Share

3. Untung atau Sial?

Berkat sweater temannya yang bekerja di kafe, Chiara bisa menutupi kemeja putihnya yang basah. Kepercayaan dirinya kembali dan membuatnya berjalan tegap memasuki halaman rumah megah yang dikunjunginya sekarang. Pandangannya menyapu ke sekeliling, sedikit kikuk saat menginjak paving block di kediaman konglomerat.

“Tadi kata satpam di depan, disuruh masuk aja ke dalam,” gumam Chiara pelan. “Tapi ini emang nggak pa-pa ya nyelonong aja?”

Gadis itu ragu, tapi akhirnya memilih mengetuk pintu sampai berkali-kali karena belum ada sahutan dari dalam. Hingga kemudian ia baru sadar ada bel di dekat pintu. Sembari merutuki kebodohannya, Chiara menekan bel itu dan mendengar suara dari dalam. Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dan mempersilakannya masuk.

Beberapa kali Chiara menganga melihat interior rumah itu. Cukup megah, bahkan bisa digunakan bermain bulutangkis kalau saja sofa dan peralatan di ruang tamu disingkirkan. Namun yang menarik, tak ada bingkai foto yang terpasang di dinding seperti rumah orang kaya lain yang cenderung menunjukkan bagaimana keharmonisan keluarga.

Chiara kemudian duduk di sofa empuk dengan pengharum ruangan aroma musk itu. Di hadapannya sudah ada wanita yang tak berhenti mengulas senyum ramah. Kalau saja wanita itu adalah bosnya nanti, barangkali hidup Chiara bisa tenang untuk sementara waktu.

“Ini langsung saja ya,” kata wanita itu. “Saya Sukma Wardana, Chiara. Sebenarnya saya nggak begitu mementingkan wawancara kayak di tempat lain. Soalnya waktunya mepet dan saya harus cari orang untuk menggantikan asisten yang tiba-tiba mengundurkan diri karena dilamar pacarnya di kampung.”

Chiara manggut-manggut mengerti. “Iya, Bu. Kebetulan saya juga pengen kerja dan butuh uang secepatnya,” akunya tanpa basa-basi.

“Bagus kalau begitu!” seru Sukma senang. “Hari ini kamu bisa langsung kerja kalau bisa.”

“Ini beneran, Bu?”

“Iya.” Sukma mengangguk. “Bisa masak dan bebersih, ‘kan?”

“Bisa, Bu. Cuma kalau masak, saya biasa buat makanan lokal. Jenis makanan bule begitu masih banyak belajar.”

Sukma mengibaskan tangan. “Kalem, anak saya justru lebih suka makanan lokal daripada yang roti sama keju begitu,” sahutnya tenang. “Nanti di dapur ada buku catatan, isinya daftar makanan kesukaan dan makanan yang kurang disenangi anak saya. Kamu bisa baca dan memerhatikan bahannya, ya, Chiara,” jelasnya sabar.

“Baik, Bu.” Chiara mengangguk patuh.

“Dan satu hal yang harus kamu tahu, kamu di sini kerja untuk putra sulung saya, Chiara. Saya tinggal di tempat lain bersama suami dan putri bungsu kami. Berhubung kamu masih mahasiswi dan kebetulan kuliah di Budhi Bakti, kamu tetap bisa menjalankan kuliah seperti biasa,” lanjut Sukma lembut. “Saya memberi keleluasaan untuk itu, tapi kalau wajib tinggal di rumah ini, nggak pa-pa, ‘kan?”

Suara lembut Sukma yang menggambarkan betapa baik hatinya wanita itu, membuat Chiara gugup. Sejak awal melihat informasi lowongan kerja tadi dari teman, Chiara tak tahu soal itu. Jika dipikir-pikir lagi, memang bukan masalah besar. Hanya saja, ia jadi membayangkan kerandoman hidupnya saat tinggal satu rumah bersama pria asing di rumah semegah ini.

Rupanya tak hanya mendapat upah di muka, tapi Chiara juga berkesempatan mendapatkan tempat tinggal tanpa harus menyewa indekos? Rejeki nomplok seperti apa sampai harus ditolak mentah-mentah? Tentu saja ia tidak akan menolaknya.

“Tinggal di rumah sebesar ini, Bu?” tanyanya melongo. Tatapnya pun memendar ke sekeliling, merasa ngeri dengan istana yang akan ditinggalinya ke depan. Chiara sedang tidak bermimpi, ‘kan? “Bu Sukma serius dengan hal itu?”

“Iya, tapi kamu nggak akan sendirian kok. Saya memang nggak tinggal di sini, tapi tenang aja anak saya nggak galak. Dia mungkin sedikit cerewet soal makanannya yang harus higienis. Di sini juga ada satpam sama pekerja kebun, terus sopir pribadi. Nanti ada Mbok Asih sama anaknya yang biasa ke sini untuk bebersih seluruh rumah. Beda sama kamu yang khusus membenahi ruangan anak saya.” Sukma menjelaskan panjang lebar. “Nanti kamu bisa minta tolong atau tanya sesuatu ke mereka kalau ada apa-apa.”

