LOGINHari-hari berlalu seperti halaman buku yang dibalik dengan cepat. Pagi datang, siang bergeser, malam menutup tanpa banyak jeda untuk Avrisha berhenti dan mengingat luka lama. Ia menghabiskan waktunya di rumah, ritmenya sederhana. Arel menjadi pusat semestanya kini. Tangisan kecil itu, kepalan tangan mungil yang selalu mencari, dan tatapan polos yang membuat Avrisha merasa punya alasan untuk berdiri tegak. Mbok Sumi menjadi jangkar yang tenang di rumah itu. “Nyonya, Nak Arelnya sudah mandi. Tidurnya nyenyak dari tadi,” lapor Mbok Sumi suatu siang, sambil mengelus lembut punggung bayi itu. Avrisha tersenyum kecil. “Terima kasih, Mbok. Saya tinggal bentar ke dapur.” Ia menyeduh teh, menghela napas lega, menatap halaman belakang yang disinari matahari pucat. Hidupnya memang tak kembali seperti semula, tapi juga tak lagi runtuh. Ia belajar berdamai dengan ritme baru. Bel pintu berbunyi. Mbok Sumi bergegas. “Saya bukakan, Nyonya.” Beberapa detik kemudian, suara perempuan terdengar ri
Avrisha tetap tersenyum sampai tamu terakhir pulang, menjabat tangan tamunya dengan senyum mengembang di bibirnya, dan mengucapkan terima kasih seolah tidak ada bom waktu yang baru saja meledak.Begitu pintu gerbang ditutup, senyum itu luruh.“Pak Yanto,” panggilnya sambil meraih tas. “Tolong antar saya ke rumah sakit. Sekarang.”Mobil melaju cepat, membelah malam Jakarta yang lengang. Lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela seperti garis-garis panjang yang berkejaran. Avrisha menatap lurus ke depan. Tidak menangis, hanya helaan napasnya saja yang menderu berat.Tangannya mengepal di pangkuan.Bukan panik yang ia rasakan, melainkan lelah.Lelah pada pola yang sama, lelah pada drama yang selalu datang ketika ia mulai bernapas lega.Begitu sampai di rumah sakit, Avrisha turun bahkan sebelum mobil benar-benar berhenti. Langkahnya cepat, tegap, suara hak sepatunya beradu dengan lantai koridor yang berkilat.Meira sudah menunggu di depan ruang ICU, wajahnya pucat, matanya sembap.“Bu
Tenda putih bergoyang pelan tertiup angin. Di bawahnya, meja-meja bundar sudah tersusun rapi beralas kain krem, dihiasi rangkaian bunga segar warna putih. Suara shalawat berkumandang lembut dari pengeras suara kecil di pojok halaman, sementara puluhan tamu duduk berjajar, sebagian besar ibu-ibu pengajian yang memakai mukena cantik dan menenteng tas kecil berisi buku doa.Asap tipis dari dapur belakang menguar aroma gulai kambing dan nasi kebuli. Para bapak-bapak duduk di sisi lain, membahas topik-topik ringan mulai dari pekerjaan sampai banyak hal.Di tengah semua keramaian itu, Avrisha berdiri di dekat panggung kecil yang disiapkan untuk prosesi akikah. Bajunya sederhana, gamis anggun berwarna putih tulang dengan detail renda, rambut disanggul rapi, dan wajahnya segar meski ia hanya tidur tiga jam semalam.Perasaan tenang itu pecah begitu hadirin mengalihkan perhatian pada bayi mungil yang digendong Raisa.“Masya Allah, lucu banget”“Ih pipinya kayak bakpao!”“Ganteng banget, kulitn
“Sha, jangan tinggalkan aku, Sha …Avrishaaa!”Avrisha memejamkan mata sejenak. Di dekat pintu, perawat khusus yang ia sewa—berdiri menunggu dengan seragam putih rapi.“Bu Avrisha,” sapa Meira sambil menunduk sopan. “Apa sudah selesai?”Avrisha mengangguk, menaruh map birunya ke dalam tas. “Iya, Mbak Meira. Saya mau titip Mas Arion, ya.”“Tentu, Bu. Ada instruksi tambahan?”Avrisha menarik napas panjang. “Tolong pastikan obat nyerinya diminum tiap empat jam. Kalau kelihatan meringis atau napasnya pendek, biasanya itu tanda tulangnya pegal. Kompres hangat boleh, tapi jangan terlalu panas.”Meira mengangguk cepat, menyimak seperti mencatat dalam kepala.“Siap, Bu.”“Jangan biarkan dia terlalu banyak bicara. Dia gampang sesak kalau emosinya naik.”“Baik.”“Dan tolong kalau malam dia gelisah atau menolak tidur, panggil dokter jaga. Jangan diatur sendiri, ya. Mas Arion itu suka gengsi. Kalau dia bilang kuat, biasanya justru sedang kesakitan.”Meira tersenyum tipis. “Iya, Bu. Saya akan perh
Gatra terbahak, tawanya kasar, lebih mirip lolongan yang keluar dari dada orang yang sudah lama busuk oleh alkohol dan dendam.“CALON SUAMI?!” ujarnya membeo, menatap Elvareno dari ujung kepala sampai kaki. “Apa kamu semurahan itu, Avrisha? Belum cerai dari Arion, tapi udah mengakui laki-laki lain sebagai calon suami dan membawanya ke rumah ini?! Pelacur!”Avrisha tersentak, ia maju satu langkah membawa amarah dan tatapan dingin.“Papa hati-hati kalau bicara,” ucapnya tegas. “Pertama, aku sudah cerai. Sudah ku proses berbulan-bulan lalu dan akta cerainya ada di tanganku. Kedua—” Ia menatap map cokelat di meja. “Semua aset yang Papa sebut-sebut itu atas namaku sekarang dari hasil persidangan. Jadi, Papa nggak punya hak apa pun.”Gatra melongo sebentar, lalu mendesis, “kamu pikir aku percaya? Hah?! Kamu pikir aku bodoh?!”“Kalau Papa nggak mau pergi, aku panggil polisi!”Ruangan itu membeku.Elvareno berdiri tegap di belakangnya, siap kapan pun Gatra kembali maju.Gatra mendekat, wajahn
Avrisha merasakan dadanya gugup, tatapan lembut Elvareno terlalu dalam hingga menciptakan semburat merah di pipinya. Ia cepat-cepat memalingkan wajah. “Eh, Mbok Sumi,” ucapnya cepat, dengan suara terbata. “Tolong bawa bayinya ke kamar, ya. Biar dia tidur dulu.” Mbok Sumi menangkap sinyal dan langsung mengangguk patuh. “Baik, Bu,” jawabnya seraya berlalu pergi. Elvareno mengerling. “Aku ganggu, ya?” “Bukan begitu.” Avrisha merapikan rambutnya, mencoba bersikap netral. “Kita ngobrol di meja makan aja. Kamu pasti belum makan, kan?” Elvareno mengangkat sebelah alisnya, menggoda. “Kalau aku bilang belum, kamu bakal ambilin piring buatku?” “Jangan mimpi,” sahut Avrisha datar, tapi ujung bibirnya naik sedikit menggoreskan senyum samar. “Ah, minimal kamu temenin aku makan.” “Ya udah. Ayo.” Avrisha melangkah lebih dulu ke ruang makan dan pria tampan itu mengikuti dari belakang sambil menahan senyum gemas. Hobinya tak berubah dari dulu, yaitu menggoda Avrisha demi melihat pipi







