:-0
Ralin baru saja selesai memoles make up. Kemudian pintu apartemennya berbunyi. "Perasaan nggak ada yang bilang mau bertamu. Siapa ya?"Tanpa curiga, Ralin membuka pintu apartemennya dan ..."David? Kok --- "Belum sempat Ralin berucap, David menerobos masuk dengan mendorong tubuh Ralin dan memojokkannya di dinding. Satu tangannya bergerak menutup pintu hingga berdebam dengan keras. Ralin terjingkat. Namun detik kemudian ia menyadari ada yang tidak beres dengan David.Tatapan mata lelaki yang bergelar kekasihnya itu sangat tajam. Mengandung emosi, amarah, dan menuntut penjelasan. Untuk pertama kalinya, David menatap Ralin setajam ini setelah mereka bersama. Tatapan yang biasanya lembut itu telah menghilang. Berganti tatapan serius nan tajam yang biasa ditujukan untuk rivalnya. Merasa nyeri karena cengkeraman di kedua pundaknya, Ralin pun membuka suara sambil berusaha menyingkirkannya. "Vid, apa-apaan sih kamu?! Sakit, Vid!""Sekarang aku tanya dan kamu harus jawab yang jujur!"Ral
Malam itu ponsel Lewis berdering dari nomer baru yang memperkenalkan diri sebagai asisten pribadi Luis. Sebenarnya dia tidak ingin mengangkatnya, terlebih baru saja berseteru dengan Ralin. Dia ingin meminta maaf dan merayu Ralin agar kembali ke rumah ini.Lewis akui jika dia tidak bisa menjaga dan merawat Levi. Dia membutuhkan Ralin."Mau apa?!" Tanya Lewis ketus. "Pak Luis ingin berbicara, Pak. Apa anda bersedia?""Mau apa dia?!"Luis segera mengambil ponsel asistennya dan menempelkannya di telinga. "Dek, kamu benar-benar bego!"Kedua alis Lewis berkerut mendengar hinaan Lewis, "Nggak usah menghina!""Gimana aku nggak pengen menghina kamu kalau aku baru tahu ternyata Ralin itu pacaran sama David?! Dan lebih parahnya kamu ngasih izin! Dimana otakmu, Dek?!"Lewis terdiam namun hatinya menyesal pernah membiarkan Ralin berkencan dengan David. "Kamu benar-benar gila! Ayah Bunda udah jelas-jelas nggak mau nerima Zaylin kembali ke keluarga kita tapi kamu malah bego pakai acara nikahin di
Di dalam mobil, David duduk di samping Luis dengan perasaan tidak enak. Andai Zaylin bukanlah mantan istri Lewis, mungkin dia akan menampar wanita itu karena berani membuka rahasia hubungannya dengan Ralin. "Apa yang Zaylin katakan itu benar, Vid?" Tanya Luis tanpa basa basi. Kemudian David menatap Luis dan bertanya, "Apa yang anda maksud adalah hubungan saya dengan Ralin?""Ya. Aku udah tahu kalau Ralin sama Dek Lewis menikah cuma sekedar perjanjian. Tapi aku lebih nggak nyangka kalau Ralin ternyata punya hubungan sama kamu."David hanya diam sambil menatap Luis. Menunggu kembaran tuannya selesai berucap. "Apa aku boleh tahu soal hubungan kalian lebih jauh?"Lagi, David hanya diam sambil menatap Luis. Karena menurutnya, hubungannya dengan Ralin ada sesuatu yang sangat privasi. Dia tidak ingin banyak yang tahu. Hanya ingin Ralin segera bercerai dari Lewis dan ia yang akan melindunginya. "Maaf, Pak. Saya tidak mau membagi privasi saya pada siapapun."Luis mengangguk, "Apa kamu tahu
Suara Levi terdengar dari kamar lantai dua. Kemudian Lewis membuka kunci pintunya dari luar dan membukanya tidak sabaran. Hatinya teriris ketika melihat putranya menangis sampai sesenggukan dan berada di dalam kamar seorang diri.Naluri Lewis sebagai seorang Ayah membuatnya langsung menggendong Levi dan berusaha menenangkan. Semampu yang ia biasa sambil mendekap erat Levi dalam gendongan. "Ayah disini, Lev. Jangan nangis lagi."Melihat keponakannya sesenggukan seperti itu, Luis pun murka."Zaylin nggak waras! Dia ngurung Levi di kamar!" Sedang Lewis hanya bisa terdiam dan merenungi kesalahannya karena kembali memperistri Zaylin. Dia merasa bersalah pada Levi karena lebih mengutamakan ego dan nafsunya tanpa mau mendengarkan kedua orang tuanya. Dan dia harus membayar mahal nafsunya dengan tangis Levi dan bebeapa hari ini terpisah darinya.Levi masih menangis namun sedikit lebih tenang karena Lewis telah datang. Setidaknya ia merasa nyaman karena bertemu dengan seseorang yang mungkin
Ralin tidak menduga jika Luis Hartadi, kembaran Lewis, mengunjunginya ke apartemen. Dia membeku dan menatap Luis tidak percaya. Pasalnya, bagaimana bisa Luis menemukan dirinya tinggal di apartemen ini?Lalu pandangannya beralih ke lelaki yang berada di sebelah Luis. Berdiri dengan sangat sopan. Ia pun menyimpulkan jika Luis datang dengan asistennya dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh lelaki berharta sepertinya. Apalagi hanya sekedar mencari tahu keberadaan Ralin. "Silahkan masuk, Den Mas Luis."Luis hanya memperhatikan sekilas apartemen sederhana ini dengan asistennya. "Silahkan duduk. Maaf, tempatnya kecil. Mau minum apa?"Kepala Luis menggeleng lalu duduk di kursi single. Sedang asistennya memilih berdiri di belakang tuannya. "Nggak usah repot-repot, Lin. Kamu duduk juga."Ralin sedikit gugup lalu mengambil duduk di seberang Luis. "Maaf aku datang nggak ada pemberitahuan dulu."Kepala Ralin mengangguk tanpa menatap Luis. "Kedatanganku kemari karena mau tanya tentang pernikah