Mengingat masa sewa indekosnya habis akhir bulan ini, Chiara tidak perlu mencari tempat baru atau memperpanjang lagi. Sekarang dan ke depannya, ia bisa menetap di rumah megah majikannya. Memang benar, rejeki itu tidak ke mana.

“Bu Sukma,” ujar Chiara lirih. “Terima kasih banyak, jujur saya sangat bersyukur dengan pekerjaan ini. Saya akan berusaha menjadi asisten yang baik di rumah ini.”

Sukma terkekeh pelan sambil menepuk lengan Chiara. “Saya akan di sini sampai anak saya pulang, biar kalian bisa saya kenalkan satu sama lain.” Sukma kini menggenggam tangan Chiara. Membuat kerutan samar muncul di kening si gadis. “Sekarang, kamu bisa nggak masakin makan malam?”

Sontak saja Chiara mengangguk cepat. “Bisa banget, Bu,” balasnya yang langsung bangkit dari duduk.

“Bahan-bahan sudah siap semua di dapur, kamu tinggal berkreasi aja. Tapi ingat ya, pelajari dulu buku catatan di sana, first impression itu perlu dan penting, Ra,” peringat Sukma.

Chiara mengangkat tangan dan berpose seperti memberi hormat pada Sukma. “Mengerti, Bu!” serunya antusias.

“Semangat!”

Dari upah, tempat tinggal, ditambah majikannya yang super baik hati, menang banyak Chiara hari ini. Semoga saja, anak Sukma yang katanya tidak galak, tapi lumayan cerewet itu bisa diajak kerjasama ke depannya. Mungkin dengan pekerjaan ini Chiara bisa menuntaskan pendidikannya tanpa meminta uang dari orang tua kalau semuanya berhasil berjalan baik.

***

“Ra, tolong kamu panggilkan anak saya di kamar buat makan malam, ya. Dia sudah pulang, bilangnya sih mandi, tapi udah setengah jam belum keluar-keluar.”

Sukma langsung memerintah Chiara begitu gadis itu kembali dari minimarket untuk membeli beberapa keperluan. Rencananya ia akan pulang ke indekos usai bertemu anak Sukma karena barang dan pakaiannya belum dibawa ke rumah megah ini. Baru besok pagi, ia akan kembali untuk menyiapkan sarapan sekaligus bebersih.

“Oh iya, Bu.” Usai mengangguk patuh dan melajukan beberapa langkah, Chiara kembali karena ragu. “Eh, iya Bu … ini memangnya nggak pa-pa kalau saya langsung masuk ke sana ya?”

Tentu ragu dan gugup dirasakannya sekarang. Ia harus pergi ke kamar anak majikan dan mengajaknya makan malam sesuai perintah. Bagaimana kalau sesuatu terjadi di dalam sana, dan Chiara disalahkan? Bisa gagal harapan-harapannya tadi.

“Nggak pa-pa, paling anaknya juga lagi rebahan sambil main games,” tutur Sukma menenangkan sambil menepuk pundak Chiara.

“O-oh, baik Bu,” balas Chiara ragu.

Mendengar kata ‘main games’ berarti anak Sukma masih muda. Masih menikmati masa-masa memainkan game online tanpa perlu takut menyeramkannya masa depan. Nasibnya tentu jauh lebih baik daripada Chiara yang saat ini mulai terengah-engah menaiki anak tangga.

Tiba di depan pintu yang diberitahu Sukma, Chiara mengambil napas dan mengembuskannya pelan sebelum mengetuk pintu sebanyak dua kali. Lalu sahutan terdengar yang berisi perintah untuk masuk ke dalam. Bersama debaran jantung yang bergerak lebih cepat, Chiara mendorong pintu dan melangkah masuk. Sepanjang ia melihat rumah megah ini, tak ada foto di dinding yang memperlihatkan bagaimana gambaran anak majikannya.

Namun, ketika memasuki ruangan itu, Chiara sadar anak Sukma adalah seorang laki-laki dewasa. Bayangan dan dugaannya tadi jelas salah besar. Tampak jelas tergambar dari pemandangan kamar yang dipenuhi pernak-pernik kesukaan kaum laki-laki. Terlalu hanyut dengan suasana, Chiara sampai lupa tujuan.

“Permisi?” katanya yang urung mendapat balasan. “Saya diminta Bu Sukma untuk mengingatkan—“

Suara Chiara terjeda begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Kepalanya refleks menoleh dan menangkap sosok anak majikannya hanya berbalut handuk yang menutupi setengah tubuhnya. Tak berhenti di sana, ia baru menyadari siapa orang di hadapannya kini.

“Bocah Tengil? Ngapain kamu di sini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status