Bab 2
Ditengah-tengah makanan yang sedang kunikmati ini, tiba-tiba saja air mataku berjatuhan melewati pipiku. Mengingat bagaimana sikap Mas Andra kepadaku, tak ayal membuatku sakit hati sekaligus sedih. Apalagi aku yang tidak biasa dikasari oleh orang lain, membuatku kesulitan dan mencerna semua keadaan ini.Apalagi perkataan Mas Andra itu membuatku merasa sangat nyeri. Hanya karena kulitku yang burik ini, hingga dia tega memperlakukan aku secara buruk, dan bersikap dingin selama berbulan-bulan ini. Menghela nafas berat, aku menghentikan makanku kemudian menyimpan piring yang berisi sayur kangkung dan tempe itu, dan menyimpannya begitu saja di dapur. Mencuci tangan, dan segera kembali ke ruang tengah di mana putraku Farel tengah tertidur dengan lelapnya. Sejak Mas Andra membenciku dan mulai menjaga jarak padaku serta bersikap dingin selama lima bulan ini, pria itu sama sekali tidak pernah berbicara lagi padaku maupun menggendong bayi yang berusia dua bulan itu. Padahal pertama menikah, pria itu malah tidak mengizinkanku untuk memasang alat kontrasepsi karena menginginkan keturunan sesegera mungkin, mengingat usianya yang hampir menginjak dua puluh tujuh tahun. Mas Andra pernah bilang jika dia ingin menjadi seorang ayah di usianya yang masih muda. Tapi sekarang, sikap pria itu baru jauh berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai perannya seorang suami. Bahkan ketika aku melahirkan pun, pria itu sama sekali cuma datang sebentar menunggu di rumah bidan, dan segera pergi dengan alasan harus bekerja. Padahal dalam keadaan urgent seperti itu, aku sangat membutuhkan kehadirannya di sisiku. Sedangkan untuk menghubungi orang tua dan meminta bantuan, sangat tidak memungkinkan, karena kedua orang tua kami berada di pulau seberang dan harus menggunakan kapal laut jika ingin sampai ke ibukota ini.Mendesah nafas berat, aku memutuskan untuk berbaring di samping Farel. Layar televisi masih menyala dan masih mempertontonkan sinetron yang sama tak hingga tanpa terasa aku terpejam, karena rasa kantuk yang teramat berat.******Entah jam berapa aku terbangun karena suara di depan televisi terasa berisik masuk ke telingaku, ditambah Farel yang tiba-tiba menangis dan ingin menyusu. Ya Tuhan, rupanya aku ketiduran. Saat kulirik jam dinding hampir menunjukkan pukul 11.30 malam. Bahkan aku belum menunaikan ibadah sholat isya.Farel menyusu sangat kuat hampir setengah jam lamanya. Suara TV sudah kupelankan agar anakku itu tidak terganggu dalam tidurnya. Aku memutuskan untuk melanjutkan tidur di sini setelah melaksanakan kewajibanku nanti. Karena Mas Andra pasti tidak akan membuka pintu kamarnya, kebiasaan baru ketika dia marah kepadaku. Jangan mengharapkan belas kasihannya karena itu sama sekali tidak akan mempan. Mas Andra akan tidur dengan nyaman sambil mendengarkan musik dari ponselnya, dia tidak akan peduli meskipun aku menggedornya untuk mengambil perlengkapan Farel ataupun untuk mengambil selimutku. Entah terbuat apa hatinya, hingga dia tega melakukan hal ini kepadaku dan juga darah dagingnya sendiri.Farel berhenti menyusu dan dia kembali terlelap dalam tidurnya. Untung selimutnya masih di sini, jika di kamar mungkin aku akan kesulitan dan kasihan kepada putraku karena kedinginan. Untuk masalah mengganti kain jika dia basah, aku biasa mengambilnya yang masih tergantung di jemuran bagian belakang. Kebiasaanku yang tidak mau menumpuk pakaian kotor, maka jika senggang satu atau dua kain yang basah terkena ompol Farel, aku lebih sering mencucinya segera dan menjemurnya.Aku berdiri dengan nyawa yang masih belum berkumpul. Segera berjalan menuju ke kamar mandi di bagian belakang, saat sayap-sayup terdengar suara orang yang tengah mengobrol dengan mesra. Kupikir itu suara televisi,namun ketika di layar hanya tengah menceritakan tentang dialog seputar