"Jangan sok tahu ya, Dok. Darimana anda dapat semua itu?!""Itu tidak penting! Yang terpenting aku siap membantumu kapan pun dibutuhkan. Entah apa masalahmu tapi aku merasa kamu seperti tertekan. Terus Angga. Siapa Angga, Tiara? Kenapa dia ngaku-ngaku ayah bayimu?""Itu bukan urusan anda, Dok." Jawabku ketus, dia bukan siapa siapaku dan tidak pantas mengetahui apa-apa tentang diriku."Iya, maaf. Aku cuma nggak suka dia menyakitimu. Aku tahu tidak mudah hidup sendiri di kota sebesar ini apalagi kamu lagi hamil. Jangan sungkan kalau kamu butuh bantuan, ya." Aku tertunduk diam dan mobil sudah berhenti tepat di depan kostku. "Makasih, Dok, sudah mengantarkan saya.""Dibilangin panggil aku Fikri atau Mas Fikri jangan panggil Dokter. Kamu saja tidak mau jadi pasienku, ngapain panggil dokter." "Maaf, saya lebih nyaman memanggil Dokter." "Terserahlah! Ini kartu namaku. Kalau ada apa-apa atau Angga itu mengganggumu lagi hubungi saja nomor yang disitu. Tengah malam pun, aku siap bantu," uca
"Jangan lawan, Tiara! Percuma. Kekuatanmu tidak akan bisa mengalahkannya. Hadapi dengan ilmu," bisikan batinku."Baik, Mas. Baik! Aku menyerah! Aku akan melayani Mas Angga tanpa dipaksa. Tapi tolong ijinkan aku ke kamar mandi dulu. Aku pengin buang air kecil." "Ya sudah sana, kutunggu!" Dengan tubuh yang gemetar ketakutan aku buru-buru ke kamar mandi dengan berbalut selimut.Di dalam kamar mandi, dengan terisak aku mengumpulkan keberanian untuk melawan Mas Angga. Kutarik napas dalam-dalam, siap-siap bermain sandiwara. "Tolooong! Mas Angga, tolong!""Ada apa sih, Ra, teriak-teriak!" Buru-buru kututup mataku ketika melihat tubuh Mas Angga yang tanpa sehelai kain, menjijikkan."Itu, ada kecoak, Mas! Tiara jijik. Hiii!" "Mana?!" Mas Angga mulai masuk dalam kamar mandi sedangkan aku keluar kamar mandi. "Itu, Mas, di dekat lubang air." "Mana?! Nggak ada!""Ada, Mas. Tadi di situ. Cari di sekitar situ, Mas!" Saat Mas Angga sedang sibuk mencari kecoak, dengan cepat kutarik knop pintu la
Mobil berhenti di depan minimarket, " Ra, kamu nggak pa pa, kan? Kutinggal sebentar, ya."Dokter Fikri keluar dari mobil meninggalkanku masuk ke minimarket itu. Tak berapa lama dia sudah kembali ke mobil dengan menenteng plastik belanjaan. Kusandarkan kepala di jok lalu memalingkan tubuh dan wajah ke kiri menghadap kaca mobil. Aku ingin menangis sepuasnya tanpa terlihat olehnya. Menumpahkan semua beban berat di dada. "Ra, ini minum dulu," ucap Dokter Fikri sambil menyodorkan air mineral dan tisue yang bukan hanya selembar tapi sebungkus seolah tahu kalau tangisku masih lama berhenti. Kutolak air minumnya, nggak ada rasa haus dan lapar. Yang ada hanya rasa marah dan tidak terima pada keadaan. Aku hanya menarik beberapa lembar tisue dari bungkusnya."Minum, Ra. Nanti dehidrasi lho. Sudah berapa liter air yang kamu keluarkan dari matamu." Kugelengkan kepala sambil menahan jengkel, masih saja Dokter itu membercandaiku."Biar aku mati saja!" teriakku dengan tangis tersengal sengal."Mau
"Duh, Gusti, Ra ... Ra. Lha kamu bersama dia itu tidak tahu kalau dia kakak kelas kita?" Mata Ratih mendelik."Kakak kelas?! Kakak kelas yang mana, Tih?""Putra, Ra. Fikri Haikal Putra. Kakak kelas tepat di atas kita waktu SMP. Dia sering main ke kelas kita, kok. Kan dia naksir berat sama kamu dulu tapi kamu tolak mentah-mentah.""Putra, si culun berkacamata tebal itu?! Kamu jangan bercanda, Tih. Nggak mungkin dia Mas Putra. Beda, Tih." "Sekarang ganteng, ya. Beda banget sama waktu SMP. Dokter lagi," goda Ratih sambil mengulum senyum.Aku masih bengong menatap dengan seksama laki-laki yang sedang main gitar dan nyanyi di panggung. Tak ada lagi kacamata tebalnya. Sisa-sisa culunnya juga nggak kelihatan. Tubuh gempalnya pun sudah berubah tinggi tegap penuh kharismatik. Susah dipercaya kalau itu dia."Sayangnya waktu SMA dia tidak satu sekolah lagi sama kita karena orangtuanya pindah ke Jakarta. Makanya lama tak terdengar khabar Mas Putra. Baru pas acara reuni Akbar tahun kemarin dia k
