Pagi hari, Nadia di panggil oleh pelayan untuk sarapan bersama.
Nadia pun segera mengikuti langkah sang pelayan yang membawanya ke ruang makan yang begitu megah dengan meja yang panjang dan kursi-kursi yang begitu berjajar. Padahal penghuni rumah ini hanyalah sedikit.
Atau mungkin di rumah ini para pelayan pun ikut makan bersama ?? Nadia tak mau repot-repot memikirkannya."Selamat pagi, tuan." ucap Nadia sambil menundukkan badannya begitu berada di dekat tuan Alex.
"Ah, Nadia. Ayo duduk, kita sarapan bersama." ucap sang tuan besar pada Nadia dengan ramah, tak seperti semalam.
Nadia tersenyum canggung, dia bingung memilih kursi yang akan di dudukinya dan malah terus berdiri menatap kursi-kursi yang berjejer.
Tuan Alex mengernyit menatap Nadia yang tak juga duduk.
"Kenapa, nak ? Ayo duduklah." ucapnya lagi.
"Emm... Maaf tuan, kursi yang kosong yang mana yah ? Saya takut menempati kursi milik orang lain." ucap Nadia dengan polosnya.
Tuan Alex tersenyum, begitu juga dengan para pelayan yang berada di dekat mereka.
"Ini semua kosong, Nadia. Disini saya hanya berdu bersama cucu saya, Arian. Tapi sekarang dia sedang di luar kota." ucap tuan Alex membuat Nadia tersenyum kikuk.
Dia pun perlahan mendudukkan pantatnya di kursi sebelah kiri tuan Alex. Selesai sarapan, tuan Alex mengajak Nadia untuk mengobrol santai di ruang keluarga. Tuan Alex begitu memperhatikannya, dia bahkan bercerita banyak hal sambil sesekali tertawa, suasana yang diciptakanny itu membuat Nadia mulai merasa santai dan tak secanggung sebelumnya.
Dia pun mulai menikmati suasana dan ikut tertawa riang dengan tuan besarnya, dan dengan sendirinya keduanya pun jadi semakin dekat layaknya seorang kakek dan cucu.
Cukup lama mereka bersama, hingga tuan Alex pun mulai mengarah pada pembicaraan yang sedikit serius.
"Nadia, apa kau tau kalau mendiang ayahmu itu bukan hanya sebagai asisten pribadiku saja, tapi dia juga adalah teman, atau bahkan sahabat untukku. Segala tentangku dia tau, dan dia selalu menjaganya dengan rapat.
Dia selalu bisa di andalkan." ucap sang tuan dengan senyuman bangga terlukis di bibirnya, tatapannya menerawang jauh ke saat-saat dimana mereka masih bersama.
Nadia menunduk, dia masih begitu tak percaya bahwa ayahnya telah meninggalkannya sendirian di dunia ini, rasa sesak kembali menyerang ulu hatinya.
"Nadia, ayahmu dan kakek selalu bertukar cerita tentang keluarga masing-masing, bahkan dia pernah berkata kalau kakek harus menikahkan cucu kakek dengan putrinya." ucap tuan Alex sambil masih tertawa kecil.
Nadia sedikit tersentak mendengar adanya kenyataan yang tidak pernah dia duga, bahkan ayahnya pun tak pernah membicarakan hal itu, atau mungkin ayahnya dulu memang hanya bercanda.
'Ya, ayah pasti hanya bercanda.' gumam Nadia dalam hati.
"Kau tau, dulu kakek tak begitu menggubris ucapannya, karena saat Arian berumur 15 tahun pun kau belum lahir. Tapi... Sekarang kakek sedikit kefikiran, pasalnya sampai sekarang Arian belum juga menikah di umurnya yang sudah menginjak 35 tahun. Dia begitu gila bekerja, dia selalu fokus pada masalah bisnis dan perkejaan saja, dia tidak pernah mau membicarakan tentang pernikahan." cerita tuan Alex membuat Nadia terhanyut dengan fikirannya sendiri.
