Share

60. Zona Survival

Penulis: Cutegurl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 21:03:29

Pagi yang dingin menyambut para peserta saat langit masih berwarna abu-abu muda. Embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan, sementara kabut tipis menyelimuti area markas pelatihan. Semua peserta AORTA dikumpulkan di lapangan utama dengan pakaian khusus yang sudah dipersiapkan oleh tim panitia: seragam pelindung berlapis nano-serat yang bisa menahan suhu ekstrem dan memiliki fungsi penyimpanan energi dasar.

Dr. Yvonne Kruger berdiri di podium, diapit oleh dua asisten pribadinya yang mengenakan jaket putih panjang dan headset komunikasi.

“Selamat pagi,” ucap Dr. Kruger dengan suara yang lantang dan tenang. “Mulai hari ini, kalian semua akan memasuki zona terakhir dari kompetisi: Zona Survival.”

Suasana berubah tegang. Banyak peserta yang langsung menegakkan tubuh mereka. Sebagian lainnya mulai melirik kanan kiri, menebak-nebak apa yang akan mereka hadapi.

Dr. Kruger melanjutkan, “Zona Survival bukan hanya ujian tentang pengetahuan medis atau ketangkasan menyelamatkan nyawa.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    77. Racun berbahaya?

    Bersama dengan Dokter Keysha, Elvario duduk menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran kursi. Di depannya, kantong makanan hangat dari dokter Keysha sudah nyaris kosong. Bau nasi dengan gurihnya ayam masih tersisa di udara, namun ketegangan hari itu membuat rasa kenyang tak kunjung terasa. Baru saja ia meletakkan sumpit ke dalam wadah makanan, ponselnya bergetar keras di atas meja. Layar menyala, menampilkan tulisan tebal: “IGD - PRIORITAS” Dengan sigap, Elvario mengangkatnya. “Dokter El! Kami baru saja mendapat laporan dari tim pengawal Tuan Sujana. Beliau kejang-kejang di dalam mobil, sesaat setelah keluar dari acara pertemuan bisnis. Mereka sedang menuju rumah sakit, ETA tiga menit!” Detak jantung El seolah melonjak. “Tuan Sujana?” gumamnya. Suara di telepon mengiyakan, penuh ketegangan. Tanpa banyak pikir, El bangkit dan berlari keluar dari kantin, mantel putihnya mengepak diterpa angin koridor. Di depan UGD, para perawat sudah bersiap dengan brankar, sarung tangan lateks

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    76. Ungkapan terima kasih tak terhingga

    Langit di luar rumah sakit sudah berubah sangat pekat. Hujan gerimis mulai turun, menyisakan suara tetesan air yang terpantul di kaca-kaca jendela ruang tunggu. Di lorong depan ruang ICU, suara tangis tertahan terdengar samar, diiringi helaan napas cemas dari kerabat pasien yang baru saja menjalani operasi panjang dan penuh risiko. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Elvario melangkah keluar dengan masker masih tergantung di leher dan sarung tangan operasi yang telah dilepas. Seragam medisnya penuh bercak darah, sebagian masih basah. Beberapa helai rambutnya terlepas dari ikatan, dan napasnya terdengar berat. Tapi di balik wajah yang lelah itu, ada sorot mata yang tenang. Seseorang langsung berdiri dari bangku. Seorang wanita paruh baya dengan mata bengkak karena menangis. Di sebelahnya, seorang pria yang sejak tadi tak berhenti mondar-mandir langsung menghampiri Elvario. “Dokter! Bagaimana anak saya?!” Suara wanita itu pecah di udara, sarat ketakutan dan harapan yang mengga

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    75. Operasi... lagi?

