"Annasta binti Lukman, pada hari ini kuceraikan kamu dan kuharamkan kakimu memasuki rumah ini!" tegas Jasen suamiku. Bagai tersambar petir kalimat sakral keluar dari bibi tipis yang menggoda milik Jasen--suamiku. Beberapa hari aku sembuhkan luka dan mencoba mengerti akan inginnya. Akhirnya aku terusir dari rumah yang sudah menaungiku selama delapan tahun ke belakang. Ironi sekali aku terusir dari rumahku sendiri hanya karena kata sudah usang. Pernikahan yang seharusnya indah kini harus terhempas kala netra ini melihat lelakiku membawa masuk wanita lain. 'Inikah penyebab kata usang itu terlontar?' batinku. Cinta yang dulu hanya untukku kini telah berbagi. Hidup bagai tersayat sembilu kala jagoannku ikut terluka atas perilaku ayahnya. Dengan berat hati, akupun berkemas semua barang hasil keringatku sendiri. Tanpa aku sadari ada putraku yang melihat keserakahan wanita tersebut ketika menginginkan kalung berlian hadiah dari omanya. Pria kecil itu tidak mampu menahan wanita rubah tersebut. Namun ada yang membuat hati ini sakit kala gadis kecilku datang dan melihat aku berkemas. "Bunda mau pergi ya, jangan lupa oleh-oleh buat Amel!" pintanya. Apa yang terjadi dengan rumah tanggaku? Bagaimana aku menatap dunia?
View More"Annasta binti Lukman, pada hari ini kuceraikan kamu dan kuharamkan kakimu masuk rumah ini!" tegas Jasen suamiku.
Jdeer!
Bagai palu godam menghentak dadaku kala terdengar ucapan Jasen tepat di depanku. Lelaki yang baru pulang dari kantor itu langsung berucap lantang di depan pintu kamar pribadi kami. Air mataku langsung mengalir tanpa aku inginkan. Napas terasa sesak seakan asupan udara di sekitarku sisa sedikit. Dengam derai air mata, aku mencoba bertanya pada lelaki itu.
"Apa salah aku, Mas?" tanyaku dengan nada lirih dan bergetar.
"Kamu tidak salah, hanya aku yang inginkan berganti istri. Bagiku barang yang kamu punya sudah usang, tidak layak untuk dipajang saat bertemu dengan relasi." Seperti itu ucapan kasar lelakiku yang dulu sangat lembut dalam memperlakukan diri ini.
Entah angin apa hingga lelakiku berubah sedemikian rupa, apa dia melupakan perjuangan masa lalu saat inginkan diriku mendampingi hidupnya yang suram. Rasa bahagia yang sudah aku reguk selama tujuh tahun usia pernikahan kini hanya tinggal kenangan.
Perlahan kulangkahkan kaki ini masuki kamar putri cantikku, Amel masih tertidur lelap. Beruntung gadis kecil itu tidak mendengar apa yang dikatakan ayahnya. Namun ada pria kecil yang berdiri sembunyi dibalik pilar penyangga atap di lantai dua. Aku melempar senyum pada pria itu tanpa berniat mendekat.
Setelah puas memandang wajah teduh Amel, kembali aku melangkah keluar dari sana. Telingaku mendengar suara perempuan lain yang sedang tertawa manja, kutajamkan pendengaranku. Ternyata mereka ada di ruang tamu, gegas kuhampiri mereka.
"Ouh rupanya sedang ada tamu, mengapa tidak bilang ke aku lho, Mas Jasen?" kataku dengan nada biasa menyembunyikan rasa sakit.
"Tidak perlu, Mbak. Ini saya hanya sebentar, tadi ada yang tertinggal di tuang kerja Mas ...." ucap wanita itu yang membungkam mulutnya di akhir kata Mas.
Hatiku terasa nyeri kala mendengar ada wanita yang memanggil mas pada Jasen. Meski hanya sepintas dan belum selesai tetapi aku tahu kemana arah kata selanjutnya.
"Maaf, Mbak, saya pamit undur diri. Mari, Mbak dan Mas Jasen. Selamat malam," pamit wanita itu.
"Tunggu, biar mas antar kamu pulang!" kata suamiku datar dan dingin tanpa sedikitpun melihatku.
