Teriakan Mas Baja tak kuhiraukan sama sekali. Dari kaca spion tampak dia mengumpat. Sejenak kuhela napas. Rasanya teramat sesak. Terlebih aku harus kembali tanpa Akila. Gadis kecil itu sudah pasti akan dikelilingi dengan materi. Gadis kecil itu sudah pasti akan bisa mendapatkan semua barang yang ia inginkan. Namun, aku tak yakin ia bahagia.
Motor matic merah melaju di jalanan yang semakin gelap, menuju satu-satunya tempat untukku. Andai ada satu orang saja yang bisa kumintai tolong sudah pasti aku memilih tidak ke rumah itu. Setengah jam berkendara pagar besi itu menyapa. Pagi tadi aku sengaja tak menguncinya. Berharap Mas Baja akan pulang bersama Akila. Sayang, pintu tak terkunci itu tidak berarti. Kudorong pintu gerbang ke sebelah kanan setelah turun dari motor. Kembali menaiki dan memakirkannya di garasi. Rasanya badan lelah sekali.Melihat bangunan mewah ini membuat keningku mengernyit. Dua hari lagi sudah tanggal satu. Sementara uang untuk cicilan belum nampak hilalnya. Aku pun mengenyakkan diri di kursi teras. Membuka martabak yang tadi kubawa lagi. Meski sudah dingin, aku tetap akan menghabiskan menu makan malam ini. Satu suap aku bisa menikmatinya. Sembari memikirkan kejadian di rumah Ibu tadi.Perih. Teramat perih. Aku bukan seorang menantu yang diharapkan. Dan kini aku semakin tersisih. Suapan kedua aku masih bisa menelannya. Seraya memikirkan nasib rumah ini di tanggal satu. Dulu, aku ikut menandatangani modal bisnis hasil utang itu. Dulu aku juga tidak melarang Mas Baja. Martabak ini berhasil membuatku tersedak."Ampun, pelan Amira!" Kuusap dada dengan lembut. Meski begitu aku tetap mengunyahnya bersamaan dengan linangan air mata. Aku teramat bodoh.Selesai dengan potongan ketiga, aku menutup bungkus martabak tadi. Menyandarkan diri di kursi dan menatap penerangan lampu teras. Sangat terang dan menyenangkan. Sekilas ucapan Mas Baja terngiang. Tentang kata cerai yang ia ucapkan. Apa benar hanya karena sebuah komentar? Aku pun kembali menegakkan kepala. Meraih ponsel di tas dan membukanya. Lagi. Notifikasi dari akun facebookku menyala. Dengan cepat aku mengetuknya. Kali ini sebuah pesan.Arhab Alzaidan : Terima kasih untuk selama ini.Mataku membelalak. Terima kasih? Setelah delapan tahun menghilang? Aku tak habis pikir dengan cara pandang laki-laki. Seenak sendiri datang dan pergi. Meski begitu, aku tetap mengetuk nama itu. Hingga tersambung pada profil Mas Arhab. Semua masih sama. Ia semacam membiarkan lini masanya setia pada tampilan yang dulu. Foto sampulnya masih langit sore dengan sinar mentari berwarna jingga. Di tempat yang sama.Napasku seakan terhenti. Aku pun semakin penasaran. Kali ini semakin melihat profilnya. Memang benar saat memutuskan mengubur semua kenangan jangan sekali-kali menggalinya. Perasaan itu yang sekuat tenaga kuhilangkan ternyata masih sedikit tersisa. Bukan perasaan saat ia mengaku mencintaiku, melainkan perasaan ditinggalkan dan tidak diperjuangkan.