Share

2. Jangan Lihat-lihat, Pak!

“Lo dapat makhluk begituan dari mana, sih?” keluh Yanuar sambil mengompres pipinya yang baru kena tampar. “Bisa-bisanya HRD kecolongan dan lolosin bocah gila itu ke perusahaan gue!”

Sekretaris Yanuar, Yabes terkekeh pelan melihat atasannya terus mengeluhkan ini-itu. Padahal ia sudah mengajak Yanuar untuk pergi ke rumah sakit, tapi pria itu justru menolak mentah-mentah. Mungkin harga diri dan gengsi Yanuar lebih diprioritaskan sekarang, sampai mengobati memar di wajah pun diabaikannya.

“Gue lihat sesuai standar perusahaan kita, Chiara cukup mumpuni,” ungkap Yabes. “Pengalamannya juga lumayan, cuma dia lagi apes aja waktu lo ambil salah satu kerjaan dia kemarin.”

Yanuar masih ingat soal kejadian kemarin, saat ia baru tiba di kantor setelah menyelesaikan urusannya di Jambi. Ada beberapa tumpukan berkas di meja Yabes, lalu ia mengambilnya asal dan menemukan berkas anak magang di sana. Mengingat kekonyolan itu, Yanuar tersenyum tipis.

“Syukurin!” teriaknya puas. “Pokoknya gue nggak mau lihat lagi muka dia di kantor.”

Yabes menoleh dari tempat duduknya di sofa panjang yang memang sengaja Yanuar tempatkan di ruang kerjanya. “Serius lo mau berhentiin dia karena salah ketik doang?” tanyanya memastikan.

Sesaat Yanuar terdiam, tak berselang lama pundaknya terangkat pelan. “Sebenarnya gue bisa pertimbangkan lagi, tapi itu bocah udah tampar gue,” katanya seraya mendengkus kesal. “Yang benar aja, anak magang tampar bosnya!”

“Ya, lo lagian senewen banget jadi orang, ngapain juga pegang tangan Chiara. Mana kelakuan lo udah kayak om-om mesum begitu.”

Sontak Yanuar meluruskan punggung dan memajukan tubuh dari sandaran kursinya. Menatap Yabes dengan sorot serius. “Om-om mesum apaan? Gue mau ngasih dia pelajaran. Eh, malah kena tampar.”

“Jangan bilang, sekarang lo tertarik sama bocah?” Pria itu menyipitkan kedua mata, menatap reaksi Yanuar penuh selidik.

Kedua alis tebal Yanuar bertaut. “Nggak usah ngelantur kalau ngomong.” Ia hendak melempar kompresannya kalau saja tak sadar masih berada di kantor.

“Siapa tahu, ‘kan?” goda Yabes, tak henti-hentinya. “Nggak pa-pa kali coba menjalin hubungan sama cewek yang jaraknya jauh di bawah lo. Gue tetap dukung, Nu.”

Yanuar menelan ludah kepayahan. Menjalin hubungan, ya? Ini sudah ribuan kali sepertinya, ia mendengar dua kata itu, atau setidaknya kalimat yang menyarankannya untuk melupakan masa lalu. Sayangnya, Yanuar belum mampu atau sebenarnya, ia sendiri yang belum mau? Entahlah.

“Na-Nu-Na-Nu. Ingat ini kantor, lo sekretaris gue, Bes,” peringatnya yang sengaja mengalihkan topik.

Kendati demikian, sebagai atasan Yabeswara, Yanuar tidak begitu mengatur sekretarisnya itu untuk memanggilnya sebagai sebutan ‘pak’ di depan namanya. Toh, mereka masih memiliki hubungan keluarga, meski tidak terlalu dekat. Namun, seringkali anak-anak kantornya merasa tidak adil ketika Yanuar memberikan hak istimewa pada Yabes seorang.

***

Chiara tak begitu membutuhkan alarm untuk bangun. Ketukan pintu yang berubah seperti gebrakan itu sukses membuatnya terjaga. Sudah beberapa hari ini, ibu kosnya terus menagih biaya sewa indekos. Padahal jatuh tempo masih akhir bulan nanti.

Mengembuskan napas pelan, gadis itu menyambar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab sekaligus pesan singkat muncul di bagian notifikasi. Salah satu kontak yang menyita perhatiannya adalah ayahnya sendiri.

“Bapak belum bisa kirim buat bayar kosanmu, maaf ya, Ra. Kemarin kakakmu minta buat biaya hidup di asrama selama pelatihan. Kamu bisa cari pinjaman dulu, bulan depan Bapak usahakan kirim dua kali lipat.”

Menelan ludah kepayahan, Chiara kembali merebahkan tubuh. Menatap langit-langit kamar dan mengasihani diri. Seandainya ia tidak dipecat dari tempatnya magang sebulan lalu, mungkin pikirannya tak sementok ini. Uang part time-nya saja hanya cukup untuk biaya hidup, bagaimana mungkin sewa indekosnya ikut tertanggung? Mau makan apa nanti?

“Ini semua gara-gara CEO gila itu!” keluhnya sebal. “Cuma salah ketik dikit udah kena pecat. Siapa sih yang angkat itu om-om jadi CEO perusahaan?”

Mengingat itu lagi Chiara jadi geregetan sendiri. Benaknya kian memanas. Apalagi tatapnya fokus pada group chat anak magang kampusnya di PT Melintang Raya yang ternyata masih menjadikannya anggota. Akibat rasa penasaran yang tinggi, ia pun mengetuk grup itu dan membaca beberapa pesan di dalamnya.

