Share

08 With Alena

3 orang memasuki mobil yang sama, mereka akan menuju suatu tempat yang mungkin akan lama di sana.

Liana, Sakha dan Alena berada dalam 1 mobil dengan atmosfer yang terasa semakin dingin jikalau Alena tidak terus-terusan bertanya ini itu. Gadis itu baru saja kembali ke tahan air setelah lama mengenyam bangku pendidikan di Seattle.

Lalu dia bekerja sebagai pengacara selama 3 tahun di Seattle, setelah itu dia memilih kembali ke tanah air, dengan tujuan untuk menikah dengan tunangannya.

"Jadi kamu pengacara? Kasus apa yang menurut kamu sulit banget?" tanya Sakha pada Alena sambil fokus menyetir, sedangkan Liana hanya melalukan pekerjaannya sebagai pendengar.

"Semua kasus itu sulit, tapi yang paling sulit itu waktu aku jadi pengacara ada kasus seorang pengusaha, dia dituduh melakukan korupsi, pembunuhan dan pelecehan seksual. parah banget deh. Sebenarnya aku juga tidak mau mengambil kasus itu, kasus itu jatuh ke tanganku setelah rekanku meninggal menangani kasus ini."

"Meninggal?" Sakha jadi tertarik dengan cerita Alena.

"Iya tapi, tunggu dulu. Setelah penyelidikan itu Kak, bukti udah mengarah ke klien aku, dan aku udah hampir nyerah waktu itu, mana kasusnya ribet terus aku down karena temenku meninggal, pusing banget deh."

"Ada hubungannya temen kamu meninggal sama kasus ini?" tanya Sakha.

"Ya, dia meninggal mendadak setelah beberapa waktu menangani kasus itu, padahal dia baru saja mendapat barang bukti yang menyatakan kalau terdakwa tidak bersalah."

"Mendadak? Apa dia sakit? Atau dibunuh?" Sakha mengecilkan volume suaranya saat di akhir perkataannya.

"Firma kami menyelediki hal itu, mencari tahu, ternyata dia dibunuh, dengan bantuan polisi kami berhasil membuat pembunuh ditangkap."

Mendengar pembicaraan Sakha dan Alena membuat Liana terhenyak, kenapa orang-orang berbicara dengan mudah dah lancar saat membicarakan hal seperti ini. Kenapa tidak dengan dirinya?

"Dan benar aja Kak, ternyata pembunuhan ini ada sangkut pautnya sama kasus pengusaha yang aku tangani Kak, hasil introgasi malah mengarah ke penggugat."

"Really?"

Bahan cerita mereka tidak habis sampai di situ, sangking bosannya Liana mendengarkan dia memilih tidur dan membiarkan mereka asik sendiri.

Walaupun Alena berada di kursi belakang, tapi pembicaraan mereka seperti tak terhalang apapun. Hal itu membuat Liana semakin sebal, bahkan orang yang dia bayar sekalipun lebih memilih Alena dari pada berpihak kepadanya.

Dunia menyimpan kebencian pada Liana sepertinya. Meskipun matanya terpejam, Liana bisa mendengar pembicaraan Sakha dan Alena yang enggan berhenti, sekarang sudah pindah topik tentang hobi surfing Alena saat dia di Seattle, dia juga memamerkan kemarihan bermain hoki es.

Liana muak sekali dengan gaya pamer adiknya yang terkesan berlebihan itu. Kenapa Sakha malah menanggapi dengan antusias, dasar bodoh.

Dengan sengaja Liana menjatuhkan botol air minum dengan keras, hingga keduanya diam dan memperhatikan Liana.

"Oh, kalian terganggu. Silahkan turunkan aku jika begitu," ketus Liana dengan tatapan tidak peduli.

Sakha seperti bisa membaca situasi ini, Alena tidak mungkin membujuk Liana untuk masuk ke dalam obrolan mereka.

"Oh iya, kemarin kamu kemana? Ninggalin aku sama Luna dan Alpha?" tanya Sakha.

Liana melirik Sakha. "Kamu bicara denganku?" Tampak kaget dengan Sakha yang mengajaknya bicara.

"Iya lah, kan kamu yang ngenalin aku sama Alpha dan Luna."

"Bukan urusan kamu."

Mobil itu terparkir di depan pusat perbelanjaan ternama yang dulu Sakha bisa membaca papan brand dari jarak jauh karena sangking besarnya.

"Kamu kenapa sih, biasanya kamu gak pernah begini sama aku." Sakha mulai berakting agar terlihat natural di hadapan Alena, sekalipun gadis itu tahu kalau mereka bukanlah pasangan.