***"Belanja banyak amat, Bu. Pesanan dari siapa?" tanyaku sembari menerima bahan-bahan pembuat kue yang baru saja dibeli ibu."Dari Bu Setia, Nduk. Mau mantu beliau." Ibu menjawab dengan terus memindahkan bahan-bahan itu satu persatu dari teras ke ruang tamu."Bu- Setia?""Iya. Mantu putranya. Maklum semata wayang. Jadi mau besar-besaran. Belum lama lulus si Arhab." Ucapan ibu sangat santai. Terlebih beliau tidak tahu hubungan kami. Di dunia ini memang hanya aku dan Mas Arhab saja yang tahu."Kapan Bu, nikahnya?""Minggu depan, Nduk. Pas hari sabtu." Jawaban Ibu membuatku limbung. Minggu depan? Secepat itu?Jika memang ia akan menikah dengan wanita pilihan keluarganya, kenapa tidak memberitahuku sama sekali? Kenapa tetap menanyakan kabar dan membalas pesan sayang yang kukirimkan? Setetes air lolos dari pelupuk mata. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan itu."Bu, Amira keluar dulu, ya. Mau ke tempat Martia.""Lah, kan mau bantu, Ibu. Kenapa malah keluar?""Minggu depan mau nyoba ngelamar kerja, Bu. Lumayan buat tambah uang jajan." Ibu meletakkan kantong plastik berisi bahan pembuat kue. Beliau mendekatkan jarak padaku."Maaf, ya, Nduk. Kamu gak bisa kuliah." Mata ibu mulai basah. Beliau selalu tidak nyaman saat membahas pendidikan lanjutanku."Gak apa-apa, Bu. Dari awal Amira dah paham. Ya udah, Amira pergi dulu." Ibu pun menatapku dengan perasaan sedih. Ada hal yang lebih penting saat ini.Langkahku semakin cepat. Mencari Martia untuk mengantarku ke suatu tempat. Setelah ini tak masalah jika sahabatku tahu tentang hubunganku dengan Mas Arhab. Karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa membantuku. Rumah Martia tak begitu jauh. Sesuai dugaan, gadis itu sedang asyik menggunting kuku."Mar, aku butuh bantuan. Anterin aku ke lembah." Dengan napas terengah aku langsung mengungkapkan keinginan.Martia menghentikan aktivitasnya. "Lembah? Ngapain sore-sore ke lembah. Mau digigit nyamuk?""Penting, Mar. Aku mohon. Cukup antar aja kalau kamu tega." Melihat ekpresiku yang gawat, Martia menyanggupi permintaanku. Ia pun masuk ke rumahnya dan keluar lagi membawa kunci motor. Kami berkendara menuju lembah biru. Tempat tersembunyi di desa kami. Sangat indah meski harus menempuh perjalanan sekitar satu jam.[Baik, Mas. Amira juga mau menanyakan sesuatu.]Sebuah balasan kukirimkan pada Mas Arhab.***Beberapa pemuda dan pemudi desa sangat akrab dengan lembah ini. Lembah biru tempat sebagian dari mereka berjalan-jalan sembari berkenalan. Ada juga yang memanfaatkan tempat ini sebagai tempat pertemuan. Mereka tak aka berani berkencan dan hanua berduaan. Pasti ada beberapa rekan yang ikut. Karena lembah biru adalah tempat indah yang tidak boleh dikotori dengan hal-hal seperti itu. Motor Martia berhenti di pinggir jalan."Kamu yakin mau sendiri?" Martia tidak tega. Sudah jam empat dan aku akan bertemu Mas Arhab. Jika ada yang melihat aka sangat berbahaya."Aku bilang jika kamu tega. Kalau nggak, ayo temani. Tapi pastikan kamu bisa jaga rahasia." Sebenarnya tanpa kuingatkan pun Martia sudah paham."Kamu beneran berharap jadi Cinderella, Mir?" Martia menggeleng."Jawabannya sore ini." Dengan mantap kuayunkan langkah. Jalan setapak yang samping kiri kanan adalah perkebunan salak. Aku siap melewatinya. Martia berjalan di belakang dengan sesekali merapal doa. Meksi lirih, aku bisa mendengarnya.Setelah berjalan sekitar lima ratus meter perkebunan salak berganti pohon jati. Aku pun berjalan maju beberapa langkah mendekat pada jalan menurun. Biasanya para pemilik kebun aka memanfaatkan jalan itu untuk melewati lembah dan menuju bagian seberang. Di sana gunung dengan pepohonan menjulang tinggi. Sejauh mata memandang ke