Hari ini Fajar ijin tidak masuk. Kenapa dia? Apa dia sakit? Pikiranku diliputi bebagai macam dugaan. Di rumah pun saat aku menanyakan pada orang-orang mereka bilang, ia keluar sejak pagi. Kemana dia?
"Nyonya," sapa Arman.
Aku yang sedang melamun berpangku dagu di buat agak kaget oleh suaranya.
"Oh, iya," sahutku langsung merubah posisi duduk tegap.
"Ini laporan penjualan perusahaan bulan ini, sesuai yang Nyonya minta tadi." Aku mengambil map yang diulurkannya kemudian membuka dan membacanya.
"Oke, kamu boleh keluar." Arman membungkuk lalu keluar ruangan.
Hari ini aku datang ke perusahaan untuk meninjau penjualan. Dahiku mengerut melihat laporannya. Di sini tertulis bahwa laporan penjualan produk menurun drastis bulan ini, bahkan sampai 50℅. Usaha butik aman-aman saja, tapi usaha distribusi makanan ringan mengapa bisa seanjlok ini?
Kutekan nomor telepon manager yang memegang perusahaan ini. Tapi sedang sibuk, tidak bisa di hubungi. Lebih baik ketemuan saja di salah satu restoran atau cafe untuk membicarakan masalah ini supaya lebih enak. Usaha distribusi makanan ringan ini adalah salah satu usaha turun temurun di keluarga kami. Perintisnya adalah papa hingga bisa sebesar sekarang.
[Desi, tolong atur pertemuan antara aku dan Pak Dirga malam ini.] send.
Tidak lama lampu gawai berkelip, menunjukkan ada pesan W* masuk. Langsung saja kubuka pesannya.
[Baik, Nyonya.]
Setelah sepuluh menit pesan W* kembali masuk.
[Jam 8 malam di cafe biru muda.]
Hanya kubalas [Ok.] send.
***
Suasana cafe sangat ramai malam ini. Pak Sopian dan Desi berjalan di belakangku. Aku mendekati pria berjas hitam di meja bagian tengah.
"Selamat malam, Nyonya," sapanya langsung berdiri.
Pak Sopian langsung menarik kursi untuk kududuki. Setelah itu Desi duduk di sisiku diiringi Pak Dirga sedangkan Pak Sopian memilih tetap berdiri.
"Malam, kemana Anda tadi siang, Pak? Apakah anda tidak tau kalau saya akan mengunjungi perusahaan?" tanyaku sambil duduk menyilangkan kaki.
"Maaf, Nyonya. Saya ada keperluan mendadak sehingga harus keluar kantor. Next time saya akan lebih disiplin." Dia menunduk memohon maaf.
"It's okelah. Langsung saja, saya mengecek penjualan perusahaan bulan ini. Kenapa penjualan bisa anjlok sampai 50%?"
Pak Dirga menarik napas panjang.
"Inilah yang ingin saya ceritakan pada Nyonya dua hari yang lalu saat saya menelpon. Ada isu yang beredar di masyarakat kalau snack yang kita jual mengandung lilin."
"Saya sudah mendengar masalah itu. Kenapa tidak buat klarifikasi? Bukankah produk kita terdaftar di BPOM? Buat konferensi pers dan jelaskan semua, katakan bahwa berita itu hanya HOAX."
"Itu pasti saya lakukan Nyonya, hanya saja tidak mungkin penjualan akan naik drastis."
"Gandeng supplier baru, kita jual produk baru di luar makanan ringan."
"Produk apa, Nyonya?"
"Pembalut wanita, itu yang duta besarnya aktris cantik Revalina S temat!" kataku penuh keyakinan.
"Tapi ... nyonya. Kita biasa menjual produk makanan."
"Lakukan saja perintahku! Temui managernya dan jalin kerja sama secepatnya."
"Baik, Nyonya."
