tetap kasih full gaji saya yang bulan ini, Pak." Aku benar-benar menjadi penghamba uang.Bos tampak tercengang. Ia seperti tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan."Apa? Minta full gaji?!" Aku semakin menunduk. Tak berani melihat ekpresi Bos. "Wah, kamu memang sesuatu, Amira," ucapnya seraya mengayunkan langkah ke arahku. Refleks aku pun mundur."Daripada berpikir untuk keluar dari perusahaan ini, lebih baik kamu kembali bekerja dan lunasi utangmu dengan segala daya yang kamu punya. Aku benci orang yang meminta maaf dan tidak bertanggung jawab! Ingat itu!" Aku mendongak. Melihat wajah Bos sekilas. Beliau tampak serius."Ingat, Amira. Lima puluh lima bulan!" Bos menatapku tajam. Lalu melewatiku begitu saja.Setelah Bos benar-benar pergi aku baru bisa bernapas dengan normal. Setidaknya bulan depan aku masih bisa bertahan di kota ini. Pulang kampung adalah hal yang tidak akan kulakukan sebelum sukses. Pantang bagiku kembali ke desa jika hanya menambah beban orang tua. Pintu ruangan Pak Ginanjar kututup. Aku pun berjalan ke meja kerja dengan layar monitor. Demi lima puluh lima bulan berikutnya."Gak dipecat kamu?" tanya salah satu rekan kerja yang mejanya tak jauh dariku."Alhamdulillah masih diberi kesempatan.""Pakai susuk apa kamu? Sampai Bos tidak memecatmu?"Hal semacam ini yang selalu membuatku tidak suka terlalu dekat dengan rekan kerja. Mereka yang seolah tidak peduli ternyata bersiap menerkam di saat momen tertentu. Terutama momen saat posisiku tidak aman."Bisa jadi Bos kasihan denganku." Tanpa melihat wajahnya aku menjawab."Yak! Jangan sok keren kamu. Aku paling paham karakter Bos. Beliau paling anti sama karyawan lembek. Harusnya kamu udah dipecat lama. Ya, Gak, Ga?" tanyanya pada rekan kerja yang lain."Emmm, bisa juga. Tapi mungkin karena Amira baik dan cantik. Makanya Bos kasih kesempatan. Lagian laporan penjualan juga selalu beres selama Amira yang pegang." Arga rekan satu ruangan kami membelaku."Kalau dia baik, gak mungkin suaminya kabur milih cewek lain! Udah pasti dia tuh perempuan murahan yang gak bener!" Senior perempuan di kantor kami meneriakiku.Aku menatapnya sekilas. Dari mana dia tahu soal Mas Baja?“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya.“Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya.“Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu.“Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku.“Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya.“Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseor
Setelah mengusap lenganku Mas Arhab duduk di salah satu kursi di ruang inap ibu. Dia mulai fokus dengan gawainya. Aku tetap memerhatikan Ibu lekat. Takut ada suatu hal yang terlewat. Belum pernah ibu sakit seperti ini. Ibu selalu bilang baik-baik saja saat aku menanyakan kabar. Ibu juga tak pernah mengeluhkan kehidupannya di desa. Setiap kali aku pulang, Ibu juga tampak nyaman dengan kondisinya. Aku tak pernah menduga akan seperti ini keadaannya. Kembali kupegang tangan keriput ibu. Menguntai doa pada langit agar beliau segera disembuhkan. Aku tertunduk takzim. Tanpa sadar sebuah bunyi keluar dari perutku.“Apaan, Mir?” Sontak Mas Arhab menimpali.“He.” Aku menatapnya malu.“Kamu lapar?”“He, iya. Dari pagi belum keisi ternyata perutnya.” Aku memang belum sarapan dan makan siang. Sementara waktu sudah hampir sore.“Tunggu bentar ya,” ucapnya lantas berdiri.“Mau ke mana, Mas?” "Cari roti buat ganjal perut kamu.” Lagi Mas Arhab menghiaskan senyum di wajahnya. Aku tersipu malu.Selepa