    Suasana di ruang operasi terasa mencekam. Cahaya putih di atas meja operasi menyinari tubuh pria muda yang sudah terbaring tak bergerak, nyaris tanpa kesadaran. Nafasnya terdengar berat, kasar, dan tidak beraturan. Dada kirinya tampak seperti hendak runtuh, dengan suara gemeretak samar setiap ia mencoba menarik napas. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya, membasahi bantal tipis di bawah kepala. Paha kanannya tampak patah total. Sudut bengkok tulangnya membentuk garis yang nyaris menusuk keluar kulit, membuat dagingnya robek dan darah memancar dalam ritme lambat namun mantap. “Tekanan darahnya turun lagi, Dokter El!” suara perawat terdengar panik. “70 per 30 dan terus menurun!” “Elvario.” suara itu menyusup dari sisi meja. Dokter Azalea berdiri mengenakan masker dan sarung tangan steril, matanya menatap penuh konsentrasi pada monitor EKG. “Dia masuk fase dekompensasi. Jantungnya akan gagal kalau kita tunda lebih lama.” Elvario berdiri diam sesaat. Hanya satu detik. Tapi dal

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    74. Operasi

    Lampu bedah menyala terang, menyinari tubuh pasien yang terbujur di atas meja operasi. Waktu sudah menunjukkan lebih dari tiga jam sejak operasi dimulai. Elvario tetap berdiri tegak, tak bergeming, kedua matanya fokus penuh ke dalam rongga perut pasien, tangan kirinya menahan alat penjepit pembuluh darah, sementara tangan kanannya menuntaskan prosedur vaskular kritis yang membuat semua orang di ruangan itu menahan napas. Dokter Azalea, yang berdiri di seberangnya, berkeringat namun tak kehilangan konsentrasi. Sejak awal operasi, dia menyaksikan bagaimana El bekerja, tetap tenang, nyaris tak terpengaruh oleh tekanan waktu atau detak alarm yang kadang berbunyi keras karena penurunan tekanan darah pasien. “B-Bleedingnya mulai terkendali,” gumam perawat anestesi. Elvario mengangguk tipis. “Tapi kita belum keluar dari bahaya. Kalau tak hati-hati, dia bisa mengalami hemoragik syok lagi.” Jarum-jarum jahit mulai menari di ujung jemarinya. Langkah demi langkah dilakukan dengan ketep

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    73. Waktu bersama

    Langit sore terlihat membara dalam semburat jingga yang mulai perlahan ditelan biru tua. Hembusan angin sore berdesir pelan di atas rooftop rumah sakit, membawa aroma samar dari dedaunan dan senja yang basah. Di tempat yang sepi itu, suara langkah kaki bergema ringan. Azalea tiba lebih dulu. Ia butuh udara. Sejak pagi, pikirannya terus bergelayut pada keributan di ruang IGD. Wajah wanita paruh baya itu, ibu dari pasien bernama Tama, masih terbayang jelas. Sorot matanya penuh amarah, suaranya melengking, menyalahkan Elvario atas keadaan anaknya. Azalea mendesah pelan, menggenggam jaket residen putih yang setengah melilit tubuhnya. Ia menyandarkan punggung ke pagar pembatas dan menatap cakrawala yang perlahan tenggelam. Hingga suara langkah kaki kembali terdengar. Azalea menoleh, dan di sana, muncul sosok tinggi dengan jas dokter yang sudah sedikit kusut oleh waktu jaga. Elvario. Pria itu tampak sedikit terkejut saat melihat Azalea lebih dulu di sana. "Kamu juga di sini?" ta

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    72. Gadis penyelamat?

    Ruangan IGD yang sebelumnya hanya dipenuhi suara mesin pemantau kini menjadi pusat perhatian karena teriakan seorang ibu yang sedang dikuasai emosi. Suara Sinta masih menggema, memekakkan lorong rumah sakit dengan amarah dan tangis yang bercampur menjadi satu. Para perawat dan staf medis tak berani menyela. Sementara dua satpam hanya bisa berdiri siaga, menunggu aba-aba untuk bertindak. Namun sebelum siapa pun sempat melakukan sesuatu, suara langkah cepat menghentak lantai, ringan, tapi pasti. Seorang perempuan muda dengan jas dokter putih muncul di ujung lorong. Residen tahun keempat itu, dokter Azalea muncul dengan wajah serius. Rambutnya disanggul rapi, dan sorot matanya tajam namun tidak liar. Ia bukan siapa-siapa di antara keluarga pasien, bukan pula tokoh besar di rumah sakit, tapi saat melihat pemandangan itu, dia tahu dia harus bicara. Tanpa ragu, Azalea berjalan melewati beberapa perawat yang menahan napas, lalu berdiri tegak di samping Elvario. “Saya minta maaf, Bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status