Saat kami sedang berbincang-bincang terdengar keributan di dekat meja kasir. Seorang pelayan cafe dengan baju khas pelayan di caci maki oleh Bosnya karena tidak sengaja menumpahkan sisa kopi ke gaun pengunjung. Wanita yang gaunnya sedikit kotor itu marah-marah sampai menunjuk wajah si pelayan.
"Kamu tau harga baju ini berapa? Gaji kamu sepuluh bulan pun tidak cukup untuk membeli gaun ini!" teriaknya.
'Oh, songong sekali wanita itu.' aku membatin.
Aku hanya melirik sekilas, lalu mengacuhkannya. Tapi tunggu dulu, kembali kupandang wajah pria yang memakai baju pelayan cafe itu lamat-lamat. Jantungku hampir copot, dia Fajar. Ternyata seharian dia ijin tidak masuk karena kerja di sini. Lalu perempuan itu terlihat puas melihat Fajar di caci maki.
'How Dare You!!' rutukku dalam hati geram.
(Beraninya kamu!)
"Desi, siapa pemilik usaha cafe ini?" tanyaku melirik sinis ke arah Desi.
"Pak silakan kalau mau pulang lebih dulu." Desi mempersilakan Pak Dirga pulang.
Pria bertubuh tambun itu langsung pamit pulang, sebelumnya mengajakku bersalaman.
"Desi, cepat cari tau siapa pemilik usaha ini?" tanyaku kehilangan kesabaran setelah Pak Dirga berlalu.
"Sabar, Nyonya." katanya agak gugup dan terus mencari tahu melalui ponselnya.
"Pak Haikal namanya, Nyonya."
"Hubungi Pak Haikal, katakan aku mau menanam modal 80℅ di cafe ini."
Mataku terus melihat cara Bosnya serta perempuan itu mencaci maki Fajar. Setiap cacian yang terlontar dari bibirnya menusuk ke jantungku. Aku merasakan apa yang Fajar rasakan.
"Nyonya sudah saya hubungi lewat e-mail, dia sangat tersanjung dengan tawaran kita." Desi menunjukkan layar ponselnya.
"Bilang saja oke! Dan kirim nomornya ke saya" Desi mengangguk mengerti.
Setelah itu kulihat Fajar keluar cafe dengan wajah tertunduk malu, sebelumnya melepas rompi khusus pelayan di ujung ruangan ini dan meletakkannya di meja. Tentu saja, dia di permalukan di depan semua orang. Tunggu kalian berdua, beraninya membuat sopirku seperti ini.
"Kalian pulang saja duluan, aku ada urusan!" perintahku pada Desi dan Pak Sopian sambil terburu memakai tas seharga 500 juta di tangan. Setelah itu mengejar Fajar yang sudah keluar.
"Tapi, Nyonya?" tanya Desi ragu.
"Lakukan saja!!" kataku berteriak karena aku sedikit berlari meninggalkan mereka.
Aku berdiri di belakang sopir pribadiku itu. Di bawah lampu remang-remang, dan di bawah pepohonan yang rindang, Ia duduk di pinggir jalan. Di kursi besi berwarna hitam yang biasa menjadi tempat tongkrongan anak muda. Wajahnya tertunduk dengan tangan melipat di depan dada.
"Kenapa tidak masuk kerja?" tanyaku tiba-tiba yang membuatnya melonjak kaget karena aku sudah duduk di sampingnya. Dia langsung menoleh ke arahku.
"Kenapa? Lihat hantu?" tanyaku mengikuti gayanya melipat tangan di depan dada.
"Nyonya? Kenapa bisa ada di sini?"
"Nyariin sopir pribadi, ngapain lagi coba?" jawabku menaikkan kedua alis. Fajar tersenyum tipis, tapi masih ada gurat kecewa di wajah manisnya. "Temani aku minum kopi!"
"Nyonya saya sedang tidak ingin minum kopi."