pemerintahan, fokusku teralihkan pada seseorang yang berada di balik pintu kamar. Yah aku tidak salah lagi itu suara mas Andra namun dia sedang berbicara dengan siapa.Ya Tuhan kenapa perasaanku tiba-tiba saja menjadi gelisah seperti ini. Aku mau makan dada berusaha untuk menormalkan detak jantungku dan berusaha untuk berpikiran jernih. Namun laki-laki suara itu membuat ketik fokusku terpecah dan aku ingin mencari tahu lebih lanjut. Jangan sampai aku bersuudzon kepada suamiku sendiri.Bismillah, kudekati pintu kamar yang tinggal tiga langkah dari tempatku ini saat suara itu terdengar jelas masuk ke dalam telingaku." …. Iya, Sayang. Apa sih yang nggak buat kamu." …."Hmm, besok sehabis pulang kerja ya aku pasti turutin kemauan kamu!"…."Iya, aku juga cinta sama kamu. Sekarang kamu bobo yang nyenyak ya. Aku juga udah ngantuk nih. …."Eh, nggak deng. Punyaku sampai berdiri gara-gara kangen sama kamu. Tau nggak, uara kamu itu seperti desahan di telingaku."Ya ampun, Mas … teganya kamu …!" Aku menutup mulutku rapat-rapat, agar suara teriakanku tidak terdengar oleh seseorang yang tengah bicara di balik pintu ini. Entah kenapa aku harus mendengar percakapan ini, dan entah kenapa Mas Andra berbicara sangat menjijikan seperti itu, dengan seseorang yang kuyakini dia berada di balik telepon. Ya Tuhan, apakah ada sesuatu hal yang tidak aku ketahui dibalik perubahan sikap suamiku itu. Yang aku yakini, dia membenci dan marah padaku bukan hanya sekedar karena kulitku yang burik, lebih dari itu, ada sesuatu hal yang dia sembunyikan dariku. Tanpa terasa air mataku lolos begitu saja dan membasahi pipi. Dengan berat melangkahkan kakiku dengan cepat masuk ke dalam kamar mandi. Tangisku sumpah seiring dengan air keran yang sengaja aku nyalakan dengan cukup besar, agar menyamarkan suara tangisanku. Betapa apa yang sudah dikatakan oleh Mas Andra barusan membuatku sangat lebih sakit dari sebelumnya.Puas menangis, segera mengambil wudhu untuk bersuci dan kembali ke ruangan di mana segala sesuatu kulakukan di sana, entah itu makan, berbaring, menonton TV ataupun mengerjakan apa saja.Mukena berada di dalam kamar dan tak mungkin jika aku mengerjakan shalat dengan baju yang aku karenakan, karena takut terkena najis dari ompol Farel. Namun aku masih berpikir ulang untuk mengetuk pintu kamar, di mana alat yang kubutuhkan itu berada. Namun jika tidak mengambilnya, aku tidak bisa menjalankan kewajibanku yang sudah sangat telat ini.Kuputuskan untuk mengetuk pintu kamar dan ingin melihat reaksi yang ditunjukkan oleh suamiku. Bagaimana jika kelakuan buruknya sudah aku ketahui? Tok tok tok!Mencoba bersikap biasa saja, akhirnya aku memilih untuk mengetuk pintu. Suara di dalam sana yang tengah asyik mengobrol, langsung terhenti dan berganti dengan hening. Setelahnya, kudengar kunci diputar dan Mas Andra berdiri dengan rambutnya yang acak-acakan. Namun fokusku justru menatap ke arah bawah. Dimana dibagian pusaka miliknya tampak menggembung, apalagi Mas Andra hanya mengenakan kolor pendek."Ada apa, Aisyah?" Wajah dingin itu memicing menatap ke arahku. Berbeda sekali dengan apa yang dia lakukan beberapa saat yang lalu pada seseorang.Aku memejamkan mata, sekilas mengambil nafas panjang demi memberi ruang agar sesak sedikit lega. Jangan sampai emosi terarah padanya. Saat ini aku belum memiliki bukti yang jelas. Bisa saja jika aku langsung bertanya kepada Mas Andra, tapi bukan tidak mungkin dia akan balik membentak dan marah-marah padaku yang ujung-ujungnya dia akan semakin kalap dan mengusirku dari rumah kontrakan tiga petak ini."Kenapa kau mengetuk pintu jika tidak ada alasan, hmm? Kau membangunkanku yang sudah terlelap, tahu nggak. Padahal kau tahu kan seharian aku bekerja keras di kantor dan sangat lelah?!" *******CurigaJangan lupa, subscribe, follow author di FB dengan nama pena yang sama. Dan