Share

Bab 3

Berulang kali Zahirah menolak panggilan telepon, hingga benda persegi panjang nan pipih itu berhenti berdering. Dengan cepat Zahira menonaktifkan ponsel yang terkena darah tersebut.

Belum hilang rasa terkejut dengan nada dering, kini ia dikejutkan dengan tangan pria yang memegang pergelangan tangannya.

"Siapa kamu? Ini dimana?" tanya pria itu seraya memegang luka di perutnya. Matanya terbuka lebar dan melihat ke langit-langit plafon gypsum berwarna putih tersebut.

"Saya yang harusnya bertanya. Bukannya kamu yang tiba-tiba berada di rumah saya." Zahira memandang pria itu dengan mengerutkan keningnya.

Jika laki-laki itu berniat jahat maka Zahira akan lari. Sedang pria yang bernama Arion itu tidak akan bisa mengejarnya. Karena si lelaki tidak memakai sehelai benangpun.

"Auw." Rasa sakit di bagian luka saat di gerakkan, membuat pria berwajah tampan itu sedikit meringis.

"Jangan bergerak, luka anda cukup parah." Zahira menahan tubuh si lelaki.

"Tidak. Aku harus pergi sekarang, masih banyak yang harus aku selesaikan. Aku tidak punya waktu berlama-lama disini." Arion berkata setelah kesadarannya sudah kembali.

Potongan peristiwa beberapa jam yang lalu kini kembali melintas di pandangannya hingga akhirnya masuk ke rumah ini. Meskipun merasakan sakit dan perih yang luar biasa namun Arion tetap mencoba untuk bangkit dari tempat ia berbaring.

Zahira hanya diam sambil memperhatikan si pria. Dari pada melarang pria yang keras kepala lebih baik dilihat saja.

Diperhatikan seperti ini membuat Arion bingung, namun ia merasa senang saat melihat respon si gadis, yang tidak berniat untuk menahannya lebih lama.

Arion menurunkan selimut yang saat ini menutup tubuhnya. Matanya terbuka lebar ketika mengetahui bahwa sekarang ia tidak memakai sehelai benangpun untuk menutupi tubuhnya. Hanya ada perban-perban yang saat ini menutupi bagian luka. "Apa kau membuka semua pakaianku?"

Jawaban yang diberikan gadis cantik itu membuat Arion menelan air ludahnya berulang-ulang kali. Sebenarnya gadis ini manusia yang seperti apa. Setelah melepaskan semua pakaiannya, sikap gadis itu biasa aja.

"Jika anda ingin pergi silahkan, namun anda harus seperti ini. Karena pakaian sudah tidak bisa lagi dipakai." Zahira berkata dengan tenang. Tampak dari raut wajahnya, tidak memiliki kecemasan atau beban apapun.

Arion memandang gadis itu dengan tatapan tidak percaya. Bila seandainya ada yang bertemu dengan dirinya dalam kondisi luka parah seperti ini, sudah pasti orang itu akan ketakutan. Namun mengapa gadis itu terlihat tenang ketika melihatnya. Dia baru menyadari bahwa luka di tubuhnya sudah diobati. Dilihatnya selang infus yang menempel di punggung tangannya. "Siapa yang melakukan ini, apakah sudah ada yang mengetahui keberadaanku di sini?" batin Arion.

"Saya tidak tahu bagaimana ceritanya Anda bisa masuk ke rumah saya, dalam kondisi tubuh banyak luka. Sekarang anda sedang dicari-cari di luar. Saya ingin anda pergi dari rumah saya, namun karena orang-orang diluar sana sepertinya masih mencari dan mengawasi rumah saya, saya harus berdiam diri di sini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan anda dari rumah ini." Zahira memandang Arion dengan sedikit tersenyum.

Arion diam dengan mulut yang sedikit terbuka saat mendengar penjelasannya si gadis.

"Saya sudah susah payah menolong anda. Namun bila anda tetap ingin pergi dengan kondisi seperti ini, silahkan. Jika anda tidak ingin pergi maka kembalilah berbaring." Zahira berkata dengan penuh penekanan.

Laki-laki itu terdiam kemudian berbaring dengan patuh mengikuti ucapan gadis itu.