"Kamu mau saya pecat?" ancamku menatap lekat wajahnya.
"Tidak ada yang bisa memecat saya selain Oma Nyonya."
Oh, sial. Aku tidak bisa mengancamnya.
"Baiklah, kalau begitu ikut saya ke suatu tempat."
"Kemana Nyonya?"
"Ikut saja," kataku menarik tangannya, mengajak kembali ke cafe tadi. Meskipun Fajar tampak ragu, tapi akhirnya dia mengekorku dari belakang.
***
"Nyonya, mengapa harus duduk di cafe ini?" tanya Fajar masih berdiri di sampingku.
"Duduk saja," sahutku singkat.
Perlahan Fajar duduk dengan agak kikuk. Aku memanggil pelayan untuk datang melayani kami.
"Ini nyonya, silakan di isi menu pesanannya."
"Saya tidak mau kamu yang melayani, mana Bos di sini?" Pelayan itu mematung di sisiku. Mungkin bingung, baru kali ini ada pengunjung yang minta di layani Bosnya.
"Saya minta kamu memanggil Bosmu sekarang," kataku sekali lagi. Pelayan itu langsung pergi dengan cepat, kemudian tampak berbisik pada pria yang kulihat mencaci Fajar tadi.
"Permisi," tegurnya.
"Iya," sahutku acuh tak acuh. Membolak-balikan telapak tangan di depan wajah, kemudian pura-pura memeriksa kuku tangan.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Dia melirik Fajar beberapa kali.
Aku diam saja, lalu memutuskan menelpon Pak Haikal.
"Tunggu sebentar!" Perintahku.
Kutelepon Pak Haikal dan kukatakan aku sedang berkunjung ke cafe malam ini untuk melihat pelayanan. Setelah telponku tertutup, berganti ponsel tua bangka itu yang berdering. Ia sedikit menjauh dari kami untuk berbicara di telepon, kemudian seperti mengamati sesuatu di layar ponselnya. Ia melihat ke layar ponsel kemudian mengamati wajahku. Tertunduk-tunduk ia berjalan mendekat.
"Ehhh, apakah ini Nyonya Ratu?" Aku hanya mengangkat alis menjawabnya. "Baiklah Nyonya, anda mau pesan apa?" tanyanya tersenyum ramah.
"Bukan saya, tapi dia," sahutku menunjuk ke arah Fajar. Fajar bengong mendengar kalimatku begitu juga tua bangka itu.
"Maaf Nyonya Ratu, saya tidak mengerti."
"Keluarkan kopi terbaik dan andalan di cafe ini. Pria yang bersamaku ini akan memberikan penilaian," kataku melirik sinis ke arahnya.
"Nyonya, saya ... " ucap Fajar.
"Diamlah!" perintahku memotong kalimatnya.
Pria tua itu langsung memanggil pelayan datang dan meminta mereka melayani Fajar sebaik mungkin. Celakanya Fajar terlalu baik, dia mengatakan semua kopi yang dihidangkan enak. Dia pun menyunggingkan senyum semringah padanya. Dia lupa, bagaimana pria tua itu tadi mencacinya. Ah, sia-sia. Aku mendengkus, mengering malas.
"Nyonya silakan di coba kopi terbaik kami," pinta pria itu masih berdiri di sisiku.
"Maaf, saya mempunyai riwayat penyakit asam lambung. Tidak bisa minum kopi, bisa ambilkan saya segelas air putih?"
"Tentu saja Nyonya." Bergegas pria itu mengambilkan segelas air putih untukku. Dia datang menenteng segelas air putih dalam nampan.
"Ini, Nyonya." Aku mengambilnya dan menghabiskannya.
"Kamu saya pecat!" kataku setelah meletakkan gelas kosong di meja.
"Apa? Sa--saya di pecat?"
"Ya."
Fajar menatapku dengan wajah tidak mengerti.