Sakit, nyeri dan sesak itu yang aku rasa kala melihat dengan mata kepala sendiri suamiku memilih mengantar wanita lain dengan merangkul pundak wanita tersebut. Cantik, itu kata pertama yang keluar dari bibirku kala melihat sosok wanita tersebut. Jujur aku sama sekali tidal mengenal sosok tersebut, siapa nama dan perkerjaan dalam perusahaan suamiku.
"Jangan dipandangi saja, Bu. Sudah biasa bapak dengan wanita itu jika sore pulang kemari hanya sekedar minum dan makan," kata simbok yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.
"Apa mereka sangat sering pulang bersama, Mbok?" tanyaku.
"Hampir tiap hari, Bu. Saat Ibu merawat bunga di taman belakang, wanita itu sering datang jumpai bapak bahkan mereka kadang sempat bercumbu di sofa hitam depan televisi dan tidak peduli jika Den Yoga melintas." Cerita Mbok Darmi secara gamblang.
Aku tercekat, mulutku membuka membentuk huruf O. Langsung ku bungkam mulutku sendiri karena malu dengan simbok.
"Apa salah dan kurangku, Mbok?" tanyaku dengan nada pilu.
"Ibu wanita yang baik, pasti akan mendapat yang baik pula. Jangan gegabah mengambil sikap, Bu!" Saran Mbok Darmi.
Aku sempat down melihat dan mendengar semua informasi dari Mbok Darmi. Aku yang selama ini begitu percaya pada suamiku dan menurut kini merasa tertampar. Sikapku yang seperti ini malah disalahgunakan oleh lelaki itu. Sungguh malang nasibku.
Tujuh tahun silam seorang pria muda datang menghampiri meja kerjaku, hanya bertegur sapa. Lama kelamaan dia mendekat dan kita saling berkenalan. Rupanya lelaki itu adalah anak pemilik perusahaan di mana aku kerja, PT. Adi Buana Perkasa (ABP)."Annasta," ucapku saat berkenalan.
"Jasen," balasnya.
"Maaf, saya sedang bekerja datanglah kala istirahat!" pintaku.
Lelaki itu tidak mau menyerah meski sering mendapat penolakan dariku. Semua teman sudah memberi peringatan padaku saat terjadi pendekatan pria muda tersebut. Mereka seakan tidak setuju jika aku menjalin hubungan serius dengan Jasen. Bukan karena sosok yang berdiri di belakang pria muda melainkan karena pria tersebutlah yang membuat teman sejawat merasa bimbang.
"Jangan kamu melangkah ke arah serius, Annasta!" decih Imanuel saat itu.
"Ah, pasti si Nuel cemburu, Ta. Gak apa lanjut saja, mumpung dapat yang tajir melintir tuh!" timpal Tiwi."Bukan karena tajirnya, Wi. Tetapi lebih mengarah pada perilakunya yang berbeda dan berbanding terbalik dengan Mr. Buds. Apa kamu tahu, Tiwi?" balas Imanuel yang dipanggil Nuel oleh yang lain.
Kini Annasta paham apa yang pernah dikatakan oleh Imanuel saat itu, tetapi nasi sudah menjadi bubur dia harus kuat demi dua buah hatinya Amel dan Yoga.
"Bunda ... Bunda ...." teriak Yoga yang memanggil diriku.
Aku pun segera bergegas keluar dari kamar dan mencari keberadaan Yoga. Ternyata putraku itu sedang menuntun Amel untuk dibawanya tidur siang.
"Hai, Sayang! Sudah mau berangkat tidur?" tanyaku pada Yoga sambil mensejajarkan tubuhku.
"Iya, Nda. Adik sudah ngantuk terus abang juga lagi ada pekerjaan rumah dari sekolah makanya abang panggil-panggil Bunda," jelas Amel dengan logat anak balita.
"Memangnya adik mau di keloni Abang?" tanyaku.
Tampak Amel memandang abangnya, sedikit rasa ragu tersirat di wajah lucunya. Lalu Yoga menganggukkan kepala agar Amel bicara jujur mengenai inginnya.
"Ada apa, Sayang. Ayo jujur sama Bunda!" ucapku selembut mungkin agar gadis kecilku merasa nyaman.
"Amel ingin tidur siang dengan Bunda, boleh?"
### SA ###
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments