Share

4 - Adu Mulut

“Ra, sini ikut makan bareng.”

Langkah Chiara terhenti, niatnya hendak membereskan dapur akhirnya gagal total. Sukma mencegatnya dan mau tak mau, ia harus bergerak patuh. Meski setiap kakinya berpijak, mata tajam itu kelihatan sekali menggambarkan kebencian.

Mungkin karena sikapnya yang masuk ke teritori pibadi pria itu. Sampai melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Mengingat kejadian itu, Chiara jadi malu sendiri. Ditambah sebelum datang ke rumah ini, mereka bertemu di depan kafe dan berdebat seperti musuh bebuyutan.

Chiara sudah sampai di dekat Suka, masih berdiri. Jujur ia bingung harus melakukan apa, entah itu duduk di kursi atau pamit pergi. “Bu, saya—“

 “Mi, ngapain, sih ngajakin orang asing makan di meja bareng kita?” Yanuar mulai menunjukkan aksi protesnya. “Nafsu makanku hilang nih jadinya.” Ia meletakkan kedua alat makan di piring, menghasilkan bunyi cukup nyaring.

 “Ah, kamu. Dari tadi aja makannya lahap, suka nggak sama makanannya?” tanya Suka lembut. “Chiara lho yang bikin.”

Yanuar menyeringai. “Nggak enak, ini keasinan!” serunya malas. “Yang buat kayak orang kebelet nikah!”

Dua tangan Chiara sontak mengepal di sisi tubuhnya. Pasang irisnya juga melirik Yanuar sekilas. Benar-benar tak habis pikir dengan sikap pria itu. Tidak di kantor, di luar rumah, bahkan di hadapan ibunya sekalipun, sikapnya sangat menyebalkan.

“Yanu, nggak boleh menghina makanan. Mami aja suka banget sama masakannya Chiara, bumbunya pas.”

Mendengar hasil kerjanya dipuji, amarah Chiara mulai menyusut. Setidaknya ada penawar kekesalannya sekarang. Ia pun melempar senyum lega dan penuh syukur pada Sukma.

“Terserah,” sahut Yanuar ketus yang kemudian bangkit dari kursi dan hendak berlalu.

“Mau ke mana kamu, Nu?”

“Ngerokok.” Kepala pria itu tertoleh sekejap, sebelum akhirnya melenggang pergi. “Engap lama-lama di sini.”

Memang kehadiran Chiara di sana sudah seperti asap tebal sampai membuat pria itu kesulitan bernapas? Benar-benar. Sorot mata Chiara berubah tajam, hingga akhirnya kembali melembut ketika lengannya ditarik pelan oleh Sukma.

“Ra, jangan didengar, ya. Yanu emang lumayan sensi kalau ketemu orang baru, dia dan kamu sama-sama butuh usaha lebih untuk beradaptasi.”

Chiara menggigit bibir, jadi khawatir. “Tapi, saya nggak akan dipecat, kan, Bu?”

“Mana mungkin, dia aja suka sama masakan kamu, Ra. Sini kamu duduk, temani saya makan,” pinta Sukma sambil menepuk kursi kosong di sampingnya. “Habis ini saya akan bujuk Yanu, jadi, kamu jangan khawatir.”

“M-makasih banyak, Bu Sukma.”

“Ayo dimakan.”

***

Chiara baru saja membereskan kamar tidurnya. Meletakkan beberapa makanan ringan yang dibelinya di minimarket tadi. Hendak merebahkan diri di ranjang, tapi niatnya segera diurungkan karena tak enak. Selagi duduk di ubin dingin, tubuhnya tersentak ketika mendengar perdebatan antara ibu dan anak di ruang tengah.

“Aku nggak mau, Mi!” kata Yanuar lantang. “Sekali nggak, tetap nggak jawabannya.”

Kenal betul suara berat yang menggelegar itu, Chiara menahan napas. Dadanya bergemuruh karena takut kalau ujung-ujungnya dipecat lagi dengan cara yang sama. Ia mengeratkan pegangan di ujung roknya sambil menenangkan diri agar tidak berpikir macam-macam.