"Nyonya tolong maafkan jika saya berbuat kesalahan, saya akan memperbaikinya. Tolong jangan pecat saya. Anak istri saya di rumah butuh nafkah dari saya."
"Apa kamu tadi memaklumi pelayanmu satu ini saat Ia tidak sengaja berbuat salah? Bahkan saat Ia berulang kali minta maaf. Kamu pimpinan di sini, kamu harus memanusiakan pegawai mu jika kau pun ingin di perlakukan demikian. Bagaimana, enak kah merasakan ada di posisinya saat ini? "
Pria itu tertunduk.
"Fajar, saya minta maaf." katanya duduk berlutut di hadapan Fajar. Semua orang yang berkunjung melihat kami dengan tatapan heran. Kupastikan Ia merasakan seperti yang Fajar rasakan. Malu.
"Pak, tidak perlu seperti ini. Saya sudah memaafkan Anda." Fajar turun dari kursi dan ikut berdiri di atas lutut, melakukan hal yang sama seperti pria itu. Ia lalu membimbing bahu pria itu untuk duduk di kursi.
"Nyonya, jangan pecat Bapak ini. Saya yang salah, wajar jika dia marah. Karena dia atasan saya."
"Saya tidak minta kamu bicara," sahutku ketus.
"Nyonya. Saya mohon," Fajar mengatupkan kedua tangan.
Ah! Bagaimana aku bisa tega melihatnya seperti itu.
"Baiklah kali ini kamu saya maafkan."
"Terima kasih Nyonya. Terima kasih banyak." Pria tua ini langsung berdiri dan membungkuk berkali-kali sambil mengucapkan Terima kasih.
Setelah itu aku memintanya pergi.
"Nyonya, ayo kita pulang." ajak Fajar setelah pria itu belalu.
"Sebentar lagi," sahutku singkat.
Aku menunggu wanita yang memiliki gaun mahal itu berdiri. Ya, wanita yang mencaci Fajar dengan gaya sombongnya. Akhirnya dia berdiri juga hendak ke toilet. Aku berdiri, menjunjung tas di tangan dan membawa segelas kopi.
"Nyonya mau ke mana?"
"Diam kamu Fajar!"
Aku berjalan perlahan, kemudian ....
Bruk!
"Ahhh!!" aku pura-pura menabraknya. Dan kopi sengaja aku tumpahkan ke baju dan tas, juga mengenai sepatu.
"Bagaimana sih?" sungutku kesal berpura-pura membersihkan sisa kopi yang menempel di baju.
"Maaf saya buru-buru mau ke toilet," katanya.
"Kamu pikir maaf bisa menyelesaikan masalah? Uang jajanmu seumur hidup tidak akan mampu membayar harga baju, tas dan sepatuku ini," kataku melotot ke arahnya.
"Berani sekali kau? Kau tidak tau siapa ayahku?" katanya membalas tatapan tajam mataku.
Kuletakkan gelas di atas meja dan memperhatikan dia yang terburu mengambil ponselnya masih dengan wajah sombongnya.Terlihat dia mengotak-atik ponsel itu.
Perempuan itu lalu menunjukkan muka dan berita tentang ayahnya di g****e.
"Lihat ini perempuan bodoh! Kau harus tau siapa ayahku!" Desisnya sombong. Layar hape itu tepat berada di wajahku. Bahkan sinarnya membuat mataku sakit.
Ternyata ayahnya termasuk pengusaha tersukses urutan ke 110 di Indonesia. Aku mendengkus tertawa mengejek melihat tingkahnya. Perlahan kurogoh tas untuk mengambil benda pipih itu, menit kemudian sudah mengotak atiknya dan langsung saja menunjukkan mukaku dan semua berita tentangku di sana.
"Lihat ini wanita pintar!" Kutegakkan ponsel di depan wajahnya. Bahkan ponselku menempel di wajah yang terlalu mulus. Manik matanya terlihat bergerak-gerak membaca tulisan dan berita itu.