Mas Baja dan Ibu mertua terus berjalan ke arah ruang inap Ibu. Menyadari hal itu, aku segera menyusul mereka. Takut hal buruk akan terjadi pada Ibu. “Jangan buru-buru, Mir. Kamu belum jadi makan.” Tangan Mas Arhab menghentikan langkahku. “Duduk dulu barang sejenak. Ini rotinya.”Apa daya aku memang sangat lapar. Sebuah pikiran positif berusaha kukuatkan. Tidak mungkin Mas Baja dan Ibu mertua berbuat macam-macam. Kuputuskan untuk menerima tawaran Mas Arhab. Sebuah bangku panjang di sisi kiri koridor rumah sakit kupilih. Aku duduk tenang di sana. Melahap roti berisi coklat dengan gambar kartun favorit Akila. Satu suap aku masih bisa menikmati. Suapan berikutnya pun sama. Namun, aku kembali menangis. Kali ini bukan hanya karena hatiku yang perih, tetapi rasa malu terhadap orang di sampingku. Aku sungguh tidak bisa menerka apa yang ada dalam pikirannya. Apakah ia akan menganggapku sebagai manusia rendah seperti ucapan ibu mertua tadi? Ataukah ia tak peduli? Aku tak sanggup membayangkanny
Masih segar dalam ingatan senyum wanita berambut panjang nan legam itu. Pewaris Aditama Grup yang merupakan perusahaan penyedia jasa alat berat di kota. Parasnya memang cantik. Aku mengakui itu dengan sadar. Bahkan saat Mas Baja tak sengaja menemukan sisa foto mereka di laci salah satu lemari kamarnya, aku benar-benar setuju dengan predikat itu. Namun sayang, sikap dan preferensinya berbeda jauh dengan wajah ayunya. Raline Aditama seenak sendiri memutuskan kerjasama juga hubungan asmara dengan Mas Baja. Hanya karena Mas Baja tak berhasil membawakannya tas mewah dengan merek ternama.“Berapa tahun, Mas, hubungan kalian?” tanyaku saat kami pertama kali tinggal satu rumah. Kami baru pulang berkunjung dari rumah ibu mertua.“Empat tahun dua bulan.” Mas Baja menerbitkan senyum tipis.“Waow lama juga.” Mataku mengerjap. Dibalas dengan kekehan Mas Baja. “Apa obrolan pernikahan sudah ada?” Aku memang selalu penasaran perihal kehidupan Mas Baja sebelum mengenalku. Proses PDKT kami yang cukup
Malam pun membayang. Pagi yang selalu dinanti sebagian pencari rizki hadir kembali. Kondisi ibu masih saja sama. Semalaman saat aku berjaga tak ada progres berarti. Tubuhku mulai terasa lelah. Pergi tanpa persiapan membuatku lupa membawa baju ganti. Kucium lengan yang sejak semalam menguarkan bau tak sedap. Aku tetap mandi hanya saja masih menggunakan baju yang sama. Pintu kamar inap ibu terbuka. Perawat mengecek kondisinya dan tak lupa menguatkanku untuk tabah. Aku cukup membalas dengan senyum.“Mari, Sus,” ucap Martia yang tiba-tiba datang saat pintu kamar inap ibu masih terbuka. Perasaan lega datang membasahi jiwa. Setidaknya masih ada sahabatku yang tak pernah alpa memberi dukungan.“Kamu gak buka toko, Mar. Jam segini udah datang?” tanyaku saat perawat sudah benar-benar pergi.“Nanti tetep buka, Mir. Aku mampir ke sini dulu. Nih, tak bawain baju sama sarapan.” Martia meletakannya di atas meja. Lagi rasa syukur hadir di hati ini. Aku ... tidak mutlak sendiri.“Repot aja, Mar,
Dia ... Mas Baja. Dia ... Lelaki yang istimewa. Seorang Kontraktor yang membangun jalan desa. Dia ... Yang juga mengulurkan tangan saat aku sangat membutuhkan. Apa yang membuatku bertahan selama ini? Enam tahun menjalani pernikahan tanpa restu mertua bukan semata karena cinta. Bertahan di setiap masalah rumah tangga yang menyapa bukan juga karena rasa sayang yang begitu besar. Semua ini terlalui karena balas budi yang hadir bersamaan dengan rasa nyaman. Aku membutuhkan Mas Baja kala itu.Dicampakan Mas Arhab tanpa ada penjelasan membuat hatiku hancur berkeping. Tak ada kata putus yang terucap juga permintaan maaf. Semuanya berjalan seperti biasa. Seakan aku tak pernah dekat dengannya. Selepas dari lembah biru aku semakin tahu di mana tempat terbaikku. Mencintai dan dicintai oleh anak seorang tokoh masyarakat adalah kemustahilan. Tidak sepatutnya aku mengejar cintanya. Satu tahun perjalanan kami hanyalah perasaan singkat yang tidak mungkin berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Ma