Pak Yanuar itu hot banget, ya, badannya tinggi besar. Mana isinya otot semua lagi!”

“Sotoy banget lo! Emang udah pernah lihat semua isiannya?”

“Dih, nggak perlu dibuktikan kayak gitu juga udah kelihatan dari luar kali. Itu badan udah kayak gapura kabupaten. Kekar, nyaman banget buat dijadikan sandaran. Apalagi kalau peluk-peluk.”

Chiara berdecih saat mengingatnya. “Hat hot hat hot, apaan! Muka kayak dalaman kulkas aja pakai dipuja-puja anak magang. Mereka belum tahu aja aslinya Yanuar kayak apa. Kalau udah tahu, nyesel-nyesel dah tuh!”

Tak ingin berlama-lama menetap di grup itu, Chiara memilih keluar saja. Namun, belum lama ia mendepak dirinya sendiri, salah seorang kenalannya di kantor sebelumnya mengiriminya pesan. Lebih tepatnya informasi tentang pekerjaan dengan gaji lumayan.

Lumayan ada upah dibayar di muka, langsung datang aja ke alamat rumah itu sore nanti, Ra, buat wawancara. Good luck, ya.”

Mata Chiara kontan berbinar. Menghitung besaran gaji yang ditawarkan, meski ia tahu jenis pekerjaan yang akan dijalaninya nanti tidak mudah. Ya, lebih baik begini daripada harus mencari pinjaman online atau mengemis di depan ibu kos.

“Seenggaknya kalau aku diterima di kerjaan ini, nggak perlu lagi part time di banyak tempat,” gumamnya pada diri sendiri.

***

Tangan Yanuar mengulurkan kartu ATM pada kasir untuk membayar tagihan es kopinya. Ia hendak menyesap minumannya, tapi terhenti begitu tatapnya terpatri pada sosok gadis yang keluar dari pintu khusus karyawan kafe. Berbeda dengan tampilan sebulan lalu, Chiara yang Yanuar lihat sekarang memakai kemeja putih dan rok span hitam selutut.

Bibirnya mencebik kala mengingat kejadian di ruang kerjanya dulu bersamaan dengan langkah buru-buru Chiara menuju pintu keluar. Kaki Yanuar ikut terayun mengikuti gerak gadis itu. Namun, matanya membelalak saat menangkap tubuh kecil Chiara terjatuh ke kubangan air di pelataran kafe.

“Ck, ceroboh,” komentarnya seraya menggelengkan kepala.

Yanuar meraih lengan itu dan membantunya berdiri. Suara ringisan keluar sebelum akhirnya muncul ucapan terima kasih. Sudut bibir Yanuar terangkat begitu tahu pandangan Chiara belum mengarah padanya.

Chiara pun akhirnya menoleh. “Lho … Kulkas?” tunjuk gadis itu dengan mata melotot.

Kepala Yanuar meneleng. “Kulkas?” ulangnya bingung. Tangannya yang masih bertaut memegang lengan Chiara akhirnya ditepis begitu saja. Membuat Yanuar mundur beberapa langkah.

“Jangan pegang-pegang kalau nggak mau kena tampar lagi!”

Mendengkus kesal, Yanuar nyaris saja ingin mendorong tubuh Chiara ke kubangan air lagi. Namun entah mengapa, pasang matanya ini sulit sekali teralihkan dari kemeja putih si gadis yang sudah basah kuyup dan kelihatan kotor karena lumpur. Apalagi sesuatu yang menyembul di balik sana.

Lantas Yanuar melepas jasnya buru-buru. “Nih, pakai!” titahnya sambil melemparnya tepat di kepala Chiara. “Biar mata-mata keranjang nggak jelalatan lihat badan kamu.”

Yanuar mulai melangkah untuk meninggalkan Chiara di sana, tapi gadis itu melesat begitu cepat. Kini mereka saling berhadapan. “Apa lagi, Bocah Tengil?” katanya sambil menahan napas.

“Bapak nggak usah sok baik!” maki Chiara bersama tatapan tajamnya. “Saya nggak butuh beginian!”

Jas yang belum lama ini dilepasnya sudah berada di lengan. Chiara sengaja memberikannya ketika ia terkejut mendengar penuturan lawan bicara. Ia akhirnya berdecak karena lagi-lagi pandangannya terjatuh pada satu titik yang sama.

“Astaga, bukannya terima kasih malah ngamuk,” sindirnya yang mengedik pada satu tempat. “Itu lihat baju kamu basah, kelihatan dalamannya.”

Refleks Chiara menunduk dan menyadari sesuatu. “Eh, eh! Bapak lihat ke arah mana? Ternyata mata Bapak sendiri yang jelalatan!” serunya panik sambil menutupi dada menggunakan totebag-nya. “Jangan lihat-lihat ke dada saya!”

Merotasikan kedua bola mata dengan malas, Yanuar menggeleng heran kemudian. “Emang ada apanya, sih? Rata dan kecil gitu,” ujarnya jelas meremehkan.

“Wah, kurang ajar si Om Kulkas mesum ini!” Chiara tak tinggal diam. “Jangan body shamming, mentang-mentang orang kaya bisa semena-mena,” kecamnya yang kemudian tatapannya tertuju pada bagian bawah Yanuar. “Kayak punya Bapak gede aja!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status