Di sana tertulis bahwa Nyonya Ratu termasuk pengusaha yang ada di atas ayahnya di Indonesia.
Mulutnya menganga lebar.
"Anda Nyonya Ratu?" Aku mengangkat alis. Menarik tangan dan kembali memasukkan hape ke tas.
"Nyonya, Anda begitu cantik. Bolehkah saya foto dengan anda?" Wajahnya yang tadi tampak merah karena kesal dan marah kini berubah jadi berseri-seri. Ia maju beberapa langkah dan menggandeng lenganku. Diangkatnya ponsel miliknya tinggi-tinggi dengan camera yang sudah siap memoto. Aku mengangkat tangan, memberikan syarat kalau aku menolak.
"Maaf, saya tidak bisa," tolakku melepas pegangan tangannya. Wajah itu menunjukkan raut sedih dan kecewa."Cukup ingat, di atas langit masih ada langit. Jangan sombong!" bisikku saat meninggalkannya pergi. Perempuan itu mematung memperhatikanku berlalu. "Ayo, pulang!" ajakku pada sopir tampan yang sejak tadi menonton apa yang aku lakukan saat melewati meja di mana aku dan dia duduk.
***
"Nyonya, berhenti bersikap demikian." Suara Fajar membuat langkahku terhenti. Kami sudah sampai di mana kami pertama kali bertemu. Di pinggir jalan, di bawah lampu remang-remang.
"Apa?" Aku berbalik badan dan kini menghadap ke arahnya.
"Jangan seperti itu Nyonya. Saya menyesal harus mengatakan ini. Tapi, saya rasa perlu untuk mengingatkan Nyonya. Di sana, Nyonya mengatakan kepada Bapak itu untuk memanusiakan pegawainya. Apakah Nyonya sudah memanusiakan para pelayan Nyonya di rumah?"
Aku tertegun, meresapi setiap kalimat yang keluar dari bibir manis itu. Aku bersikap seperti itu karena membelanya. Kenapa dia malah membela pria itu?
"Saya tidak perlu di bela seperti itu Nyonya. Suatu saat saya akan besar kepala jika Nyonya selalu membela saya. Jika Nyonya ingin membela seseorang, bela karena kebenaran, jangan karena Nyonya suka dengan orang tersebut."
Aku seperti tertampar mendengarnya. Aku memang sering marah-marah kepada pelayan di rumah, tidak jarang aku langsung memecat mereka saat mereka berbuat salah. Aku berdiri di hadapan Fajar, jarak kami cukup dekat. Kutatap matanya lekat, begitu pun dia. Ini pertama kalinya kami saling tatap, cukup lama. Lidahku kelu untuk membela diri. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku meminta maaf telah menolongnya?
Saya tidak perlu dibela seperti itu Nyonya. Suatu saat saya akan besar kepala jika Nyonya selalu membela saya. Jika Nyonya ingin membela seseorang, bela karena kebenaran, jangan karena Nyonya suka dengan orang tersebut."Aku seperti tertampar mendengarnya. Aku memang sering marah-marah kepada pelayan di rumah, tidak jarang aku langsung memecat mereka saat mereka berbuat salah. Aku berdiri di hadapan Fajar, jarak kami cukup dekat. Kutatap matanya lekat, begitu pun dia. Ini pertama kalinya kami saling tatap, cukup lama. Lidahku kelu untuk membela diri. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku meminta maaf telah menolongnya?"Tidak bisakah hanya mengucapkan Terima kasih?" tanyaku dengan mata menyipit."Apa Nyonya pernah merasakan apa yang pelayan rasakan saat Nyonya mencaci mereka? Saat Nyonya memecat mereka, padahal mereka masih sangat membutuhkan pekerjaan itu. Apa Nyonya pernah mencari tahu tentang mereka, bagaimana keadaan keluarga mereka, anak mereka dan lain se
Dret ... drett ... drett ....Suara getaran ponsel di atas meja kerja cukup mengganggu konsentrasi pikiran. Kuhentikan kegiatanku dengan pena dan map lalu beralih mengambilnya. Mataku langsung berbinar saat melihat nama Oma yang tertera di layarnya. Langsung saja kutekan tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Omaaa! Aku rindu!" pekikku sebelum Oma sempat mengatakan apapun."Ish ish ish ish ... kenapa cucu Oma jarang telepon Oma sekarang? Sudah lupakah sama Oma?" tanyanya persis seperti neneknya upin di serial kartun yang berasal dari Malaysia."Emmm, jangan mentang-mentang sekarang tinggal di Malaysia Oma jadi terbawa cara bicara omanya upin ipin, ya!" rajukku yang disambut tawa berderai Oma di seberang sana."Oma masih cinta Indonesia, Sayang. Setelah urusan Oma selesai, Oma ingin langsung pulang, memeluk cucu Oma satu-satunya."