sebelah kanan akan ada perbukitan dengan lereng yang cukup curam. Tidak dengan pepohonan yang menjulang, melainkan bebatuan. Dari tempatku berdiri sebuah sungai tampak di bawah lereng itu. Sore ini sinar jingga begitu memesona. Aku tak pernah tahu akan seindah ini pemandangan di lembah biru."Waow. Amazing." Martia menyentuh lenganku. Ia sedikit takut dengan ketinggian. "Mana pangeranmu?" Tampak Martia menyapukan pandang.Benar. Tujuanku adalah bertemu dengan Mas Arhab. Meski pesannya sudah sejak dari jam dua, dan aku baru membalasnya, tujuanku tetap bertemu dengannya."Coba kamu hubungi, Mir." Martia memberi saran. Aku pun mengangguk. Ponsel berbodi hitam kukeluarkan. Untuk pertama aku menelponnya duluan.Panggilanku terhubung. Namun, tak kunjung diangkat oleh Mas Arhab. Martia yang takjub dengan pemandangan lembah, perlahan melangkah. Ia duduk di salah satu ujung tebing tak jauh dari posisi sebelumnya."Gila! Indah banget jingganya!" teriak Martia. Aku pun mengulas senyum dengan tetap menghubungi Mas Arhab. Hingga panggilan kelima tetap tak diangkat juga. Sebuah pesan kutuliskan untukknya.Melihat Martia yang begitu kagum dengan pemandangan ini, mebuatku juga ingin menikmati. Perlahan aku melangkah juga lalau mendudukkan diri tak jauh di sebelah Martia."Hati-hati, Mir. Jangan bunuh diri!" kekehnya. Aku pun menggerutu. "Kalau sampai jam setengah enam pangeranmu tidak datang, kita pulang, ya, Mir. Di sini kadang banyak demitnya." Sontak aku pun memukul lengan Martia. "Yak! Bukan aku yang mau mati!" Aku pun terkekeh melihatnya.Pemandangan sore yang teramat indah sangat disayangkan jika dilewatkan. Kuputuskan menatap jingga. Dengan sesekali melihat ponsel. Satu pesan balasan pun tak ada. Mas Arhab tidak merespons sama sekali. Apakah ini akhir dari kisah kami? Perlahan jingga semakin menghilang. Langit sore akan berganti gelap. Tepat di waktu yang dijanjikan aku dan Martia kembali ke rumah.Ya. Sesakit itu ditinggalkan.Terlalu larut dalam kenangan itu membuatku sampai lupa diri. Buru-buru kuangkat bungkus martabak dan masuk ke rumah. Aku akan segera merebah. Malam ini kucukupkan sampai di sini. Menangis bukanlah sebuah solusi. Hal semacam ini hanya akan melegakan perasaan saja dan semua tetap sama. Besok uang untuk cicilan tetap harus kusiapkan. Pintu jati berukuran besar itu kututup rapat. Langkahku sedikit gontai saat sampai di ruang tengah. Televisi tabung itu masih teronggok di lantai. Aku lupa merapikannya. Perlahan kudekatkan diri pada bangkai televisi yang sudah pecah monitornya. Bodoh. Teramat bodoh sampai menghancurkan barang. Biasanya ini kerjaan Mas Baja. Sayang, kali ini karena tanganku sendiri. Kuangkat televisi itu dan mengembalikan ke tempat semula. Saat menatapnya hatiku kian berlubang. Nasib buruk tak henti menjumpai setelah menikah dengan Mas Baja. Apa yang tampak di permukaan kadang tak sama dengan dasar. Semuanya sangat berbeda. Kuhela napas berat. Mendongak untuk menghalau se
