Share

Memulai Penyelidikan Soal Lestari

Saya tidak perlu dibela seperti itu Nyonya. Suatu saat saya akan besar kepala jika Nyonya selalu membela saya. Jika Nyonya ingin membela seseorang, bela karena kebenaran, jangan karena Nyonya suka dengan orang tersebut."

Aku seperti tertampar mendengarnya. Aku memang sering marah-marah kepada pelayan di rumah, tidak jarang aku langsung memecat mereka saat mereka berbuat salah. Aku berdiri di hadapan Fajar, jarak kami cukup dekat. Kutatap matanya lekat, begitu pun dia. Ini pertama kalinya kami saling tatap, cukup lama. Lidahku kelu untuk membela diri. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku meminta maaf telah menolongnya?

"Tidak bisakah hanya mengucapkan Terima kasih?" tanyaku dengan mata menyipit.

"Apa Nyonya pernah merasakan apa yang pelayan rasakan saat Nyonya mencaci mereka? Saat Nyonya memecat mereka, padahal mereka masih sangat membutuhkan pekerjaan itu. Apa Nyonya pernah mencari tahu tentang mereka, bagaimana keadaan keluarga mereka, anak mereka dan lain sebagainya, sebagai bentuk keperdulian Bos kepada bawahannya?"

"Apa itu penting?"

"Mungkin bagi Nyonya, tidak. Tapi, bagi mereka sedikit saja kebaikan Nyonya sangat berharga. Nyonya terlalu angkuh dengan apa yang Nyonya punya. Jika Nyonya mau berkaca, lihat perempuan di cafe tadi. Kalian tidak berbeda jauh," ucap Fajar dengan seribu ketenangannya. Dia berjalan melewati tubuhku dan duduk di kursi besi itu.

Tuhan, mungkinkah aku sejahat itu? Saat ini seperti ada cermin besar di hadapanku yang mengingatkanku akan semua dosa yang pernah kuperbuat. Ada pepatah yang mengatakan gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di ujung lautan tampak. Itu seperti aku yang betapa mudahnya melihat kesalahan orang lain, tapi tidak bisa melihat kesalahanku sendiri.

Apa aku sama jahatnya dengan perempuan tadi? Kutelan ludah yang terasa pahit, mataku terasa panas, wajahku tertunduk. Kupejamkan mata meredam rasa yang kini menghimpit, membuat dada sesak. Aku berbalik dan dengan langkah gontai menyusul Fajar, dengan sangat hati-hati aku duduk di sampingnya.

"Terima kasih, Nyonya."

Katanya tanpa menoleh ke arahku. Apa dia begitu marah? Aku menoleh, sedikit mendongak melihat wajah manis itu. Kemudian kembali menatap jalanan saat aku yakin dia memang benar-benar kecewa denganku.

"Kau tau, sejak kecil orang tuaku sudah melatihku bekerja. Aku tidak bisa melakukan apapun dan bercita-cita seperti apa yang aku inginkan." Wajahku tertunduk dalam. Mengingat masa-masa menjengkelkan itu.

"Aku tidak boleh menjadi dokter, aku tidak boleh menjadi pelukis, aku tidak boleh menjadi guru. Semua yang aku inginkan di tentang oleh orang tuaku. Aku hanya perlu fokus belajar meneruskan perusahaan. Aku tidak memiliki teman, semua orang menatapku dengan segan, mereka berpikir aku begitu beruntung memiliki semuanya. Mereka tidak pernah tau, aku .... bertemankan sepi." Aku menarik napas panjang, berusaha memberi kelonggaran pada dada yang semakin terhimpit. Aku melanjutkan kalimatku meskipun tenggorokan ini mulai terasa sakit dan suara semakin serak.

"Aku bahkan tidak memiliki teman bicara, hanya untuk sekedar berbagi beban dan tawa." Serpihan kaca menutupi mata.

Fajar menoleh ke arahku, ekor matanya seolah mencari sesuatu.

"Hufff, aku begitu menyedihkan," Aku mendengkus, tertawa.

Setetes air mata turun ke pipi. Aku menggigit bibirku sendiri menahan perih yang semakin menjadi, seketika kesedihan menguar di hati. Aku memalingkan wajah supaya Fajar tidak melihat air mata ini.

"Nyonya." Fajar menyodorkan sapu tangan berwarna putih.

"Aku tidak suka di kasihani," ucapku menolak sapu tangan itu. Fajar menggeser tubuhnya lebih mendekat ke arahku.

"Jika Nyonya tidak membutuhkan sapu tangan. Mungkin, Nyonya membutuhkan bahu ini. Menangislah, Nyonya," katanya menarik kepalaku pelan tapi pasti supaya bersandar di bahunya. Aku terkesima dengan sikapnya.

"Terima kasih, Fajar," ucapku setelah terdiam cukup lama.

Dia tidak menjawab, tangannya mengayun ke belakang melewati atas kepalaku, kemudian tanpa kusangka tangan itu menepuk-nepuk bahu.

"Nyonya, menangislah. Saat ini aku adalah temanmu."

Air mataku langsung luruh mendengar kalimat itu. Ini pertama kalinya seseorang rela meminjamkan bahunya untukku. Aku terisak, aku selalu menahan air mata supaya tidak tumpah, aku selalu berpikir aku wanita yang kuat, tapi kenyataannya di depan seorang sopir pribadi aku bisa menjadi selemah ini.  