Cepat!" Mataku melotot."Iya .... " sahutnya lemas.Dengan langkah gontai Fajar memasuki rumah untuk membereskan semua barangnya. Aku tersenyum saat sosoknya menjauh dari pandangan. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi ke sana dengan laki-laki yang aku suka. Doaku, semoga perjalanan kami menyenangkan***Untuk menuju pulau Maratua, kami harus menaiki pesawat tujuan Tanjung Redep (Berau) yang sebelumnya transit di Balikpapan, kemudian kami menuju Dermaga Berau untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki speedboat untuk menyebrang.Jarak tempuh dari Dermaga Berau menuju pulau Maratua sekitar 3 jam atau bisa lebih cepat bila ombak tidak tinggi. Kebetulan saat ini ombaknya sedang tidak tinggi, jadi kami sampai di Maratua kurang dari 3 jam.Maratua Paradise Resort memiliki 2 tipe kamar, yakni Beach Chalet dan Water Villa yang masing-masing jumlah kamarnya 12 dan 10. Untuk Beach Chalet, lokasinya ada di pinggiran pantai.
"Satu jam saja," pintaku menatap wajah itu lekat, sementara ia masih diam. "Fajar, please ... " Aku mengiba. Tampak ia menarik napas panjang, kemudian beranjak dan duduk di sisiku. "Makasih, ya," ucapku sembari menyandarkan kepala di bahunya.Entahlah, aku hanya merasa menemukan kedamaianku di bahu ini. Selanjutnya kami menikmati indahnya sinar temaram berdua, tanpa banyak bicara.***Tepat pukul 19.00 malam aku menuju ke pantai. Fajar hanya mengantarku ke tempat rapat, setelah itu ia kembali ke Villa. Sudah 30 menit kami berkumpul di pantai ini. Duduk di kursi seadanya sambil berkenalan antara satu sama lainnya. Ada Distributor dari Sumatera, ada yang dari pulau Jawa, ada juga yang dari Sulawesi dan lain sebagainya."Belum bisa di mulaikah, Pak Sigit?" tanyaku pada salah satu pembicara yang akan mengisi rapat kami nanti."Masih menunggu satu orang, Nyonya.""Oh." Aku mengangguk mengerti.Kusilang kan kaki, kemudian mengam
Aku duduk di tepi ranjang, membayangkan kejadian tadi pagi saat pura-pura pingsan. Mengapa Fajar marah? Apa dia marah hanya karena sebuah ciuman? Aku beranjak dan melangkah membuka pintu kamar, langsung terdengar suara angin dan deburan ombak yang saling bersahutan. Awan cerah berwarna kemerahan, hangatnya temaran senja masih bisa kurasakan, sungguh indah. Aku kembali melangkah menuju keluar, kemudian duduk di kursi kayu. Bersyukur Holand tidak datang ke sini. Ia pasti sedang asik duduk di bar sembari memperhatikan turis-turis yang juga nongkrong di sana. Fajar, apa dia ada di kamarnya? Apa dia masih marah? Aku memberanikan diri datang ke kamar itu, kemudian mematung saat sampai di depan pintu. Tanganku terangkat beberapa kali untuk mengetuk, tapi ragu. Aku berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba pintu itu terbuka. "Apa Anda butuh sesuatu, Nyonya?" tanyanya. Langkahku terhenti, aku menunduk dalam. Menggigit bibir bagian bawah. Ap
