Share

3. Untung atau Sial?

Author: Namericanou
last update Last Updated: 2023-09-08 19:36:12

Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat.

“Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?”

Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk.

Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding seperti rumah orang kaya lain yang cenderung menunjukkan bagaimana keharmonisan keluarga.

Chiara kemudian duduk di sofa empuk dengan pengharum ruangan aroma musk itu. Di hadapannya sudah ada wanita yang tak berhenti mengulas senyum ramah. Kalau saja wanita itu adalah bosnya nanti, barangkali hidup Chiara bisa tenang untuk sementara waktu.

“Ini langsung saja ya,” kata wanita itu. “Saya Sukma Wardana, Chiara. Sebenarnya saya nggak begitu mementingkan wawancara kayak di tempat lain. Soalnya waktunya mepet dan saya harus cari orang untuk menggantikan asisten yang tiba-tiba mengundurkan diri karena dilamar pacarnya di kampung.”

Chiara manggut-manggut mengerti. “Iya, Bu. Kebetulan saya juga pengen kerja dan butuh uang secepatnya,” akunya tanpa basa-basi.

“Bagus kalau begitu!” seru Sukma senang. “Hari ini kamu bisa langsung kerja kalau bisa.”

“Ini beneran, Bu?”

“Iya.” Sukma mengangguk. “Bisa masak dan bebersih, ‘kan?”

“Bisa, Bu. Cuma kalau masak, saya biasa buat makanan lokal. Jenis makanan bule begitu masih banyak belajar.”

Sukma mengibaskan tangan. “Kalem, anak saya justru lebih suka makanan lokal daripada yang roti sama keju begitu,” sahutnya tenang. “Nanti di dapur ada buku catatan, isinya daftar makanan kesukaan dan makanan yang kurang disenangi anak saya. Kamu bisa baca dan memerhatikan bahannya, ya, Chiara,” jelasnya sabar.

“Baik, Bu.” Chiara mengangguk patuh.

“Dan satu hal yang harus kamu tahu, kamu di sini kerja untuk putra sulung saya, Chiara. Saya tinggal di tempat lain bersama suami dan putri bungsu kami. Berhubung kamu masih mahasiswi dan kebetulan kuliah di Budhi Bakti, kamu tetap bisa menjalankan kuliah seperti biasa,” lanjut Sukma lembut. “Saya memberi keleluasaan untuk itu, tapi kalau wajib tinggal di rumah ini, nggak pa-pa, ‘kan?”

Suara lembut Sukma yang menggambarkan betapa baik hatinya wanita itu, membuat Chiara gugup. Sejak awal melihat informasi lowongan kerja tadi dari teman, Chiara tak tahu soal itu. Jika dipikir-pikir lagi, memang bukan masalah besar. Hanya saja, ia jadi membayangkan kerandoman hidupnya saat tinggal satu rumah bersama pria asing di rumah semegah ini.

Rupanya tak hanya mendapat upah di muka, tapi Chiara juga berkesempatan mendapatkan tempat tinggal tanpa harus menyewa indekos? Rejeki nomplok seperti apa sampai harus ditolak mentah-mentah? Tentu saja ia tidak akan menolaknya.

“Tinggal di rumah sebesar ini, Bu?” tanyanya melongo. Tatapnya pun memendar ke sekeliling, merasa ngeri dengan istana yang akan ditinggalinya ke depan. Chiara sedang tidak bermimpi, ‘kan? “Bu Sukma serius dengan hal itu?”

“Iya, tapi kamu nggak akan sendirian kok. Saya memang nggak tinggal di sini, tapi tenang aja anak saya nggak galak. Dia mungkin sedikit cerewet soal makanannya yang harus higienis. Di sini juga ada satpam sama pekerja kebun, terus sopir pribadi. Nanti ada Mbok Asih sama anaknya yang biasa ke sini untuk bebersih seluruh rumah. Beda sama kamu yang khusus membenahi ruangan anak saya.” Sukma menjelaskan panjang lebar. “Nanti kamu bisa minta tolong atau tanya sesuatu ke mereka kalau ada apa-apa.”