Melalui celah pintu yang sengaja tak ditutup rapat, gadis itu bisa menangkap perbincangan di luar, meskipun samar-samar. Perlahan tubuhnya bergerak mendekati daun pintu, mulai mendengarkan dua orang itu berbicara. Sembari berharap agar tidak dipecat untuk kedua kali. Jika keberuntungannya tidak di sini, harus ke mana lagi ia mencari?

“Dengarkan Mami dulu, Nu. Please, sit down first.” Sukma menepuk-nepuk bagian sofa, mencoba membujuk sang putra agar menurut.

Menghela napas kasar, akhirnya Yanuar setuju. “Mi … usir dia,” pintanya. “Aku bisa kok urus rumah sendiri dan cari asisten yang lebih proper.

“Mami nggak akan mengambil keputusan baru selain mempertahankan Chiara di rumah ini,” ujar Sukma tegas. “Kamu memang sudah dewasa, bisa urus semua sendiri. Itu juga jadi harapan Mami setiap hari, tapi semenjak nggak ada asisten rumah tangga di sini, semua kelihatan berantakan. Coba kalau kamu cari istri—“

“Mi,” potong Yanuar bersama sorot seriusnya. “Berkali-kali aku bilang, aku nggak mau bahas soal itu. Back to topic.”

Rahang Yanuar mengeras. Wajahnya mulai memerah dan disertai napas tersengal karena topik sensitif itu kembali merasuk dua telinganya. Lantas ia membuang muka demi menenangkan diri sesaat sebelum akhirnya membalas ucapan ibunya.

“Cukup, Mi. Jangan paksa aku untuk menikah,” katanya menegaskan. “Aku nggak butuh pasangan, jadi Mami nggak perlu melakukan apa pun.”

Sukma mengerjap pelan. Dua irisnya mulai berkaca-kaca, membuat pandangannya memburam. Diikuti tangan dan tubuh yang gemetar kalau saja Yanuar tak bergerak menggenggam.

Lantas Yanuar menatap ke arah ruang yang kini sedang ditempati Chiara. Bocah tengil yang sukses mengejutkannya di kamar. Ia bahkan harus menutupi bagian tubuhnya yang tak tertutupi atasan sama sekali. Setelah kejadian tamparan sebulan lalu dan dilanjut di depan kafe tadi, harga dirinya seperti baru dicoreng habis-habisan oleh gadis itu.

“Anak itu masih mahasiswi, mana bisa dia kerja di sini. Aku mencoba realistis aja, Mi,” tolaknya tanpa tedeng aling-aling. “Kalau Mami kasihan sama dia, kasih kerjaan lain aja. Asal jangan di sini.”

Alih-alih memenuhi permintaan sang putra, Sukma justru tertarik pada fakta terselubung yang diutarakan Yanuar. “Kamu tahu dari mana Chiara masih kuliah? Padahal Mami belum sempat jelaskan apa pun, lho,” ujarnya bingung, hingga tak lama senyum terulas di wajahnya. “Kalian sudah saling kenal?”

Yanuar hendak membalas dan menjelaskan semua yang telah terjadi di antaranya bersama Chiara. Namun, Sukma justru makin menunjukkan raut bahagia. Tak lama tangannya terangkat sejalan dengan kepala yang memutar ke arah pintu kamar Chiara. Wanita itu rupanya memanggil si Bocah Tengil.

“Chiara! Ke sini sebentar, Ra. Ada yang mau saya tanyakan.”

Benar saja, gadis dengan rambut lurus sebahu itu muncul di balik pintu. Sepasang mata coklat seperti kucing itu enggan membalas tatapan Yanuar. Berbeda sekali dengan gadis yang berani mengejek tubuhnya belum lama ini, nyala api keberanian yang berkobar sepertinya sudah surut.

Yanuar berdeham pendek ketika Chiara diam berdiri, padahal sudah diminta duduk. Mungkin juga gadis itu tak sudi menempatkan diri di sampingnya, takut diterkam? Memang wajahnya segarang apa sampai membuat si Bocah Tengil mendadak mlempem seperti kerupuk yang disiram air?