“Yang benar, Mbak kalau ngomong. Jangan sembarangan!” seru Arga. Aku bahkan belum sempat membalas ucapan senior perempuan ini. Malas membuat masalah terpaksa aku memilih diam.“Aku gak sembarangan, Ga. Banyak buktinya. Dia aja yang gak tahu diri” Wajah senior perempuan di kantor kami semakin sinis. Ia membenciku hanya karena Bos tidak memecatku. Lama-lama aku ingin menyumpal mulutnya juga. “Ngomong gak ada bukti itu pembual, Mbak!” Arga terus menimpali ucapan senior. Mungkin dia paham jika perempuan yang bertengkar akan lebih fatal. Konsentrasiku pun menjadi terbagi. Aku tak mampu memfokuskan diri pada pekerjaan dan ingin menyeran balik ucapan senior. Beruntung ponselku bergetar diiringi dengan nada dering kencang. Aku pun mengurungkan niat dan beralih ke panggilan itu. Nama Martia terpampang di layar.“Ya, ada apa, Mar?”[Pulang, Mir, sekarang juga. Ibu kamu masuk rumah sakit!] Kalimat itu menghantam gendang telingaku. “Kapan, Mar? Gimana kondisinya?!” teriakku karena panik. Arga
Siapa dia dari mana asalnya. Aku jelas sangat paham. Sejak awal wanita itu memang milik Mas Baja. Namun, aku mencoba memanipulasinya. Menganggap rumah tangga kami tenang seperti aliran sungai tanpa riak. Nyatanya aku salah besar. Laki-laki dan seseorang tidak bisa berubah secepat itu. Satu tahun bukan waktu yang cepat untuk mengabaikan semua masalah. Namun, aku terus memaksakan diri berjalan di biduk ini.Sudah bukan hal baru aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Lebih intensnya saat Mas Baja kerap melakukan kunjungan kerja ke berbagai kota. Bisnis yang ia kembangkan menjadi alasan. "Biasa, cuma relasi, Mir. Paling biar aku mau kerja sama makanya chat begitu.""Tapi, Mas nomor ini sering banget lho," ucapku seraya menunjukkan layar ponsel."Dah, blokir aja." Dengan tanganku sendiri aku memblokir nomor wanita yang kerap mengirimkan pesan pada Mas Baja. Tak pernah tahu jika ada banyak cara untuk mereka berkomunikasi. Bodohnya aku luluh karena tindakan tegas Mas Baja. Kututup pint
Kutepis semua rasa rendah diri ini. Tak ada banyak waktu untuk sampai di rumah sakit. Aku jelas harus segera ke sana. Motor matic merah melaju kencang di jalanan yang cukup lengang. Demi Ibu- satu-satunya keluargaku yang masih ada aku akan segera sampai. Rumah sakit itu cukup besar. Menjadi yang terlengkap di kabupaten. Setelah roda motor matic merah menyentuh parkiran, aku berjalan ke dalam gedung itu. Mencari tempat ibu dirawat. Ponsel berbodi pipih kukeluarkan. Segera menghubungi Martia untuk tahu ruang inap ibu. Kuayunkan langkah menuju tempat yang disebutkan Martia di pesan whatsappnya.“Mir!” seru Martia. Aku melangkah ke arahnya.“Gimana ibuku, Mar? Baik-baik aja?” Kupanjangkan leher ke arah kaca pintu ruangan itu. Mencari tahu kondisi ibu.“Masih ditangani, Mir. Semoga baik-baik aja.” Martia mencoba menenangkanku.“Syukurlah. Makasih, Mar, dah bawa ibu ke sini,” ucapku seraya mengenyakkan diri di kursi tunggu. Martia mengikutinya.“Bukan aku, Mir. Aku juga dikasih tahu seseor
Setelah mengusap lenganku Mas Arhab duduk di salah satu kursi di ruang inap ibu. Dia mulai fokus dengan gawainya. Aku tetap memerhatikan Ibu lekat. Takut ada suatu hal yang terlewat. Belum pernah ibu sakit seperti ini. Ibu selalu bilang baik-baik saja saat aku menanyakan kabar. Ibu juga tak pernah mengeluhkan kehidupannya di desa. Setiap kali aku pulang, Ibu juga tampak nyaman dengan kondisinya. Aku tak pernah menduga akan seperti ini keadaannya. Kembali kupegang tangan keriput ibu. Menguntai doa pada langit agar beliau segera disembuhkan. Aku tertunduk takzim. Tanpa sadar sebuah bunyi keluar dari perutku.“Apaan, Mir?” Sontak Mas Arhab menimpali.“He.” Aku menatapnya malu.“Kamu lapar?”“He, iya. Dari pagi belum keisi ternyata perutnya.” Aku memang belum sarapan dan makan siang. Sementara waktu sudah hampir sore.“Tunggu bentar ya,” ucapnya lantas berdiri.“Mau ke mana, Mas?” "Cari roti buat ganjal perut kamu.” Lagi Mas Arhab menghiaskan senyum di wajahnya. Aku tersipu malu.Selepa