'Bagaimana mungkin itu terjadi ? Dia begitu kaya dan pasti tampan, pasti begitu banyak wanita yang mengejar-ngejarnya.' Batin Nadia menilai semua itu tak masuk di akal.
"Kenapa tidak coba di jodohkan saja, tuan ? Pastinya banyak wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya ?"
Tuan Alex menatap Nadia sejenak, lalu kemudian dia bangkit dan berdiri.
"Bukan tidak pernah, sudah beberapa kali kakek bahkan orangtuanya mencoba untuk menjodohkannya, tapi responnya selalu buruk. Kami pun tak berani memaksanya karena tidak akan baik untuk kedepannya, Arian selalu membuat wanita manapun kesal dan marah karena sikapnya yang begitu pendiam dan dingin."
Tuan Alex diam sejenak, dia pun kembali duduk dan menyeruput jus buah naga di sampingnya.
"Nadia, mungkin secara tak sengaja candaan ayahmu waktu itu menjadi sebuah do'a untuk kalian. Kakek begitu cemas dengan masa depannya, dan masa depan perusahaan keluarga ini jika Arian tak juga menikah dan memiliki keturunan. Bagaimana nasib bisnis yang sudah kakek rintis dengan susah payah ? Nadia ... Apa kamu bersedia menikah dengan Arian ? Cucu kakek satu-satunya ?"
Degg
Bagaikan tersambar petir, tubuh Nadia menegang seketika. Jantungnya terasa berhenti berdetak mendengarkan ucapan tuan Alex barusan.
Dia terpaku, tak sanggup menjawab apa-apa pada sang tuan besar yang kini sedang menatapnya serius.
"Bagaimana Nadia ? Apa kau bersedia ?" tanya tuan Alex membuat Nadia semakin terdesak.
"Emmm... Tuan, tapi.. Saya tidak pantas, tuan." ucap Nadia sambil menunduk.
Entah mimpi apa dia semalam sehingga di pagi hari dia sudah di hadapkan dengan situasi yang sama sekali di luar dugaannya.
"Tidak pantas dalam segi apa ? Harta ? Derajat ? Bukan semua itu yang kakek inginkan dari calon istri Arian, cukup wanita yang baik dan sabar. Mengingat sifatnya yang begitu susah untuk berkomunikasi, hanya kamu yang kakek harapkan bisa bersabar mendampingi Arian. Kakek yakin, lama kelamaan dia akan berubah, dia akan menjadi pria normal seperti yang lain. Tolong bantu kakek, nak."
Nadia semakin bingung dan salah tingkah, dia sungguh tak tega melihat wajah tuan Alex yang biasanya terlihat begitu tegas, kini berubah menjadi memelas dan penuh permohonan.
"T-tuan, jangan seperti ini... Sayaa...
Saya takut kalau tuan Arian tak bersedia menikah dengan saya tuan." ucap Nadia
"Dia pasti bersedia, apapun pilihan kakek, dia selalu menerimanya tanpa protes. Begitu juga dengan kamu, kakek tau Arian seperti apa, dia tidak akan mengecewakan kakek. Sekarang tinggal menunggu keputusan darimu, nak. " ucap tuan Alex dengan serius.
Nadia ketar ketir, semuanya terjadi terlalu tiba-tiba baginya. Bahkan dia pun belum pernah bertemu dengan laki-laki yang bernama Arian itu.
Tlak tlak tlak
Suara langkah sepatu membuat Nadia dan tuan Alex menoleh bersamaan ke arah pintu, tampaklah seorang pria dengan perawakan gagah dan tinggi atletis kini sudah berada tepat di dekat mereka berdua. Entah sejak kapan pria itu berada di belakang Nadia dan kakeknya.
Seorang pria dewasa dengan wajah putih bersih, dengan rambut-rambut halus menghiasi bagian rahangnya. Sorot matanya begitu tajam menatap Nadia.
Nadia memundurkan kakinya, dia menundukkan kepalanya tak sanggup beradu tatap dengan sepasang mata yang terus menyorotnya.
"Menikahlah denganku ... " ucap Arian pada Nadia begitu saja.