“Ada apa ya, Bu?” Chiara buka suara. Nadanya pelan, tak menyentak. Apalagi menyolot ketika berhadapan dengan Yanuar.

“Duduk dulu, Ra,” tawar Sukma ramah. Melihat reaksi Chiara yang sempat sekilas melirik was-was, Sukma pun menarik kesimpulan. “Jangan takut, Yanu nggak akan gigit. Dia bukan anjing galak. Aslinya baik dan lembut, kok, anaknya.”

“Mami ….” Yanuar nyaris tersedak mendengar Sukma.

“Ya?” Kening Chiara muncul kerutan samar. “Baik dan lembut, ya, Bu?” ulangnya ragu.

Hal itu menuai pelototan dari Yanuar yang sejak tadi duduk manis. “Memangnya kenapa? Kamu nggak terima ucapan mami saya?”

“Bukan gitu.” Chiara menyambar sambil mengibaskan tangan. “Bukan nggak terima, tapi mustahil untuk dipercaya.”

Mata Yanuar makin lebar saja. “Wah, jadi kamu ngatain Mami berbohong?” sentaknya.

“Yanuar ….” Sukma memanggil, berharap putranya bisa menjaga sikap.

“Lihat, kan, Mi?” Yanuar menatap Sukma sambil menaikkan dagu tinggi-tinggi. “Kelakuannya aja begini, mana bisa dia kerja di sini? Udah, deh. Ganti aja sama asisten baru!”

Melihat kelakuan Yanuar yang kembali bersikap menyebalkan, Chiara menyipitkan mata. Memerhatikan dua manusia di depannya. Sesaat ia berpikir untuk tak percaya jika Sukma adalah ibu dari Yanuar. Bagaimana mungkin wanita berhati lembut dan super baik itu memiliki anak kurang ajar dan tak mampu menghargai rakyat kecil sepertinya?

Apa tadi pria itu bilang? Meminta Sukma untuk mencari asisten baru dan memecatnya begitu? Enak saja! Ia sudah pontang-panting mencari pekerjaan dan akhirnya diterima karena kebaikan hati Sukma, mana bisa usahanya itu diluluhlantahkan dalam sekejap. Pokoknya Chiara tidak terima diperlakukan tidak adil untuk kedua kalinya.

Sukma melempar tanya, “Sebenarnya kalian ini kenal di mana?”

“Dia mantan anak magang di kantor, bulan lalu aku pecat karena tampar bosnya,” balas Yanuar santai.

Sontak saja Sukma membelalak. “Tampar?” tanyanya. “Chiara tampar Yanuar?”

“Bohong,” sebut Chiara dengan nada lugas. “Saya nggak dipecat karena itu, Bu. Pak Yanuar bilang kalau laporan yang saya kerjakan salah ketik, tapi saya punya alasan atas itu. Jadi, bukan karena tamparan.”

Merotasikan kedua bola mata, Yanuar mengibaskan tangan. “Halah.”

Menyadari ada kesempatan besar untuk berbicara, Chiara pun memberanikan diri. “Saya nggak bohong, Bu. Tolong jangan pecat saya.”

“Nu.” Sukma berusaha menengahi. “Mami tahu kamu sudah cukup dewasa, bisa menyikapi ini semua. Jadi, tolong hal ini diurus sebaik mungkin. Mami minta, Chiara tetap di sini. Jangan lagi ada drama pemecatan tragis yang kamu lakukan,” pesannya seraya meraih tas tangan. “Papi minta Mami pulang sekarang, pamit ya, Nu. Baik-baik di rumah.”

“Mi, please.

Sayangnya wanita itu terus melangkah menuju pintu utama dan mengabaikan panggilan anak sulungnya. Di ruang tengah, tinggallah Yanuar dan Chiara yang masih terdiam. Cukup betah dengan keheningan yang menyergap dan membuat keduanya canggung.

“Nggak capek berdiri kayak patung?” Suara berat Yanuar terdengar. “Sini duduk di sofa atau … lho kok nangis?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status