Mas Baja dan Ibu mertua terus berjalan ke arah ruang inap Ibu. Menyadari hal itu, aku segera menyusul mereka. Takut hal buruk akan terjadi pada Ibu. “Jangan buru-buru, Mir. Kamu belum jadi makan.” Tangan Mas Arhab menghentikan langkahku. “Duduk dulu barang sejenak. Ini rotinya.”Apa daya aku memang sangat lapar. Sebuah pikiran positif berusaha kukuatkan. Tidak mungkin Mas Baja dan Ibu mertua berbuat macam-macam. Kuputuskan untuk menerima tawaran Mas Arhab. Sebuah bangku panjang di sisi kiri koridor rumah sakit kupilih. Aku duduk tenang di sana. Melahap roti berisi coklat dengan gambar kartun favorit Akila. Satu suap aku masih bisa menikmati. Suapan berikutnya pun sama. Namun, aku kembali menangis. Kali ini bukan hanya karena hatiku yang perih, tetapi rasa malu terhadap orang di sampingku. Aku sungguh tidak bisa menerka apa yang ada dalam pikirannya. Apakah ia akan menganggapku sebagai manusia rendah seperti ucapan ibu mertua tadi? Ataukah ia tak peduli? Aku tak sanggup membayangkanny
Masih segar dalam ingatan senyum wanita berambut panjang nan legam itu. Pewaris Aditama Grup yang merupakan perusahaan penyedia jasa alat berat di kota. Parasnya memang cantik. Aku mengakui itu dengan sadar. Bahkan saat Mas Baja tak sengaja menemukan sisa foto mereka di laci salah satu lemari kamarnya, aku benar-benar setuju dengan predikat itu. Namun sayang, sikap dan preferensinya berbeda jauh dengan wajah ayunya. Raline Aditama seenak sendiri memutuskan kerjasama juga hubungan asmara dengan Mas Baja. Hanya karena Mas Baja tak berhasil membawakannya tas mewah dengan merek ternama.“Berapa tahun, Mas, hubungan kalian?” tanyaku saat kami pertama kali tinggal satu rumah. Kami baru pulang berkunjung dari rumah ibu mertua.“Empat tahun dua bulan.” Mas Baja menerbitkan senyum tipis.“Waow lama juga.” Mataku mengerjap. Dibalas dengan kekehan Mas Baja. “Apa obrolan pernikahan sudah ada?” Aku memang selalu penasaran perihal kehidupan Mas Baja sebelum mengenalku. Proses PDKT kami yang cukup
Malam pun membayang. Pagi yang selalu dinanti sebagian pencari rizki hadir kembali. Kondisi ibu masih saja sama. Semalaman saat aku berjaga tak ada progres berarti. Tubuhku mulai terasa lelah. Pergi tanpa persiapan membuatku lupa membawa baju ganti. Kucium lengan yang sejak semalam menguarkan bau tak sedap. Aku tetap mandi hanya saja masih menggunakan baju yang sama. Pintu kamar inap ibu terbuka. Perawat mengecek kondisinya dan tak lupa menguatkanku untuk tabah. Aku cukup membalas dengan senyum.“Mari, Sus,” ucap Martia yang tiba-tiba datang saat pintu kamar inap ibu masih terbuka. Perasaan lega datang membasahi jiwa. Setidaknya masih ada sahabatku yang tak pernah alpa memberi dukungan.“Kamu gak buka toko, Mar. Jam segini udah datang?” tanyaku saat perawat sudah benar-benar pergi.“Nanti tetep buka, Mir. Aku mampir ke sini dulu. Nih, tak bawain baju sama sarapan.” Martia meletakannya di atas meja. Lagi rasa syukur hadir di hati ini. Aku ... tidak mutlak sendiri.“Repot aja, Mar,