Jayme nyaris melupakan janji dengan seorang pasien yang telah ia atur minggu lalu. Menginap semalam saja di bawah satu atap dengan Zanara membuat Jayme melupakan banyak hal. Ia bahkan belum terpejam sejak semalam, tetapi justru memilih untuk menghabiskan waktu menemani Marion.Beruntungnya salah seorang perawat menghubungi dan mengingatkan mengenai janjinya itu. Bergegas ia melajukan mobil menuju ke rumah sakit. Namun, ia tak menyangka bahwa hal yang pertama ia temui saat melangkah masuk ke dalam ruangan bukanlah pasien yang menunggu, melainkan Clara."Cla? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jayme sembari memakai jas kerjanya dan bersiap untuk menyambut pasiennya. "Apakah ada yang penting? Jika tidak, bisakah kau keluar? Akan ada pasien yang datang sebentar lagi.""Aku ingin bicara denganmu, bisa?"Jayme menatap Clara sejenak, kemudian mempersilakan gadis itu untuk duduk, begitu juga dengan dirinya. "Hanya lima menit, setelah itu berjanjilah kau akan membiarkanku bekerja dengan tena
Jayme mengerang kesakitan. Pecahan kaca yang semula berada di tangan Bernadette, kini menancap di lengan pria itu. Mungkin bukan dengan kesengajaan, karena di detik berikutnya Bernadette sudah memekik histeris dan tampak panik."Oh, Dokter Demir, m-maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud ... oh, tidak, kau berdarah!" racaunya, dengan bibir bergetar.Namun, wanita itu tampak tak tahu harus berbuat apa. Tatapannya menyapu ruangan seolah mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menolong Jayme menghentikan pendarahan, tetapi pada akhirnya tak ada satu pun benda yang ia raih. Wanita itu justru merosot ke lantai. "Tidak, aku bukan pembunuh! Aku tidak sengaja melakukannya!"Melihat reaksi wanita itu, Jayme dengan terpaksa mengabaikan nyeri yang mulai menjalar dari lengannya. Ia berjongkok dan meraih tubuh Bernadette."Hey, Bernadette, it's okay. Aku tahu kau tidak bermaksud melakukannya. Tenangkan dirimu, okay! Aku akan mencari pertolongan untuk kita."Dengan tertatih, Jayme bangkit kem
Jayme memutuskan untuk pulang ke rumah yang ditinggali oleh Zanara. Hari mulai gelap, lingkungan rumahnya itu pasti akan lengang setiap mulai pukul delapan malam, karenanya ia bebas keluar masuk. Terlebih Jayme selalu pulang ketika hari petang.Kali ini, ia tidak mengetuk pintu, bahkan masuk ke dalam rumah dengan mengendap. Zanara memang dengan sengaja tidak mengunci pintu agar Jayme bisa masuk tanpa mengganggu istirahatnya.Ia tak ingin terlalu berinteraksi dengan pria itu, karenanya ia lebih sering mengurung diri di kamar untuk mencegah pertemuan dengan Jayme. Jelas ia mengizinkan Jayme ikut tinggal di sana demi bisa melindungi dan menjaga dirinya dan Marion.Katakanlah kini Zanara bergantung pada Jayme dalam segala hal, begitu pula Jayme merasa memiliki tanggung jawab terhadap Zanara dan Marion, seolah ia adalah suami Zanara dan ayah dari Marion.Seolah itu hal yang nyata, padahal untuk saat ini hanya ada dalam imajinya.Jayme kini tengah celingukan, memastikan Zanara tak akan kelu
Zanara tengah mempersiapkan sarapan saat ponselnya berdering keras. Ia sudah mengganti nomor ponsel dan mematikan sambungan lokasi yang bisanya ia aktifkan. Namun, siapa lagi yang menghubunginya?Takut- takut, Zanara hendak menerima panggilan tersebut yang belum saja ia tempelkan di telinganya, Jayme sudah merebut benda itu. Ia menyapa si penelepon lebih dulu, menunjukkan bahwa Zanara telah memiliki pelindung. Dirinya."Zee ... oh, thank God you're alive!" jawab seorang wanita di seberang. "Eh? Apakah kau Dokter Demir? M-maaf, Dok. Bisakah aku bicara dengan Zanara?"Jayme mendesah lega ketika tahu siapa penelepon yang sedang bicara dengannya. Tanpa banyak bicara Jayme menyerahkan pada Zanara, karena yang menghubungi wanita itu ternyata adalah Shienna, saudara kembar Zanara."Shie ... apakah pria itu datang padamu? Apakah kau mengatakan keberadaanku?" todong Zanara, sesuai dengan apa yang ia pikirkan selama ini, memastikan apakah Mark datang untuk menemui Shienna. Bisa saja dengan tuju