Mengingat masa sewa indekosnya habis akhir bulan ini, Chiara tidak perlu mencari tempat baru atau memperpanjang lagi. Sekarang dan ke depannya, ia bisa menetap di rumah megah majikannya. Memang benar, rejeki itu tidak ke mana.

“Bu Sukma,” ujar Chiara lirih. “Terima kasih banyak, jujur saya sangat bersyukur dengan pekerjaan ini. Saya akan berusaha menjadi asisten yang baik di rumah ini.”

Sukma terkekeh pelan sambil menepuk lengan Chiara. “Saya akan di sini sampai anak saya pulang, biar kalian bisa saya kenalkan satu sama lain.” Sukma kini menggenggam tangan Chiara. Membuat kerutan samar muncul di kening si gadis. “Sekarang, kamu bisa nggak masakin makan malam?”

Sontak saja Chiara mengangguk cepat. “Bisa banget, Bu,” balasnya yang langsung bangkit dari duduk.

“Bahan-bahan sudah siap semua di dapur, kamu tinggal berkreasi aja. Tapi ingat ya, pelajari dulu buku catatan di sana, first impression itu perlu dan penting, Ra,” peringat Sukma.

Chiara mengangkat tangan dan berpose seperti memberi hormat pada Sukma. “Mengerti, Bu!” serunya antusias.

“Semangat!”

Dari upah, tempat tinggal, ditambah majikannya yang super baik hati, menang banyak Chiara hari ini. Semoga saja, anak Sukma yang katanya tidak galak, tapi lumayan cerewet itu bisa diajak kerjasama ke depannya. Mungkin dengan pekerjaan ini Chiara bisa menuntaskan pendidikannya tanpa meminta uang dari orang tua kalau semuanya berhasil berjalan baik.

***

“Ra, tolong kamu panggilkan anak saya di kamar buat makan malam, ya. Dia sudah pulang, bilangnya sih mandi, tapi udah setengah jam belum keluar-keluar.”

Sukma langsung memerintah Chiara begitu gadis itu kembali dari minimarket untuk membeli beberapa keperluan. Rencananya ia akan pulang ke indekos usai bertemu anak Sukma karena barang dan pakaiannya belum dibawa ke rumah megah ini. Baru besok pagi, ia akan kembali untuk menyiapkan sarapan sekaligus bebersih.

“Oh iya, Bu.” Usai mengangguk patuh dan melajukan beberapa langkah, Chiara kembali karena ragu. “Eh, iya Bu … ini memangnya nggak pa-pa kalau saya langsung masuk ke sana ya?”

Tentu ragu dan gugup dirasakannya sekarang. Ia harus pergi ke kamar anak majikan dan mengajaknya makan malam sesuai perintah. Bagaimana kalau sesuatu terjadi di dalam sana, dan Chiara disalahkan? Bisa gagal harapan-harapannya tadi.

“Nggak pa-pa, paling anaknya juga lagi rebahan sambil main games,” tutur Sukma menenangkan sambil menepuk pundak Chiara.

“O-oh, baik Bu,” balas Chiara ragu.

Mendengar kata ‘main games’ berarti anak Sukma masih muda. Masih menikmati masa-masa memainkan game online tanpa perlu takut menyeramkannya masa depan. Nasibnya tentu jauh lebih baik daripada Chiara yang saat ini mulai terengah-engah menaiki anak tangga.

Tiba di depan pintu yang diberitahu Sukma, Chiara mengambil napas dan mengembuskannya pelan sebelum mengetuk pintu sebanyak dua kali. Lalu sahutan terdengar yang berisi perintah untuk masuk ke dalam. Bersama debaran jantung yang bergerak lebih cepat, Chiara mendorong pintu dan melangkah masuk. Sepanjang ia melihat rumah megah ini, tak ada foto di dinding yang memperlihatkan bagaimana gambaran anak majikannya.

Namun, ketika memasuki ruangan itu, Chiara sadar anak Sukma adalah seorang laki-laki dewasa. Bayangan dan dugaannya tadi jelas salah besar. Tampak jelas tergambar dari pemandangan kamar yang dipenuhi pernak-pernik kesukaan kaum laki-laki. Terlalu hanyut dengan suasana, Chiara sampai lupa tujuan.

“Permisi?” katanya yang urung mendapat balasan. “Saya diminta Bu Sukma untuk mengingatkan—“

Suara Chiara terjeda begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Kepalanya refleks menoleh dan menangkap sosok anak majikannya hanya berbalut handuk yang menutupi setengah tubuhnya. Tak berhenti di sana, ia baru menyadari siapa orang di hadapannya kini.

“Bocah Tengil? Ngapain kamu di sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   148. Menyambut Kebahagiaan (END)

    "Chiara pecah ketuban, Nu."Satu pernyataan berbuah informasi penting itu berhasil membuat tubuh Yanuar kaku. Tangannya terhenti di udara ketika hendak meminum kopi hangat untuk menyegarkan diri dari kantuk."Sekarang udah di rumah sakit." Yabes yang berada di sampingnya menambahkan. "Kata Tante Sukma, Chiara udah masuk pembukaan delapan. Dokter menyarankan pindah ke ruang bersalin, tapi Chiara menolak karena bersikeras nunggu lo."Yanuar memejamkan mata sejenak. Mengingat janji mereka yang akan menyambut kelahiran bayi bersama. Tindakan Chiara tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena wanita itu masih berupaya keras.Bayangan Chiara yang merintih dan menahan sakit perutnya sekelebat terlintas di benak Yanuar. Sontak Yanuar bangkit dari duduk. "Kita ke rumah sakit sekarang," putusnya cukup mengejutkan Yabes. "Lagi pula pesawat kita delay lama."Seharusnya Yanuar dan Yabes sudah tiba di Kalimatan untuk keperluan dinas, tapi karena cuaca buruk, jadwal penerbangan berubah total. Ia menungg

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   147. Detik-detik Pembukaan

    Rasanya beban-beban di pundak makin berat saja tiap kali ia pulang dari perkumpulan Rein dan yang lain. Tak hanya pundak, rupanya punggung hingga pinggulnya sudah menunjukkan rasa lelah sejak di perjalanan tadi. Perutnya kian membesar di usia kandungan pada bukan ke-7 ini, napasnya sering sesak setiap kali merebahkan diri.Apalagi selama melewati pertemuan tadi, Chiara tak begitu menikmati makanan. Ia hanya menyimak tiap kali perbincangan muncul. Walaupun isinya hanya itu-itu saja. Obrolan wanita berkelas yang membicarakan kekayaan keluarga hingga pasangan, dan sayangnya Chiara tak mampu melakukan hal sama.Memang apa yang harus ia pamerkan dari harta suaminya? Meskipun keluarga Yanuar jauh lebih di atas Rein dan yang lain, tetap saja Chiara tak bisa bercuap-cuap asal agar dianggap ada orang lain. Ia pikir, itu tindakan kekanakan dan kurang pantas.“Kita istirahat habis ini ya, Dek,” gumam Chiara sambil mengelus perutnya yang buncit. “Udah sampai rumah, nih.” Ia membuka pintu dan mela

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   146. Akhirnya Kelewatan

    Ada getar yang bisa Yanuar rasakan ketika menggenggam tangan Chiara. Ia mengeratkannya, berusaha menenangkan tiap detik hingga getaran itu perlahan redup dan akhirnya menghilang. Yanuar tak tahu apa yang tengah dipikirkan Chiara sekaligus disembunyikan istrinya itu sekarang. Yang jelas, mereka sempat cekcok sebentar sebelum berangkat ke rumah sakit seperti sekarang. Di perjalanan pun, tak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama bungkam sampai Yanuar membuka suara begitu merangkul pinggul Chiara menuju poli yang dituju. "Kamu kelihatan gugup, dan ... pucat," celetuk Yanuar sesaat setelah duduk di kursi begitu tiba di ruangan dokter. Chiara mengambil napas dan menggeleng kemudian. "Biasa kalau mau check up pasti ada gugupnya, Mas." Suara itu terdengar penuh kebohongan di telinga Yanuar, tapi ia tak mempermasalahkannya sekarang. Beberapa rangkaian pemeriksaan sudah dilewati Chiara dan Yanuar melihatnya saksama. Penuh perhatian lekat dan fokusnya pun sengaj

