Sampai di dapur, aku keluar menuju halaman belakang. Masih begitu banyak semak belukarnya. Ibu duduk di kursi roda sembari memberi makan ayam dengan jagung kering yang ditaburkannya ke sembarang arah. Berlarian ayam mendekat ke arah Ibu, dan mematuk makanannya dengan lahap. "Buk'e," panggilku. Saat aku pergi, keadaan Ibu sungguh memprihatinkan. Jangankan bicara, menangis pun ia kesulitan. Namun sekarang, Ibu sudah duduk di kursi roda. Tubuh kurus itu sudah tegap. Ibu setengah menoleh, kemudian membalikkan kursi rodanya. "Le. Ya Allah, Ibu kangen banget," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, dan senyum penuh keharuan. Sedikit berlari aku menghampirinya, dan langsung berjongkok guna menyejajarkan diri dengan Ibu. Kugenggam erat jemari yang sudah keriput ini, sembari menciumnya dengan takzim. "Fajar, pulang Bu," ucapku lirih. Ibu menutup mulut dengan sebelah tangan, menahan isakan. Dibelainya lembut kepala ini, kemudian mencium pucuk kepalaku. "Alhamdulillah, anak Ibu pulang," kata Ibu
POV: Fajar SuharjhoSetelah makan malam, kurebahkan tubuh di bawah ranjang Ibu dengan membentang tikar tipis sebagai alas. Selama makan, Lestari masih terlihat takut melihatku. Padahal, banyak yang ingin kukatakan padanya. Bukankah si Priyo—ayah dari Dirga—berjanji akan menikahinya jika aku dan Lestari bercerai?Tengah malam, aku terjaga. Aku beringsut duduk, berdiri, dan duduk lagi di sisi ranjang tempat Ibu terlelap. Kupandangi dengan saksama wajah Ibu yang telah menua. Kulit sudah keriput, rambut memutih, dan badan tampak kurus. Lama sekali aku tak memandang wajah ini. Kugenggam tangan, dan sedikit membungkuk untuk mendaratkan ciuman di keningnya. "Ibu, semoga panjang umur. Maaf, Fajar belum bisa membahagiakan Ibu dengan menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu dan mengangkat derajat Ibu." Perlahan, aku mulai memijat kaki Ibu yang kurus tinggal tulang. Dengkuran halusnya menandakan bahwa Ibu sudah berada di alam mimpi. Ya Allah, berikanlah kesehatan, dan limpahkan kebahagiaan unt
Siang itu, setelah salat Zuhur, aku bermain ke rumah Pakde. Niatku datang ke sini untuk meminta pekerjaan, kalau saja ia membutuhkan tenagaku. Pakde mempersilakan kami duduk di marungan bambu yang ada di depan rumahnya. Angin semilir menyapu wajah, kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang."Jadi, kamu mau cari kerja, Jar, ini ceritanya?" tanya Pak RT kepadaku. Aku hanya tersenyum dengan wajah menunduk. "Pakde cuma bisa kasih kerja kamu di kebun seperti biasa. Tanah Pakde yang di dekat sungai itu kayaknya udah bisa disadap. Mau kamu ngurusin kebon karetnya Pakde?" tanya Pakde sembari menyeruput kopi yang sudah disiapkan sang istri sejak tadi. "Apa saja, Pakde, yang penting halal," sahutku. Pakde satu-satunya harapanku."Yo wes, mulai minggu depan kerja, ya," ucapnya. "Terima kasih banyak, Pakde. Saya pasti akan bekerja dengan giat," kataku penuh semangat. "Ya, harus begitu. Hidup harus semangat lo, Jar!" Pakde menepuk-nepuk bahuku. Kami mengobrol hingga petang. Setelah itu
“Kamu sudah siap, Lestari?” tanyaku pada Lestari yang duduk di belakang. Aku meminjam sepeda motor Pakde—Astrea 800—ke desa tetangga, untuk mengantarnya pulang. Sedikit kesusahan, Lestari membawa tas besar berisi baju dan menggendong Dirga. “Siap, Mas,” jawabnya.“Mas jalanin motornya, ya!” “Mas, apa ndak apa-apa aku pulang? Nanti kalau Bapak sama Ibu marah, piye?”“Wes, tenang aja, nanti Mas yang ngomong.”Motor melewati jalan kecil yang di dua sisinya sawah membentang luas. Menuju ke desa tempat Lestari tinggal memang harus melewati pesawahan. Udara sejuk dan angin sepoi-sepoi menerpa tubuh kami. Kadang sepeda motor tak seimbang, dan nyaris terjatuh ke dalam pesawahan. Beruntung, aku bisa kembali membuatnya seimbang. Dulu aku sering melewati jalan ini bersama Kamila. Masih memakai seragam putih abu-abu, kami berboncengan naik sepeda. Bahkan tawa bahagia Kamila masih terdengar jelas di telinga ini.Mungkin, jika suatu saat aku ajak Nyonya ke sini, pasti lucu. Secara, ia tidak perna