"Ini pertama kalinya ada orang yang berani memberikan perintah untuk ku," batin laki-laki tersebut menatap gadis itu. "Apa kamu yang sudah menolongku?" tanya Arion.

"Apa Anda melihat orang lain selain saya?" Zahira tersenyum dengan sangat manis.

Si lelaki menggelengkan kepalanya.

"Siapa nama Anda?" Meskipun sudah mengetahui nama pria itu lewat kartu identitas yang tadi sempat dibaca, namun tetap saja Zahira bertanya.

Arion diam sejenak. "Jono," jawabnya asal.

Zahira menganggukkan kepalanya seakan dirinya percaya dengan apa yang disampaikan oleh pria tersebut. "Ternyata wajah dengan namamu tidak sesuai," ucapnya.

"Apa maksudmu?" tanya Arion.

"Aku tidak menyangka, namamu Jono. Aku sempat berpikir namamu Ray, Tommy, atau Bram." Zahira tertawa kecil.

Arion hanya diam tanpa menjawab ucapan si gadis. "Siapa nama kamu?"

"Ina," jawab gadis tersebut. Bila si lelaki berdusta, maka ia juga melakukan hal yang sama.

"Aku akan mengantarkan mu ke rumah sakit, jika kondisi di luar sudah tenang. Entah mengapa, sejak tadi, aku merasakan bahwa mereka sedang memantau rumahku," Zahira berkata sambil memandang pria yang saat ini menatapnya dengan manik berwarna coklat.

"Maafkan aku, karena sudah menyeret kamu ke dalam masalah ini. Bagaimana dengan lukaku?"

"Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Luka tusukan di perut tidak terlalu dalam, sehingga tidak merusak organ dalam. Jadi karena itu aku hanya menjahit saja, untuk menghentikan pendarahan. Begitu juga dengan Luka yang lainnya. Aku juga sudah memberikan antibiotik dan obat menghilangkan rasa nyeri." Zahira menjelaskan.

"Kalau begitu, Aku ingin kamu merawatku di sini. Begitu kondisiku sudah membaik, aku akan pergi."

Zahira diam memandang Arion.

"Aku akan memberikan bayaran yang setimpal untukmu." Arion sedang melakukan negosiasi terhadap gadis cantik tersebut.

Melihat wajah pria tersebut, Zahira tidak tega untuk menolak. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku mau ke kamarku, istirahatlah."

"Tunggu, apa kamu akan meninggalkan aku tidur di sini? Tubuhku sakit-sakit bila berbaring tanpa alas seperti ini. Apa tidak ada spring bed yang bisa aku jadikan untuk alas tidur?" Arion merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit dan perih. Dia berharap bisa berbaring di kasur yang empuk.

"Ada kamar di sebelahku, apa kamu bisa berjalan?" Tanya Zahira.

"Iya bisa." Arion menjawab dengan yakin.

"Aku akan membantumu untuk berdiri."

"Terimakasih Cantik." Arion tersenyum ketika Zahira berusaha membantunya untuk berdiri.

"Auw." Arion meringis menahan rasa sakitnya.

"Pelan-pelan saja, apa terasa sakit sekali." Zahira melingkarkan tangannya di belakang punggung lebar milik Arion. Posisi seperti ini, membuat tubuh mereka menjadi sangat dekat. Namun dia tidak memiliki pilihan lain karena hanya dirinya yang ada di rumah ini.

"Iya, tapi kamu tidak perlu cemas, aku sangat kuat." Pria itu tersenyum dengan bibir yang kering dan pucat. Dengan sedikit menahan rasa perih di bagian perut, dada dan lengannya, akhirnya ia bisa duduk dan berangsur-angsur berdiri.

"Tutup tubuhmu! Apa kamu tidak punya rasa malu?"

Zahira berkata dengan kesal ketika pria itu berdiri dan melepaskan selimut.

Namun, Arion justru tersenyum tipis. Melihat wajah gadis cantik yang menjadi dewi penyelamatnya tampak memerah, entah mengapa rasa sakit disekujur tubuh seakan hilang dalam waktu sekejap.

"Percuma saja, kamu sudah lihat. Bukankah kamu juga yang membuat tubuhku polos tanpa menyisakan apapun?" godanya, "Jadi untuk apa aku malu?" 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status