baca novel² ku di app online lainnya. "Maaf, Mas, aku mau mengambil mukena," ujarku berbicara senormal mungkin. Jangan sampai membuat pria dingin itu curiga. Mas Andra melebarkan pintu kamar, saat aku berjalan masuk dan kulirik panggilan ponselnya masih berlangsung, dimana terlihat jam yang menunjukkan berapa lama mereka tengah berbicara. Ada sekitar satu setengah jam yang lalu. Berarti Mas Andra berbicara dengan orang itu selama satu setengah jam."Bukankah katamu kau hanya ingin mengambil mukena? Tapi kenapa sepertinya kamu seperti kebingungan, Aisyah?" Aku tergagap dan menoleh sekilas ke arah Mas Andra, saat pria itu menatap penuh kebencian padaku. Aku mengangguk samar, kemudian meraih mukena yang ada di atas nakas, dan meninggalkan pria itu. Tanpa kuduga, Mas Andra langsung menutup pintunya dengan kasar.Brughh! Padahal aku baru satu langkah keluar dari kamar, tapi pria itu saking membenciku sam
Fakta MengejutkanPagi ini aku mengajak Farel untuk berjemur di halaman depan, sekaligus menunggu tukang sayur yang biasanya lewat. Kata bidan waktu itu, kulit Farel sedikit kuning jadi dia harus sering-sering dijemur untuk mendapatkan vitamin D secara alami. Uang di kantong tinggal lima belas ribu lagi dan harus kugunakan sebaik-baiknya. Beruntung Farel belum bisa jajan karena umurnya masih dini.Besok adalah jatah Mas Andra memberikan uang. Semoga dia tidak melupakan kewajibannya.Bu Nur dan Pak Tarso baru saja pulang dengan motor Beat merah miliknya. Wanita itu misuh-misuh langsung berdebat sedikit dengan suaminya, entah mengobrolkan apa. Setelahnya tampak mendekat ke arahku dengan tergesa."Eh, Aisyah. Aku lihat suamimu membonceng seorang wanita di jalan tadi pagi!" Wajahnya terlihat serius dan meyakinkan."Ap-apa?!" ucapku tak percaya. "Bu Nur jangan bicara sembarangan ya." Kata itu begitu saja keluar dari dalam mulutku, mencoba tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh wanita
Berobat"Maaf, saya mencoba untuk melihat wajahnya ya, Bu Aisyah. Silahkan berbaring di sini." Seorang pria tampan bergelar dokter kecantikan tersenyum dan mempersilahkanku untuk berbaring di brankar. Saat ini aku sedang berada di sebuah klinik kecantikan, saat Bu Indria membawaku ke tempat ini, untuk mengobati wajahku yang sudah sangat memprihatinkan. Sepertinya wanita itu kasihan kepadaku, apalagi setelah kujelaskan kisah hidupku tadi. Katanya, dia tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang karena meyakini jika aku akan menjadi seorang bintang setelah wajahku mulus. Apalagi ditunjang dengan kulitku yang putih, tinggi badan yang proporsional, bentuk tubuhku yang tidak berubah meskipun sudah melahirkan, ditambah penampilanku yang sebentar lagi akan Bu Indria rubah, membuatnya optimis jika aku akan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Meski itu juga adalah harapanku. Dokter itu kemudian mengambil sebuah alat yang diarahkan ke wajahku, membuat seluruh apa yang tidak ada di wajahku t
Bab 6MinggatMenjelang malam pun tiba. Aku memilih rebahan di kamar bersama dengan Farel, dan mengajak bayi dua bulan itu bercanda. Tentunya setelah melaksanakan shalat wajib. Seperti biasanya, Mas Andra membeli makanan dari luar, lalu menikmatinya sambil menonton TV. Tanpa menawariku ataupun mencoba memanggilku agar makan bersamanya. Hal yang sudah lima bulan ini tidak dia lakukan. Hampir setiap malam, pria itu membeli makanan dari luar. Entah itu nasi goreng, ayam goreng, martabak, ataupun sate. Dan sebagai seorang istri, aku hanya bisa menelan ludah sambil mencoba untuk bersabar melihat perlakuannya yang tidak wajar itu. Jika ada sisanya, pagi-pagi aku akan memakannya setelah menghangatkannya di atas kompor. Namun jika makanan itu tidak tersisa, aku hanya bisa mendesah panjang mencoba untuk bersabar. Berharap suatu hari nanti hidupku akan berubah. "Entah terbuat apa hati pria yang menikahiku dua tahun yang lalu itu. Hingga begitu kuatnya dia mengabaikanku selama lima bulan laman