"Apa kau mau bicara sebentar? Aku ada waktu sangat banyak untukmu, jika kau mau."Zanara ragu apakah akan menerima tawaran Jayme, atau justru menolaknya. Ia tak pernah menceritakan apa pun selama beberapa tahun ini. Tidak pada siapa pun. Maka wajar jika ia kini merasa kelelahan yang dahsyat, terlebih jika itu mengenai kehidupannya bersama Marion."Bukan sebagai teman, melainkan dokter dan pasien. Bagaimana?" ulang Jayme. Ia sungguh berharap Zanara akan menerima tawarannya dan menceritakan segalanya. Dengan begitu, Jayme bisa memberikan masukan dan bantuan untuk wanita itu."Tapi, Marion—""Aku akan bicara padanya agar ia makan duluan. Bagaimana? Jika ya, kutunggu di ruang kerjaku."Jayme berbalik, kemudian menuju ke ruang makan dengan beberapa piring berisi makanan di tangannya. Ia letakkan satu di depan Marion yang sudah bersiap untuk menyantap semua isi piringnya sampai habis.Jayme memutar tubuh Marion menghadap padanya yang sudah sejajar dengan gadis itu."Sayang, apakah tidak apa
Jayme terlanjur setuju dengan keputusan yang diambil Zanara, bahwa ia akan mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Meski ia tak tahu ke mana arah dan tujuannya, setidaknya ia sebentar saja bisa bercengkerama dengan dirinya sendiri.Zanara telah siap dengan satu tas berisi beberapa helai baju. Jayme yakin tak banyak yang ia bawa, karena Zanara telah memastikan tak akan lebih dari tiga hari.Sesungguhnya Jayme berat melepaskan kepergian wanita itu, jika mengingat hal-hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Namun, kali ini ia harus melihat Zanara sebagai pasiennya. Pasien yang membutuhkan saran terbaik darinya. Hanya itu obat yang dibutuhkan wanita itu. Menepi sejenak.Zanara berjongkok di hadapan Marion, memandangi wajah putrinya yang cantik nan polos. Ada rasa berat yang menyeruak seketika. Tak pernah sebelumnya ia meninggalkan Marion terlebih untuk waktu lama. Ia selalu mengajak gadis kecil itu, bahkan saat sedang bekerja di toko rotinya. Dan kali ini, sungguh sesuatu yang cukup me
Zanara masih mematung di tempatnya untuk sesaat. Bagaimana jika ternyata Mark yang kini tengah menanti dan menemukannya? Namun, sudah jelas seperti yang dikatakan Shienna, bukan Mark yang datang. Lalu siapa?"Siapa dia, Shie?" desak Zanara, yang tidak memberi jawaban, Shienna justru mendorong Zanara untuk keluar dan menemui pria itu.Zanara berjalan perlahan dan dengan langkah ragu menuju ke tempat di mana pria itu menunggunya, dan tak bisa menahan diri dan degup jantung yang berdetak makin tak karuan saat melihat sosok yang kini tengah berdiri membelakanginya.Zanara mengatur napas, hanya agar ia tak berteriak jika dugaannya nanti ternyata benar. Setidaknya hal itu sebagai bukti bahwa Zanara tak pernah melupakan pria ini, meski tahun demi tahun berlalu.Meski kala itu hatinya telah dimiliki oleh Mark, tetapi tetap saja, pria ini masih memiliki sedikit tempat di sana."Gabe ...," panggil Zanara, lirih dan ragu. Pelupuk matanya kini telah tergenang oleh bulir hangat yang berusaha ia ben
Apa? Apakah ini merupakan bentuk pernyataan cinta dari Gabriel untuknya? Ataukah hanya sebuah permintaan izin agar Zanara bersedia membuka pintu hatinya dan membiarkan Gabriel masuk? Lantas apa yang harus dilakukan Zanara sebagai reaksi atas apa yang diucapkan oleh pria itu?"A-apa maksudmu, Gabe?" tanya Zanara, ia memang sungguh-sungguh tak mengerti maksud dan tujuan pria itu. Ia sudah lama tidak membiarkan dirinya untuk peka terhadap perasaan yang ditunjukkan padanya secara halus maupun yang terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Gabriel.Tangan pria itu masih menggenggam jemari Zanara. Mungkin ia tak akan pernah melepaskannya sebelum mendapat jawaban pasti dari sahabat yang pernah menjadi orang yang paling ia cintai. Bahkan mungkin masih."Kau tahu apa maksudku, Zee. Tempat di hatimu, itu yang kuinginkan."Perasaan ini yang kerap kali muncul setiap Zanara mendengar ungkapan cinta atau sikap yang berbeda dari seorang pria. Perasaan yang mem