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   145. Akan Aku Usahakan

    “Jadwal gue setelah ini apa lagi, Bes?”Tanpa mendongak ke arah bawahannya, Yanuar melempar tanya sambil menatap foto yang dikirimkan Chiara belum lama ini. Istrinya itu sedang rajin-rajinnya pergi ke kelas yoga dan beberapa pertemuan dengan Lily dan juga Rein.Perubahan Chiara kedengaran bagus sekali. Terutama Mami yang senang bukan kepalang mendapati kabar itu. Sampai Yanuar baru menyadarinya sekarang karena kelewat sibuk dengan urusan kantor dan masalah yang terus datang.“Ada meeting online sama pegawai Kominfo untuk bahas masalah tambang yang sempat muncul di media dua hari lalu.”Kini Yanuar mengalihkan pandangan, beradu tatap dengan Yabes sambil membuang napas kasar. “Jadi, gue nggak dibolehin istirahat atau makan malam di rumah sama istri ya, Bes?”Yabes mengulum senyum samar. Rautnya berubah tak enak mendapati sarkasme yang dilontarkan atasan, tapi apa boleh buat. Semua sudah dirancang baik-baik dan mendapat persetujuan Yanuar secara langsung.“Kasih lima menit,” pinta Yanuar

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   144. Belum Terbiasa

    Chiara menoleh cepat pada meja di dekatnya usai Yanuar memberikan sesuatu di sana. "Itu apa, Mas?""Langsung aja datang ke sana, ya. Mami udah booking paket A buat kamu," jelas Yanuar sambil melangkah pelan mendekatinya. "Nggak perlu pakai taksi, biar sopir yang antar ke manapun kamu pergi."Chiara menjauhkan punggung dari sandaran kursi pijatnya dan menatap bingung Yanuar yang sudah duduk berlutut di depannya sekarang. "Paket A?" tanyanya bingung.Yanuar menganggukkan pelan, tangannya terulur menyentuh lutut Chiara dan memberi usapan lembut. "Pijat di salon, sekalian perawatan," jawabnya. "Kamu pasti capek setelah KKN kemarin. Belum lagi acara penyambutan kepulangan kamu itu."Chiara menyengir lebar, menyadari beberapa bagian tubuhnya memang sedikit pegal semalaman. Namun ia tidak berpikir untuk melakukan spa di salon seperti yang diujarkan Yanuar itu. Perlukah ia?"Emangnya harus, Mas?" Chiara menggaruk tengkuk tak enak. "Aku kan lagi hamil, boleh pijat-pijat gitu?""Boleh, Mami bil

  • Ditolak Magang Malah Jadi Ayang   143. Begitu Memikat

    Wajah Chiara sudah berseri-seri sejak berakhirnya malam perpisahan dengan warga desa. Tugasnya dan teman-teman akhirnya selesai. Bukan hanya sambutan di awal, tapi mereka mendapat banyak tanggapan positif di penghujung.Chiara baru saja selesai berkemas barang-barangnya, mengecek ulang isi koper kesekian kali. Kemudian menilik surat-surat yang dituliskan beberapa murid sekolah setelah ia mengisi kelas karya beberapa waktu lalu. Semua indah dan sulit dilupakan begitu saja, sebab mengukir kenangan manis di kepala.“Kerja bagus semuanya!” seru Tino di tengah kesibukan berkemas di posko. “Gue nggak tahu lagi mau apresiasi dengan cara apa, yang jelas gue bangga banget sama kelompok kita ini.”“Ya, gue setuju.” Abas menimpali dengan senyum haru. “Gue pikir, proker kita bakal ngebosenin dan kayak tradisi sebelumnya. Tapi ide-ide yang kita buat cukup cemerlang juga.”Chiara mengangguk setuju. Melihat semuanya menampilkan wajah lega dan penuh bangga, ia pun merasakannya dengan batin berbunga-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status