LOGINTapi bagian lain dari dirinya, bagian yang lebih primitif, bagian yang masih terhubung dengan insting bertahan hidup jutaan tahun evolusi, berteriak dengan keras: bahaya. Predator. Lari."Kalian tidak melihat tatapan itu," gumam Ricardo dalam hati sambil menatap cairan cokelat keemasan di gelasnya. Pantulan wajahnya terlihat samar di permukaan wiski. "Kalian tidak merasakan dinginnya. Seperti ditatap oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar manusia. Seperti ditatap oleh predator puncak yang baru saja menemukan mangsanya."Ia meneguk wiski lagi, membiarkan alkohol membakar tenggorokannya, berharap itu bisa membakar juga bayangan tatapan itu dari ingatannya.Tapi tidak bisa.Tatapan itu terlalu jelas. Terlalu tajam. Terlalu... personal.Pelayan kafe berjalan melewati meja mereka sambil membawa kain kotor. Ia melirik mereka dengan tatapan mencurigakan. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tanyanya dengan nada yang terdengar tidak tulus. "Wajah kalian terlihat... tegang. Sepe
Sedan hitam mewah melaju dengan kecepatan tinggi menembus jalanan Kota Wada yang sudah sepi. Lampu-lampu jalan berkedip melewati kaca mobil seperti bintang jatuh yang bergerak terlalu cepat. Di dalam kabin yang gelap, hanya cahaya dashboard yang menerangi tiga wajah pucat yang duduk dengan postur kaku.Dr. Alexander Hartman duduk di kursi pengemudi dengan kedua tangan mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih total.Matanya terpaku pada jalan di depan, tapi pandangannya kosong, seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada aspal dan lampu jalan. Napasnya pendek dan cepat, seperti orang yang baru saja lari marathon.Di sampingnya, Dr. Marcus Wellington duduk dengan tubuh kaku seperti patung. Tangannya terlipat di pangkuan, tapi jari-jarinya bergetar. Ia menatap keluar jendela tanpa benar-benar melihat apa-apa.Keringat dingin membasahi pelipisnya meski AC mobil menyala penuh dengan suhu lima belas derajat.Di kursi belakang, Dr.
Di dalam mobil sedan hitam yang terparkir dua puluh meter dari gang, ketiga dokter itu terdiam total. Terdiam dengan cara yang sangat tidak nyaman. Mulut terbuka tapi tidak ada suara keluar. Mata terbelalak tapi tidak berkedip. Tubuh kaku seperti patung.Ricardo masih memegang ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Layar masih menyala. Titik merah masih berkedip. Video masih merekam.Tapi apa yang direkam sangat jauh dari apa yang ia harapkan.Bukan Peter yang terkapar. Bukan Peter yang dipukuli. Bukan Peter yang menangis memohon ampun.Tapi preman-preman yang mereka sewa dengan harga dua ratus juta. Preman-preman yang seharusnya menghancurkan Peter. Preman-preman yang sekarang tergeletak seperti boneka rusak."Apa... apa yang baru saja terjadi?" bisik Alexander dengan suara yang hampir tidak terdengar. Tangannya masih mencengkeram setir, tapi sekarang karena ia butuh sesuatu untuk dipegang agar tidak jatuh. "Itu... itu tidak mungkin. Tidak ada manusia yang bisa bergerak secepat
Dalam sekejap mata, dalam waktu yang bahkan tidak cukup untuk berkedip, Peter sudah bergerak. Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada debu yang terangkat. Hanya bayangan yang bergeser.Tongkat besi hanya mengenai udara kosong dengan bunyi desing yang sia-sia. Momentum ayunan yang terlalu kuat membuat pemimpin preman itu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung ke depan, hampir jatuh.Sebelum ia sempat menyeimbangkan tubuhnya, sebelum otaknya sempat memproses apa yang terjadi, tangan Peter sudah ada di sana. Mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang luar biasa.Cengkeraman yang sangat kuat. Seperti besi yang dipanaskan lalu didinginkan secara mendadak, mengunci dengan sempurna, tidak bisa dilepas, tidak bisa dilawan."Apa...?" Pemimpin preman itu hanya sempat mengeluarkan satu kata sebelum rasa sakit menyambar.Peter memelintir pergelangan tangan itu. Sangat perlahan. Sangat terkontrol. Setiap derajat putaran diperhitungkan dengan presisi. Lima derajat. Sepuluh derajat
Peter hanya berdiri di sana. Tangan masih di saku jaket. Wajah datar, tidak ada ekspresi sama sekali. Tidak ada ketakutan. Tidak ada kemarahan. Tidak ada apa-apa.Seperti sedang menonton pertunjukan teater yang sangat membosankan.Tidak jauh dari sana, sekitar dua puluh meter di belakang posisi Peter, sebuah sedan hitam mewah terparkir dengan kaca gelap yang hampir tidak tembus pandang. Mesin mobil mati, lampu padam. Hanya bayangan gelap di tengah kegelapan malam.Di dalam mobil itu, tiga pria duduk dengan napas tertahan. Jantung berdegup kencang. Keringat mulai membasahi pelipis meski AC mobil menyala penuh.Dr. Alexander Hartman duduk di kursi pengemudi, tangannya mencengkeram setir dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya terpaku pada adegan di gang melalui kaca depan, tidak berkedip. Napasnya pendek dan cepat.Dr. Marcus Wellington duduk di sampingnya, tubuhnya condong ke depan, matanya juga terpaku pada adegan yang sama. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kera
Malam menyelimuti Kota Wada dengan kegelapan yang sangat pekat. Langit tidak memiliki bintang, hanya bulan sabit tipis yang sesekali muncul di balik awan tebal yang bergerak lambat. Udara terasa dingin dan lembap, membawa aroma laut yang lebih kuat dari biasanya, bercampur dengan bau aspal basah dari hujan sore tadi.Peter Davis berjalan kaki di trotoar yang sepi. Ia sengaja meninggalkan mobilnya di parkiran rumah sakit, memilih berjalan kaki pulang ke apartemennya yang berjarak sekitar tiga kilometer. Bukan karena ia suka berjalan malam-malam. Bukan juga karena ia ingin berolahraga.Ia ingin merasakan malam ini. Ingin merasakan bisikan bahaya yang sejak tadi siang terus mengganggunya.Langkahnya ringan dan santai, seperti seseorang yang sedang menikmati jalan-jalan malam tanpa tujuan khusus. Tangan dimasukkan ke saku jaket hitam, postur tubuh rileks. Tapi matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut, setiap bayangan, setiap gerakan sekecil apapun.Jalan yang ia lalui sangat sepi. Ter