Nadia terkesiap, dia begitu bingung harus berbuat apa saat di hadapkan dengan situasi yang tidak pernah dia fikirkan sebelumnya. Jantungnya terus berdebar-debar dengan kencang hingga membuat Nadia merasa sesak nafas. Sungguh, kakek dan cucu ini benar-benar membuat Nadia serasa mati berdiri.
Perlahan, Nadia memberanikan diri untuk mengamati wajah teduh Arian yang menatapnya dengan datar tanpa kesan ketertarikan di matanya.
Nadia masih ingat dengan ucapan tuan Alex tadi, kalau laki-laki di hadapannya sekarang ini adalah laki-laki yang sangat dingin tak tersentuh dan tak mempunyai keinginan untuk suatu pernikahan.
Namun, lagi-lagi dia mengingat ucapan tuan Alex tentang ayahnya yang membuat hatinya kian gundah dan gelisah.
'Apakah memang ini jalan hidupku ?
Apakah aku memang harus menjalani pernikahan ini ? Pernikahan yang hanya demi memenuhi keinginan tuan Alex dan memenuhi janji abdiku padanya ?' Batin Nadia bertanya-tanya.Beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka kini sudah sangat baik, tak ada lagi gangguan yang berarti. Bahkan, entah kenapa Silvi dan Leni pun tak pernah lagi dengan sengaja menunjukkan dirinya. Hanya pernah sesekali tak sengaja berpapasan, dan mereka bersikap seolah tak saling mengenal. Hanya, Nadia masih dapat melihat ketidak sukaan merrka dalam tatapannya. Kehamilan Nadia sudah memasuki usia ke 5 bulan, membuat perutnya kian membuncit. Dia juga kini di larang untuk ikut andil di toko, hanya sekedar keluar dan menyaksikan kesibukan karyawan-karyawannya yang sudsh bertambah. Resti yang bertanggung jawab mengurus segalanya. Ponsel Nadia berdering, wanita itu pun dengan cepat merogoh tasnya dan menempelkan ponsel itu di telinganya. "Ya, mas ?""Kamu masih di toko ?""Iya, mas. Kenapa memangnya ?""Cepat pulang, ya ? Kakek mengajak kita berkumpul di rumah. Ini mas juga sedang di jalan, mau pulang." "Oh, baiklah."Sambungan terputus. Nadia langsung mencari Tris untuk mengajaknya kembal
Semua bapak-bapak di belakang Arian hendak melayangkan ledekannya lagi. Namun, pak penghulu dengan segera mengangkat sebelah tangannya, membuat mereka urung mendebat pembelaan Arian. "Jadi, tuan ini menghamili nona ini ?" Tanya penghulu menunjuk Arian dan Silvi bergantian. "Tidak !""Iya, pak !" Jawab Silvi dan Arian bersamaan. Arian menatap Silvi dengan bengis. Sungguh, dia sangat muak dengan wanita itu. "Pak, saya sama sekali tidak melakukannya. Demi allah ! Saya sudah punya istri, dan saya mencintai istri saya."Sambil menunduk, Silvi menyembunyikan bibirnya yang mencebik mendengar ucapan Arian."Haha, zaman sekarang mah udah punya istri, kek. Udah punya suami, kek. Kalau otaknya konslet tetep aja nyari mangsa lagi. Ya gak ?" Tanya salah seorang bapak-bapak itu yang di sambut dengan tawa dari yang lainnya. Arian berdiri, dia sudah cukup sabar menghadapi sikap so tau mereka."Itu menurut orang yang otaknya konslet. Tapi, saya tidak seperti itu. Saya masih normal, otak saya mas
"Ini, inilah yang saya tadi ingin bicarakan sama kamu. Juli, dia tadi pagi masuk rumah sakit mendadak karena di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Tapi keadaannya sudah stabil tadi, makanya saya pergi bekerja. Tapi tadi, suster menelpon mengabari kondiri Juli yang kritis." "Ap-apa ?? Juli ?" Felix menjadi gugup. Raut kecemasan terlihat dengan jelas di wajahnya. "Saya ke rumah sakit dulu, permisi pak Arian, pak Felix." "Tunggu, pak ! Saya ikut !" Ucap Felix "Baiklah, ikuti saja mobil saya." Ucap Samsudin sambil sedikit berlari menuju keluar restoran.Felix dengan terburu-buru merogoh dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang pada Arian. "Pak Arian, saya mohon maaf sekali karena harus meninggalkan anda. Ini, saya yang bayar." "Tidak usah, pak Felix. Saya mengerti kok.""Tidak papa, anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena tak jadi menemani anda makan siang, padahal saya yang ngajak tadi. Sudah ya, syaa tifak punya banyak waktu. Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Loh, itukan si Nadia ?" Gumam wanita tersebut dalam hati. "Sayang, kamu kenapa ?" Tanya Dev, pria tampan yang bersama dengan Silvi. Dari penampilannya, Dev seperti pria kaya lainnya, keren, rapi, dan juga terawat, lagipula, jika saja Dev bukan pria ber-uang, mana mungkin Silvi akan mau berhubungan dengannya. "Eh, eem... Aku mau ke toilet dulu deh sayang. Sebentar, ya ? Kamu tunggu saja di mobil.""Baiklah, jangan lama." Silvi tersenyum, Dev pun berjalan menuju parkiran meninggalkan Silvi. Silvi ternyata juga berkencan dengan Dev di resort itu. Setelah hatinya hancur kemarin karena Arian yang ternyata suami Nadia, Silvi langsung pergi mencari kesenangan ke club langganannya, dan disanalah dia bertemu dengan Dev. Perlahan Silvi mengendap-endap untuk melihat pasangan tersebut semakin dekat. "Oh shit ! Iya itu mereka ! Jadi mereka emang suami istri ?" Silvi mengumpat sambil menatap tak suka ke arah mereka.Pasangan yang serasi, mereka terlihat begitu bahagia satu sama lain. Aura k
Arian sudah keluar dari kamar mandi, kini giliran Nadia yang harus membersihkan tubuhnya dari air hujan yang sempat mengguyurnya beberapa saat lalu. Arian duduk di sofa, dia memesan beberapa cemilan dan juga minuman hangat pada petugas resort. Sambil menunggu pesanan tiba, Arian membuka ponselnya dan mendapatkan beberapa pesan. Hampir semuanya tentang pekerjaan, Arian sudah meminta sekretarisnya untuk menghendel pekerjaan selama dia berada disini. Gerakan jempolnya terhenti saat mendapati panggilan tak terjawab dari kakeknya. Aahh... Arian sampai lupa tidak memberitahukan pada kakeknya kemana mereka pergi. Arian menekan tombol panggil, dan tak menunggu lama akhirnya panggilan tersambung. "Halo ?" "Halo, kek.""Jadi, kemana kamu membawa cucu menantuku ?" Tanya Alex to the poin. Arian mendesah pelan, tadi dia hanya menitipkan pesan pada Tris, untuk memberitahukan pada kakeknya bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat bersama Nadia. Namun, dia tidak mengatakan tujuannya dan kapan
Di restoran yang masih termasuk di area resort, Arian dan Nadia sedang makan bersama di salah satu meja. Ada beberapa meja lain yang sama-sama terisi oleh pengunjung lain, namun tak mengurangi kenikmatan hidangan tersebut. Setelah Arian selesai membersihkan dirinya, keduanya langsung pergi keluar untuk makan siang yang sudah kesorean. Nadia maupun Arian menyantap makanannya dengan lahap tanpa ada perbincangan saking sudah laparnya, hingga tak butuh waktu lama untuk mereka berdua menghabiskan semua menu yang tersaji di meja. "Ayo !" Ucap Arian setelah selesai mengelap bibirnya menggunakan tissue. "Mau kemana lagi, mas ?" Tanya Nadia setelah meneguk habis minumannya. "Kemana saja, jalan-jalan." Ucapnya yang segera berdiri dan menarik tangan Nadia. Nadia pun menurut dan hanya mengikuti langkah sang suami saja. Dia benar-benar tida menyangka, kalau ternyata Arian Trisatya, seorang pria yang terkenal dingin dan acuh itu memiliki sisi yang berbeda. Nadia melihat suaminya kini seperti pr