“Bisakah Den Ayu datang ke rumah?”Deg!Hati Ralin tidak enak mendengar permintaan Bu Tatik.“Ada apa, Bu Tatik?”“Maaf kalau ini terkesan kurang ajar. Tapi, saya tidak tahu harus meminta tolong pada siapa. Tadi, Den Mas mengusir Den Ayu Zaylin dari rumah. Mereka sepertinya kembali berpisah. Den Mas mabuk berat dan Den Ayu Zaylin membawa pergi Den Levi.”Ralin terkejut mendengar penuturan Bu Tatik.Jika Zaylin sampai membawa Levi pergi berarti perpisahan mereka kali ini tidak main-main. Persis seperti yang David katakan.Kemudian Ralin menoleh ke arah David yang menatapnya intens.Lalu Bu Tatik kembali bersuara tapi terdengar bergetar.“Saya … kepikiran Den Levi, Den Ayu. Den Mas sangat menyayangi Den Levi. Andai tadi beliau tidak mabuk, mungkin bisa mencegah Den Ayu Zaylin membawa pergi Den Levi.”“Tolong anda pulang, Den Ayu. Saya tidak tahu kesalahan apa yang sudah Den Mas lakukan pada Den Ayu. Tapi ini jelas adalah balasan yang Den Mas terima karena menyakiti Den Ayu Ralin.”“Saya
Ralin tersenyum ketika David dengan sabar menunggunya selesai bekerja. Kemudian mengajaknya pergi ke salah satu kafe favorit David. Tangannya digenggam David dengan begitu hangat lalu lelaki itu memilih duduk di sisi Ralin. Matanya menatap Ralin lama tanpa berbicara. Seperti mengagumi Ralin dan menyimpan banyak kenangan di dalam memori otaknya. "Vid? Kamu kok aneh sih?" ucap Ralin. Dia merasa aneh dengan kelakuan David malam ini. "Aku takut kehilangan kamu, Lin."Garis bibir Ralin melengkung ke bawah. "Aku baru merasa bahagia.""Kamu ngomong apa sih, Vid?""Aku lagi nyimpan wajahmu di dalam otakku."Ralin makin tidak enak lalu menatap David lekat. "Ada apa, Vid? Nggak biasanya kamu begini."Tangan David menangkup wajah Ralin dan menatapnya sangat lekat. Sampai Ralin bisa melihat ada pancaran kegundahan di mata kekasihnya itu. "Vid, ada apa?""Janji kamu nggak bakal kaget. Dan apapun yang terjadi, kamu nggak bakal ninggalin aku, Lin."Ralin mengangguk dengan sedikit ragu karena
"Nggak pulang dua hari?" Tanya Lewis tidak habis pikir.Kemudian Bu Tatik mengangguk dengan perasaan bersalah karena menyalahi ucapannya pada Zaylin. "Zaylin pamit kemana, Bu Tatik?""Beliau bilang ingin mencari suasana baru, Den Mas. Saya tidak menduga kalau beliau akan tidak pulang selama dua hari ini.""Berarti dia pergi setelah aku berangkat ke Bali?"Kepala Bu Tatik mengangguk. "Astaga."Tubuh Lewis mendadak lemas lalu ia segera menghubungi David. Percuma menghubungi Zaylin karena Lewis tahu jika istrinya itu pasti akan menolak panggilan. Pantas saja selama Lewis berada di Bali, tidak ada satu pun pesan yang Zaylin kirim. Bahkan pesan Lewis hanya dibalas sekenanya saja. Rupanya, sakit hati Zaylin tidak main-main. "Selamat siang, Pak. Ada yang bisa dibantu.""Lacak nomer Zaylin sekarang juga, Vid! Sekarang!" Perintah Lewis dengan suara lantang. "Baik.""Aku nggak mau nunggu lama!"Lewis tidak peduli andai sekarang David sedang bersama Ralin atau tidak. Dia hanya bisa menganda
"Yang, aku berangkat dulu."Zaylin tidak menjawab. Dia tetap berkutat dengan tas Levi. Bahkan pagi ini, dia tidak menemani Lewis sarapan seperti biasanya. "Yang?"Zaylin kembali tidak menjawab lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk memandikan Levi dan menutup pintunya. Lewis kemudian memutuskan untuk berangkat dan memberi waktu pada Zaylin untuk meredakan emosinya. Setelah Lewis pergi, Zaylin hanya bisa menghela nafas sedih lalu segera menyelesaikan tugasnya memandikan Levi. Bukan memasangkan seragam sekolah ke tubuh Levi, melainkan baju biasa. Kemudian memanggil Bu Tatik. "Titip Levi sebentar, Bu Tatik.""Den Ayu, apa Den Levi tidak sekolah?"Kepala Zaylin menggeleng, "Aku ada urusan penting. Aku cuma sebentar. Nanti kalau Den Mas tanya aku dimana, bilang aja lagi nemenin Levi main. Jangan bilang kalau aku lagi keluar."Sebagai kepala pelayan yang baik, Bu Tatik hanya bisa mengangguk patuh meski otaknya bercokol banyak pertanyaan tentang sikap Zaylin.Mendadak meninggalkan dan mem