POV Fikri"Kartika, nggak ada gunanya kamu terpuruk dan seperti orang gila begini! Kamu harus bangkit. Jangan berlarut larut maratapi kepergian Rania. Kamu bisa mendapatkan anak lagi sebanyak yang kamu mau!" Nasehat Ibu yang tak digubris Kartika."Pergiii! Jangan ganggu aku dan Rania! Pergiii! Aku mau Rania! Aku hanya mau Rania!" Dia terus berteriak meraung raung sambil mendekap guling yang dia anggap Rania."Kita tidak akan terpisah, Rania. Ibu akan menjagamu," lirihnya sambil mengusap usap guling itu.Setelah kepergian Rania, Kartika terguncang hebat. Sudah sebulan ia mengurung diri di kamar. Tidak mau mengurus anak-anak bahkan dirinya sendiri. Setiap ada yang mendekatinya dia berteriak teriak tak terkendali. Mengamuk, membanting apa saja yang ada di dekatnya. Kasihan Ibu, selain harus merawat anak-anak juga harus merawat Kartika yang seperti anak kecil lagi. Kami berbagi tugas. Sebelum berangkat kerja, aku yang memandikan anak-anak juga memandikan Kartika. Kartika pun terpaksa kup
Sambil melihat kanan kiri, Ibu meraih tanganku "Fikri, kamu tidak cari Tiara?" tanya Ibu pelan seperti takut kedengeran Kartika yang sedang memandikan si bungsu."Tumben, Ibu peduli Tiara," jawabku heran."Bukan Tiara yang Ibu peduliin tapi cucu Ibu satu satunya yang ada diperutnya. Cari dia, Fikri. Bawa dia pulang. Tiara harus melahirkan di rumah ini. Kita ambil anaknya setelah itu kau boleh ceraikan dia." Perintah Ibu yang entah aku bisa menjalankannya atau tidak.Yang jelas aku tidak pernah menginginkan bercerai dengan Tiara. Aku masih sangat mencintainya. Aku masih terus menghubungi Mbak Arum, berharap Tiara mengabari Mbak Arum tentang keberadaannya walaupun sampai saat ini belum ada Khabar."Dia belum mengabari Mbak, Fikri. Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Mbak Arum di telepon."Tidak ada apa-apa, Mbak Arum. Hanya sedikit salah paham.""Tidak mungkin Tiara pergi dari rumah sampai 3 bulan kalau cuma sedikit salah paham. Cerita sama Mbak, ada apa?""Sudah ya, Mbak. Fikri ma
Setelah apa yang terjadi denganku di Surabaya, kuakui, berada di pelukan Mas Fikri, aku seperti menemukan kembali tempat yang aman dan nyaman. Dari tadi malam, aku memang pengin dipeluk.Sejenak aku larut dalam pelukannya. Sampai aku tersadar Mas Fikri yang sekarang bukan Mas Fikriku yang dulu. Kulepas pelukannya mundur menjauhinya sambil menyeka airmata. Aku harus jadi Tiara yang kuat tak boleh terlihat lemah.Dan setelah kupikir matang-matang akhirnya aku memutuskan untuk ikut Mas Fikri pulang ke Jakarta. Bukan untuk kembali padanya tapi untuk menyelesaikan semua urusanku dengannya. Selain itu aku juga pengin menepi dari semua permasalahanku dengan Mbak Arum dan Mas Angga. Aku ketakutan diganggu Mas Angga lagi. Setelah kejadian tadi malam pasti dia akan mencariku lagi, aku yakin.Dikereta, aku chat Dokter Rasyid, mengabari kalau aku minta libur mengajar untuk sementara waktu. Untunglah anak-anak sudah selesai ulangan akhir semester.[Kok mendadak, Bu Tiara? Tidak pengin ketemu ana
"Anda siapa? Mau apa kesini?" tanya wanita itu sambil menatapku curiga."Justru saya yang tanya, anda siapa? Kenapa ada di dalam rumah saya?" Aku pun gantian mendelik menatapnya curiga, jangan-jangan ini gundik barunya Mas Fikri."Jangan ngaku-ngaku! Ini rumah saya!""Eh, situ yang ngaku-ngaku. Ini rumah saya! Nih buktinya, saya punya kuncinya. Memang rumah ini sudah lama kosong tapi ini masih rumah saya." "Sebentar, anda siapanya Pak Fikri?" "Saya istri sahnya Pak Fikri. Tapi sebentar lagi cerai jadi tenang saja. Saya nggak kaget kalau dia punya gundik baru, sudah biasa. Tapi saya nggak rela gundiknya menempati rumah ini. Jadi silahkan anda pergi dari sini!" "Gundik apa?! Saya bukan gundiknya Pak Fikri! Anda salah paham." "Lalu kamu siapanya Mas Fikri sampai diijinkan tinggal di rumah ini sama Mas Fikri.""Belum ada sebulan, suami saya membeli rumah ini dari Pak Fikri," jawabnya yang membuatku terperanjat."Dijual? Rumah ini dijual?!" "Iya, Bu. Suami saya teman kerjanya Pak Fikr