LOGINPeter meletakkan surat itu dengan pelan. Ia menatap Nyonya Evelyn dengan tatapan yang sangat tenang, namun penuh dengan kepastian. "Jangan khawatir, Nyonya. Saya akan membantu Anda. Ini tidak akan terjadi."Nyonya Evelyn menatap Peter dengan mata yang penuh harapan. "Terima kasih, Tuan Davis. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi."Setelah Nyonya Evelyn pulang, Peter duduk sendirian di ruang praktiknya. Ia menatap surat klaim kepemilikan tanah itu dengan ekspresi yang sangat serius. Ini bukan hanya tentang toko bunga. Ini adalah pesan. Pesan untuk Peter.Mereka menyentuh orang yang Peter sayangi.Sore itu, Sandra mengajak Peter untuk makan malam ringan di sebuah kafe kecil di pusat kota. Kafe itu sederhana, tidak mewah, dengan menu tradisional yang enak. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati teh hangat dan roti bakar.Tapi ketenangan itu terganggu saat pintu kafe terbuka dan Bobby Malone masuk bersama Julian Thorne dan Bianca Vance.Bobby terlihat sangat berbeda dari Bobby yang
Peter membuka matanya dengan pelan. Ekspresinya tetap tenang, namun ada kilatan pemahaman di matanya."Ada apa, Peter?" tanya Sandra dengan nada khawatir, melihat Peter terdiam.Peter menatap Sandra dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Bobby Malone kembali."Sandra menatapnya dengan mata terbelalak. "Bobby? Tapi bukankah dia sudah..."Peter menggelengkan kepala. "Tidak pernah hilang. Hanya bersembunyi. Dan kali ini, dia tidak sendirian. Ada seseorang di belakangnya. Seseorang yang jauh lebih berbahaya."Mereka kembali ke klinik dalam keheningan. Pak Wong masih menunggu di ruang tunggu, sedang merapikan beberapa dokumen.Peter duduk di sofa ruang tunggu, Sandra di sampingnya. Pak Wong menatap mereka dengan ekspresi yang penuh pertanyaan."Ini Bobby Malone," kata Peter dengan nada yang sangat tenang, seolah sedang mendiagnosis penyakit pasien, "Tapi kali ini dia punya otak yang jauh lebih cerdas. Seseorang yang tahu bagaimana menggunakan sistem, menggunakan hukum, menggunakan kata-kata i
Empat minggu setelah skandal Bernadus yang mengguncang Kota Wada, Klinik Pengobatan Tradisional Sehat Sejahtera kembali menemukan ritme normalnya. Ruang tunggu dipenuhi pasien seperti biasa, bahkan lebih ramai dari sebelumnya.Beberapa di antara mereka adalah pasien lama yang kembali setelah sempat ragu karena kampanye media negatif yang pernah menyerang Peter. Yang lain adalah wajah-wajah baru, orang-orang yang datang karena mendengar tentang integritas dokter yang membongkar jaringan penipuan terbesar di kota ini.Peter Davis duduk di ruang praktiknya, memasang jarum akupunktur pada seorang pria paruh baya dengan nyeri punggung kronis. Gerakannya presisi, tidak tergesa, seolah waktu tidak memiliki kekuasaan di ruangan ini."Tuan Davis," kata pasien itu dengan nada hormat, "saya baru kembali setelah enam bulan. Maaf saya sempat percaya artikel-artikel buruk tentang Anda."Peter tersenyum tipis sambil menyesuaikan posisi jarum di titik meridian yang tepat. "Tidak perlu minta maaf, Pak
Ted Bernadus duduk di sofa dengan ekspresi yang sangat lelah. Di tangannya, tumpukan surat tuntutan hukum dari berbagai pihak. Investor yang merasa tertipu. Pemasok yang belum dibayar. Bahkan beberapa mantan rekan bisnis yang menuntut ganti rugi.Irene Bernadus berdiri di jendela, menatap keluar dengan mata yang kosong. Perhiasan mewah yang biasa ia pakai sudah dijual sebagian. Gaun-gaun desainer yang pernah ia banggakan kini tergeletak di dalam dus, siap dilelang."Bagaimana ini bisa terjadi, Ted?" bisik Irene dengan suara yang bergetar, "Kita sudah punya segalanya. Kita sudah di puncak."Ted tidak menjawab. Ia hanya menatap surat-surat tuntutan dengan ekspresi yang hancur.Di sudut ruangan, Amanda Bernadus duduk sendirian dengan ponsel di tangannya. Layar ponselnya menampilkan media sosial yang dulu ia gunakan untuk memamerkan gaya hidupnya. Tapi sekarang, timeline-nya dipenuhi dengan komentar jahat, ejekan, dan cemoohan."Amanda Bernadus si bodoh yang tertipu Adrian Sinclair.""Dir
Amanda tidak bisa menjawab.Mulutnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Ia menatap Adrian Sinclair dengan tatapan meminta tolong, namun Adrian hanya menatapnya dengan tatapan dingin, seolah mengancamnya untuk diam.Peter mengangkat tangannya, dan Sandra yang berdiri di sampingnya menyerahkan sebuah tablet. Peter mengaktifkannya, lalu dengan beberapa ketukan jari, layar LED raksasa di panggung tiba-tiba menampilkan serangkaian dokumen.Diagram perusahaan cangkang. Aliran dana yang rumit. Nama-nama direktur anonim. Alamat-alamat di negara-negara tax haven. Catatan proyek-proyek gagal Adrian Sinclair di berbagai kota. Semua terorganisir dengan sangat rapi, sangat jelas, sangat tidak bisa dibantah.Ruangan meledak dengan bisikan dan teriakan. Wartawan berdiri, kamera mereka merekam layar dengan antusias. Beberapa pejabat mulai berbicara dengan serius di ponsel mereka.Adrian Sinclair menatap layar dengan ekspresi yang berubah drastis. Kepercayaan dirinya runtuh dalam sekejap. Ia
Suasana di ballroom Bernadus Grandeur Residences berubah. Setelah Peter dan Sandra berbalik untuk pergi, bisikan mulai terdengar di antara para tamu. Beberapa kepala menoleh, membicarakan konfrontasi yang baru saja terjadi.Kata-kata Peter tentang kekuatan sejati yang tidak perlu berteriak masih menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang tidak nyaman.Keluarga Bernadus berdiri di dekat panggung dengan ekspresi yang campuran antara marah dan bingung. Nenek Helena mencengkeram tongkatnya dengan sangat erat, wajahnya memerah padam.Ted dan Irene berbisik dengan cepat, mencoba memutuskan langkah selanjutnya. Amanda berdiri sedikit terpisah, masih menatap ke arah pintu keluar di mana Peter dan Sandra menghilang.Adrian Sinclair, yang sejak tadi mengamati dari sudut ruangan, berjalan mendekati Ted dengan langkah yang terkontrol. Senyumnya masih terpasang, namun ada ketegangan di rahangnya. Clarissa Beaumont sibuk dengan ponselnya, mencoba mengontrol narasi di media sosial dengan twee