Liana turun dari mobil, mengikuti Alena yang sudah turun duluan. Sakha menyusulnya, meraih jemari Liana untuk di tautkan pada jarinya.

Melihat kejadian itu, Liana lantas menatap Sakha dengan tajam. "kamu ngapain sih?" Bisiknya.

"Biar kelihatan pasangan saja, aku tidak mau kalau aku yang dikira pasangannya Alena. Aku bekerja untukmu." Sedikit Sakha bisa memenangkan hati Liana yang tadi mulai marah.

Dengan alasan itu Liana pun memaklumi perilaku Sakha. Mereka membantu Alena untuk berbelanja kelengkapannya untuk menikah, seperti gaun , bunga, sepatu, gaya make up, perhiasan.

Semua dilakukan bersama Liana dan Sakha. "Oh iya, tunangan kamu kok belum datang?" tanya Sakha.

"Iya, dia sibuk banget Kak, udah aku telpon juga dari tadi, tapi belum dijawab," ucap Alena.

"Positif thingking sekali kamu, bisa saja kan dia sedang pergi bersama pacarnya yang lain, sebelum dia menikah denganmu." Sakha menatap Liana, ucapan wanita itu sangat jahat. Kenapa menyudutkan adiknya sendiri.

"Len, kamu pilih aja lagi bunganya. Aku mau keluar sebentar sama Liana ya," ucap Sakha, sebelum terjadi peperangan di muka umum ini.

Sakha menarik tangan Liana, membawanya ke arah lain.

"Are you okay?" tanya Sakha.

"Yeah, kenapa?" tanya Liana dengan judes.

"Ayolah Li, cuma hari ini, papa kamu juga minta sama aku, kalian itu harus akur. Jangan memancing pertengkaran ya."

"Oh, jadi kamu nyalahin aku? Aku yang buat ribut?" Liana tidak terima dengan tuduhan secara tidak langsung itu.

"Liana, please. Coba kamu pikir, yang kamu bicaraain ke Alena tadi, apa itu tidak memancing pertengkaran," ucap Sakha penuh dengan kesabaran.

"Faktanya, apa yang aku bicarakan itu bukan spekulasi, aku tahu siapa Marca. Jadi kamu jangan mengatur-atur aku, kamu kerja kan denganku?" Sikap berkuasa itu memang benar menyakiti Sakha.

Tapi dia harus bersabar, hanya tinggal beberapa hari lagi dan semuanya akan beres.

"Oke, kalau itu mau kamu. Aku tidak akan peduli apapun yang kamu lakukan." Sakha memang bekerja untuk Liana, tapi dia juga punya harga diri.

"Memang itu yang aku mau." Liana menatap Sakha datar, lalu berjalan meninggalkan pria itu.

Haruskah Sakha pergi saja? Kabur lagi seperti waktu itu. Sebagai manusia yang waras dia ingin melaporkan Liana ke polisi saja, sudah banyak sekali kejahatan yang dia lakukan, tapi sekali kali Sakha tidak mau mengusik apapun itu sampai tugasnya berakhir.

Sakha memukul-mukul udara, meyalahkan takdir yang menuntunnya bertemu wanita iblis itu. Sakha menarik nafasnya perlahan lalu membuangnya dengan keras, dia kesal masih bertahan di sini.

Saat Sakha akan kembali ke toko, dia tidak sengaja melihat Liana yang berdiri di luar toko, dia melipat kedua tangannya. Dengan style yang dark itu Liana tampak menonjol dari para pengunjung.

"Kenapa tidak masuk?" tanya Sakha.

Liana menunjuk dengan dagunya, "Marco sudah datang, sebaiknya kita pergi, aku muak berlama-lama di sini."

"Apa tidak perlu pamit?" tanya Sakha sambil berjalan bimbang.

"Tidak perlu," tegas Liana.

"Padahal aku ingin melihat seperti apa Marco yang sepertinya kamu juga kenal."

"Kamu tidak perlu kenal laki-laki brengsek sepertinya," ucap Liana.

"Jadi kamu mengenalnya?" tanya Sakha.

Liana tidak menjawab, cukup malas menjawab pertanyaan Sakha, dia bosan terus bermain-main seperti ini. Dia hanya ingin hidup normal seperti yang lainnya.

"Kamu belum menjawab pertanyaan aku tadi siang, kemarin kamu kemana?" tanya Sakha lagi.

Sungguh Liana sedang malas membahas apapun saat ini, tapi laki-laki di bekalangnya itu terus saja bertanya ini itu seperti anak kecil.

Wanita itu berbalik hingga Sakha hampir menabraknya, untungnya dia sempat berhenti. Jarak keduanya sangat dekat hanya sekitar puluhan centimeter.

"Membuat masalah."

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status