Kendaraan berlalu lalang di hadapan kami, Fajar hanya diam, mungkin dia memberi kesempatan untukku menangis. Tangannya masih menepuk pundak ini perlahan.

"Boleh aku bertanya satu hal padamu?" tanyaku saat tangisku mereda.

"Hanya satu pertanyaan, jika lebih aku tidak akan menjawab."

"Apa kau pernah menyukai seseorang."

Fajar tersenyum, matanya menerawang jauh seperti mengingat sesuatu.

"Aku pernah sangat menyukai seseorang, wanita desa yang sederhana, rambutnya selalu di kepang dua. Dia gadis yang ceria, lembut dan berhati mulia. Aku sangat suka saat mengantarkannya pergi ke pasar, wajahnya berkeringat saat membawa belanjaan. Bersikap ramah kepada semua orang." Fajar menunduk dalam, matanya terpejam.

"Namanya, Kamila."

Aku tertegun mendengar namanya, aku pikir nama Lestari, istrinya yang akan di sebut. Ternyata bukan.

"Kamila?" tanyaku mengangkat kepala yang sejak tadi bersandar di bahunya.

"Ya, Almarhumah Kamila. Dia sudah meninggal, Nyonya." Sangat tergambar jelas di wajahnya kalau Fajar sangat kehilangan.

Aku kembali menyandarkan kepalaku di bahu pria ini. Ingin sekali kembali bertanya, soal Lestari. Tapi, aku tidak boleh bertanya lebih dari satu pertanyaan.

Setelah itu hening. Aku dengan perasaanku dan Fajar dengan perasaannya sendiri.

***

"Bik Darmi, tolong panggil semua orang ke sini," perintahku pada Bik Darmi pagi itu di meja makan.

Dengan segera Bik Darmi menekan tombol darurat dan semua orang berlarian mendekat. Wajah mereka terlihat tegang, hanya Fajar yang wajahnya biasa saja.

"Semuanya, silakan duduk di sini," ajakku meminta semua pelayan duduk di kursi meja makan. Tidak ada satu pun yang berani memulai lebih dulu.

"Ayo, semuanya duduk di sini," kataku sekali lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi. Grusak-grusuk semua orang mencari tempatnya masing-masing. Mereka duduk dengan wajah tertunduk, takut.

"Ayo, semuanya kita sarapan sama-sama." Aku tersenyum mengajak mereka makan bersama.

Mereka saling pandang satu sama lain. Seumur hidup baru kali ini aku meminta mereka duduk dan makan di meja yang sama denganku. Terlihat ada yang saling sikut. Awalnya kaku, karena ini tidak biasa.

Aku bertanya pada mereka satu persatu. Tentang keluarga mereka, tentang keseharian mereka, dan tentang yang lainnya. Meski mereka menjawab seperlunya dan dengan wajah pucat, takut salah bicara mungkin. Tapi, aku sudah cukup senang. Mungkin di kemudian hari, hubunganku dan pelayan di rumah ini bisa lebih baik.

Aku mengalihkan pandanganku, saat tanpa sengaja melihat ke arah Fajar, Ia pun sedang menatapku. Kepalanya mengangguk di sertai kedipan mata perlahan, seolah menegaskan kalau apa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Ada segaris senyum tulus di wajah manis itu.

Ahhh, senyum itu ....

***

"Desi bisakah kau melakukan sesuatu untukku? Ini diluar tugasmu," tanyaku siang itu di salah satu restoran ternama di dekat gedung kantor saat kami sedang makan siang.

"Apa Nyonya? Jika saya bisa akan saya lakukan."

"Cari tau semua tentang Fajar, tentang anak, istri dan ibunya. Aku mendengar ibunya terkena penyakit stroke, bantu biaya pengobatannya. Katakan kalau dananya berasal dari yayasan peduli kasih, di mana dana di dapat dari sumbangan yang di muat di surat kabar. Jangan sampai ada yang tau kalau kita yang menolongnya. Pastikan ibu itu mendapatkan pelayanan yang terbaik dan rumah sakit terbaik."

"Baik, Nyonya."

"Satu lagi. Aku ingin tau, semua tentang wanita yang bernama Lestari. Kesehariannya, fotonya. Pokoknya semua kegiatannya di desa selama satu bulan ini. Sewa detektif terbaik."

"Baik, Nyonya."

"Jangan sampai Fajar tau hal ini," sambungku berbisik ke telinganya karena Fajar baru saja kembali dari shalat. Ia datang dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu. Desi mengangguk mengerti.

"Baiklah, kita makan dulu. Setelah itu kembali ke kantor," kataku setelah Fajar duduk bersama kami.

Aku hanya ingin tau, apakah Lestari akan memberi tahu Fajar kalau ibunya mendapatkan bantuan. Dengan begini, Fajar tidak perlu bekerja terlalu keras untuk membeli obat ibunya. 

Jika Lestari tidak memberi tahu Fajar kalau ibunya mendapat bantuan, bisa disimpulkan Fajar hanya di manfaatkan oleh perempuan itu. Rasanya tidak sabar ingin mengetahui semua kebenarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status