Bab 7Pemotretan Aku melamun sambil memikirkan Mas Andra. Sudah tiga hari pria itu tidak pulang ke rumah.Aku pun terpaksa memanfaatkan beras seliter dengan membuat bubur tiap hari. Lumayan bisa menghemat, meski makannya tanpa lauk.Ketukan pintu seketika membuatku terduduk setelah menyusui Farel dan membuatnya kembali terlelap dalam tidur.Segera mengambil pashmina instan. Aku melangkah menuju ke arah pintu, dan sengaja menutupi mukaku. Agar orang-orang tidak semakin memandang jijik. Apalagi wajahku sekarang sedang dalam masa parah-parahnya, di mana kulit terasa perih dan semakin memerah. Bahkan sekedar terkena hembusan kipas angin saja, rasanya seperti disayat-sayat."Bu Aisyah?""Ya Mbak Ani. Ayo masuk." Wanita itu adalah pekerja di rumah Bu Indria. Aku tak mengerti ada apa wanita itu siang-siang datang ke rumahku.Wanita itu langsung menggeleng dengan senyumnya yang ramah."Bu Aisyah dipanggil oleh Bu Indria. Sekarang juga disuruh ke rumahnya. Jangan lama-lama, tapi katanya pen
Bab 8Andra Kembali"Bagaimana hasilnya?" tanya Bu Indria dengan segelas jus di tangannya. Menurut keterangannya, wanita itu baru saja bangun tidur."Lumayan bagus, saat kita tutupi wajahnya dengan kipas atau dengan daun yang estetik sehingga menampilkan bentuk tubuhnya saja," sahut pria berkemeja putih. Dengan wajah tampak sumringah."Tuh kan apa yang kubilang tadi," ujar Bu Indria sambil menyentuh bahuku dan mengajakku untuk duduk kembali. Melihat kepuasan di wajah-wajah mereka, entah kenapa aku juga ikut bahagia. Semoga ini menjadi awal kesuksesan untukku di masa depan. Setidaknya aku bisa menjadi seorang model pakaian syar'i. Amin.Di saat yang bersamaan, Mbak Ani segera menyerahkan Farel padaku yang langsung kudekap dalam pelukan. Bayi itu benar-benar anteng, dan mengerti jika ibunya tengah mencari rezeki untuknya."Eh sebaiknya aku ganti baju dulu, nggak enak jika aku pakai baju yang mahal ini," uj
Bab 9Awal PembalasanTanpa mengucapkan kata 'halo' kubiarkan pria di seberang sana berbicara terlebih dahulu."Halo? Aisyah? Dimana kamu sekarang? Kenapa kamu pergi dari rumah kontrakan itu? Aku mencarimu selama beberapa hari ini. Tolong katakan di mana kamu berada." Suara itu terdengar gusar saat bertanya. Dan aku memilih membiarkannya saja, menunggu kata selanjutnya dari Mas Andra."Aisyah! Kamu denger nggak aku ngomong sama kamu? Atau jangan-jangan kamu budek karena ini bulan ini aku tinggalkan? Iya, begitukah? Aisyah!! Gobl*k!! Jawab!!" Rasanya ingin tertawa saat mendengar ocehannya barusan. Apa aku tidak salah dengar? Dia menyebutku budek dan gobl*k? Mas, kamu hanya tidak tahu saja jika hidupku telah berubah selama empat bulan ini. Sebentar lagi kamu akan merasakan apa yang selama ini sudah kau lakukan padaku. Dan kamu pantas mendapatkan pelajaran berharga dariku.Aku memilih diam dan masih tak
Bab 10Heran"Ibu ….!" Aku terkejut saat mendengar suara seseorang yang memanggil nama ibu. Itu adalah suara wanita yang selama dua tahun ini aku nikahi. Aku menarik nafas, dan berharap ini mimpi. Hingga penasaran, perlahan-lahan aku menoleh ke belakang.Dan … Ya ampun, cantik sekali," ucapku dalam hati saat melihat siapa yang berdiri menyambut kedua kedua orang tua kami. Aisyah, apakah benar itu dia?Dalam hati aku berdoa, semoga itu bukan Aisyah. Namun percuma, karena sekarang wanita yang terlihat tampil sangat cantik itu menghampiri kami berlima yang masih berdiri di halaman. Aku yakin itu Aisyah–istriku, dan ya dia sungguh berbeda sekarang.Aisyah melihat sekilas sebelum akhirnya memeluk ibu dan ibu mertua, serta kedua pria yang tak lain adalah ayahku dan ayahnya."Kami semakin pangling padamu, Aisyah." Pria yang merestui pernikahan kami itu turut memuji anaknya.