Share

Bab 17

Paula menatap Yuni tanpa merasa takut sedikit pun. Yuni tentu naik pitam. Dia menunjuk Paula sambil memaki, "Berengsek, apa maksudmu? Kalau aku nggak melahirkanmu, mana mungkin kamu bisa menjadi nona besar selama 20 tahun ini? Aku hanya memintamu membeli vila untuk adikmu, kamu langsung nggak mau mengakui kami? Benar-benar nggak punya hati nurani."

Paula merasa makin putus asa melihat Yuni yang seperti ini. Dia mengeluarkan 4 juta yang tersisa di dompetnya, lalu meletakkannya di atas meja sambil berkata, "Terserah mau memakiku seperti apa. Yang jelas, aku hanya punya uang ini. Ambil saja, kelak jangan cari aku lagi."

"Kamu ingin mengusir kami dengan uang 4 juta? Kamu kira kami ini pengemis?" hardik Yuni dengan galak.

"Ibu, untuk apa berbasa-basi dengannya? Pukul saja jalang ini kalau berani membantahmu!" teriak Avan sambil bangkit dan menyerbu ke arah Paula.

Paula tentu ketakutan melihatnya. Dia sedang mengandung, jangan sampai membahayakan janinnya sendiri. Itu sebabnya, Paula langsung mengeluarkan semprotan merica dan menyemprotkannya ke wajah Avan.

Benda ini disiapkan Paula untuk berjaga-jaga saat bekerja di bar waktu itu. Tanpa disangka, benda ini benar-benar terpakai sekarang.

"Ah! Sakit sekali! Ibu, aku sudah buta! Jalang ini membuatku buta!" seru Avan sambil menutup mata dengan kesakitan.

Sementara itu, Paula memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dan tidak lupa memblokir nomor ponsel Yuni. Keluarga seperti ini lebih baik dijauhi!

....

Yuni sekeluarga pun merasa murka dengan kejadian ini. Kemudian, mereka dihubungi pihak hotel untuk check-out.

Yuni menghubungi sebuah nomor. Orang di ujung telepon menggunakan mesin pengubah suara, jadi tidak diketahui identitasnya.

"Gimana? Paula sudah percaya kalian orang tua kandungnya?" tanya orang itu.

Yuni langsung menjawab dengan jengkel, "Hasil tes DNA itu nggak berguna. Aku sudah bilang aku ibu kandungnya, tapi dia nggak mau membelikan putraku rumah. Aku menghabiskan banyak uang untuk datang ke ibu kota. Kamu nggak boleh meminta balik uang 200 juta itu, ya!"

Orang itu membalas dengan geram, "Sudah kubilang, kalian harus membuatnya keluar dari ibu kota. Gimana saja kalian ini?"

"Aku juga ingin memerasnya, tapi dia nggak punya hati nurani. Dia bukan hanya melukai putraku, tapi juga memblokir nomorku!" keluh Yuni.

Orang itu membentak, "Kalian ini nggak punya otak, ya? Kalian belum familier, tapi sudah meminta rumah darinya? Justru aneh kalau dia nggak memblokirmu!"

"Ja ... jadi, gimana sekarang?" tanya Yuni.

"Pikirkan cara sendiri. Kalau sampai Paula hidup bahagia, akan kubuat kalian menderita! Mengerti?" ancam orang itu.

"Ya, ya." Yuni tersenyum sambil meneruskan, "Tapi, kami butuh uang untuk hidup di ibu kota. Uang yang kamu kasih sudah hampir habis. Kalau putraku kuliah di sini, uangnya nggak bakal cukup."

"Aku akan mentransfer 1 miliar. Kalau gagal lagi, kalian mati saja!" ujar orang itu.

Kamil melihat notifikasi dari bank, lalu memberi isyarat mata kepada Yuni. Kemudian, Yuni berucap, "Ya, ya, tunggu saja kabar baik dari kami."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status