“Bu, Maafkan Lestari. Maaf, Buk’e.” Lestari beringsut turun, dan memegangi kaki Bu Fitri.“Bu, ndak ada salahnya kasih kesempatan sama Lestari sekali lagi. Maaf sebelumnya, karena sekarang saya menetap di desa ini. Saya putuskan menalak Lestari, Bu. Saya rasa, tanggung jawab saya sampai di sini. Saya sudah memenuhi janji saya pada Kamila. Mohon, Ibu bisa membuka hati Ibu,” kataku sembari menenangkan Dirga yang ikut menangis.“Ya Allah, Nak Fajar! Kenapa tidak dijadikan istri yang sebenarnya saja Lestari ini untukmu, Nak? Insyaallah, bersamamu kami percaya,” pinta Ibu sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.“Maaf, Bu, perasaan saya pada Lestari hanya sebatas adik dan kakak. Saya merasa bertanggung jawab terhadapnya karena ia adiknya Kamila, sahabat dekat saya.” Dirga sedikit tenang, setelah kuberikan kunci sepeda motor sebagai mainan. “Meskipun kami berpisah, Dirga tetaplah anak saya, Bu.” Aku duduk di kursi, meletakkan Dirga di sampingku.Bu Fitri memandang Dirga dengan
POV : Author Malam itu, Fajar duduk di balai yang terletak di depan halaman rumahnya seorang diri. Ibunya sudah tidur, setelah isya tadi. Ia memeluk radio tua pemberian Kamila, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Laki-laki itu lega, karena telah mengembalikan Lestari kepada kedua orang tuanya. Fajar tinggal memikirkan hidup, dan ibu yang harus dirawatnya. Perlahan, diputarnya radio sembari mencari sinyal yang hilang timbul. Bersyukur, ada sinyal yang nyangkut. Fajar memejamkan mata, menikmati dinginnya angin malam yang membelai wajah. Entah mengapa, bayangan Ratu seolah terus membayang di pelupuk matanya. Sebuah lagu yang berjudul Bunga dari Bondan Prakoso terdengar enak di telinga. Dengar resapiUcapkan, dan jangan berhentiKarena semua pertanyaan perlahan menghampiriMendekat, dan merusak sistim kerja otak kiriSetiap detik berdetak, menusuk-nusuk di hatiKembali terlihat raut wajahmu di anganTaburan cinta mengikuti semua senyuman Tapi dalam hati ini tak bisa ungkapkanNyal
POV : Fajar SuharjhoPagi-pagi sekali, aku datang ke rumah Pakde Jaro. Hari ini, aku akan mulai kerja di kebunnya. Tabunganku menipis. Aku harus bekerja, agar bisa menghidupi Ibu. Kuketuk pintu rumah berulang kali, tetapi keadaan rumah sepi. Sepertinya Pakde Jaro dan Bude Iyem sedang tak ada di rumah. Apakah mereka ke kebun? Meskipun ke kebun, biasanya ada Bude Iyem di rumah ini.“Mas, cari Pak’e?” tanya seseorang yang tiba-tiba ada di belakangku. Aku menoleh. Terlihat seorang gadis berdiri dengan rambut dikuncir ke atas. Ia memakai kaus panjang berwarna cokelat, dan rok panjang berwarna marun.“Dik, sampean sopo?” tanyaku dengan dahi mengerut.“Mas, aku Siti. Dulu, Mas suka kasih permen ke aku sama Mbak Kamila. Em, lali to?” ucapnya menggoda. Ternyata ia anak gadis Pakde Jaro. Dulu masih sangat kecil, sekarang sudah besar hingga aku tak mengenalinya.“Astagfirullah, Mas lali. Kok, koe sak iki ayu tenan to,” pujiku yang membuat pipinya merona malu.“Ah, Mas bisa saja,” sahutnya tertu
Terik matahari siang ini sangat panas. Aku sedang memanen padi di sawahnya Pak RT. Memakai caping anyaman bambu khas pedesaan, celana pendek, dan kaus oblong berwarna hijau. Awalnya Pak RT memintaku menyadap kebun karetnya. Berhubung sudah ada orang yang kerja di sana, kini aku kerja sebagai buruh tani di ladangnya.Ada sekitar 20 orang yang kerja bersamaku sekarang. Sepuluh laki-laki, dan sepuluh perempuan. Masing-masing memiliki peran sendiri. Ada yang memotong padi, ada yang mengangkut, ada yang melepas biji-biji padi dengan cara di geprak-geprak ke balok kayu. Karena di desaku masih memanen dengan cara yang tradisional. Sesekali kulap peluh yang mengalir di kening. Lama sekali aku tak kerja keras seperti ini. Menyesal rasanya pernah menyia-nyiakan nasi jika makan tak habis.***“Bu, kita ke kota, ya,” kataku malam itu, setelah makan malam. Aku, dan Ibu duduk di ruang tamu.“Kenapa, Le?”“Cari kerja di sini susah, Bu. Kerjanya susah, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.”“Apa ndak