Fajar sedikit menoleh kemudian berbalik, mendekat ke arahku. Melihatnya bergerak maju reflek aku melangkah mundur. Tatapannya tajam menghujam jantung, hingga pinggangku menabrak nakas di samping ranjangnya. Fajar tak bergeming ia terus mendekat ke arahku. Matanya terus menatap mataku hingga bola mata kecoklatan itu bergerak-gerak ke kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Jujur saja situasi ini cukup membuatku takut. Kini ia tepat berada di hadapanku.Tatapannya lebih menusuk dari sebelumnya. Kembali bibir tipis itu tertawa kecil, tangannya terulur mengusap lembut pucuk kepalaku. Ia lalu berbisik. "Jika saya menyukai sesuatu saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Bukan merusaknya, Nyonya." Ia semakin mendekat, tangan yang ada di atas kepalaku turun ke bawah, kemudian tubuhnya sedikit menjorok ke depan hingga membuat aroma maskulin tubuhnya tercium sempurna. Aku memejamkan mata. Berpikir, mungkin dia akan merengkuh dan memelukku.
Hening. Andai Mama ada di sini. Mataku berkilauan, dengan wajah yang sudah memanas. Membayangkan sekali lagi, andai saja sekarang Mama duduk di hadapanku, menatapku dengan penuh kasih, memberikan sejuta nasihatnya. Pasti aku tidak akan semenderita ini. Menghadapi setiap masalah pelik sendiri. Kutarik napas panjang, dan kembali menghembuskannya secara kasar. Aku menggelengkan kepala dan meremas rambutku sendiri. Kututup wajah dengan kedua tangan, dan berulang kali menarik napas, berusaha memberi kelonggaran hati yang terasa semakin sempit, sesak, dan terasa perih.... Tarikan napas panjang terahir di barengi air mata yang luruh ke pipi, menyisakan luka dan kerinduan yang kian menjadi. "Mama ..., " lirih kuucapkan kata itu. "Mama," sekali lagi bibirku berucap. Terbayang saat ia memeluk tubuh ini erat, mencium kening ini hangat, celotehnya saat aku pulang larut malam. Pada saat itu aku kesal dan marah, t
Sepulang dari makan malam, kuselonjorkan kaki dan bersandar di kepala ranjang. Mencoba mencermati setiap kalimat yang terucap dari bibir tipis itu. 'Tunggu dulu, bukankah Fajar sempat bilang jika dia menyukai sesuatu, dia akan menjaganya, bukan malah merusaknya?' Aku langsung duduk menegakkan punggung. 'Apa mungkin ... Fajar juga menyukaiku?' Ish! Tentu saja dia akan menjagaku. Bukankah aku bosnya. Kembali kusandarkan punggung di kepala ranjang. Aku menerka-nerka tentang perasaan Fajar terhadapku.Tidak menutup kemungkinan ia pun menyukaiku. Aku tersenyum sendiri saat ingat bagaimana cara ia menuntun jemariku ke mushola itu, menghapus air mataku dengan lembut, dan yang tidak bisa kulupakan saat ia berkata, aku adalah gadis yang baik. Lagi, bibir ini menyungging senyum mengingat semua itu. Aku menutup wajahku sendiri dengan bantal sembari tertawa gemas. Mungkinkah aku jatuh cinta? Yang aku tahu selam