Aku membuka mata dan melihat Carla dan Yura yang masih terlelap di sampingku. Aku ingin membangunkan mereka berdua, namun, melihat wajah tidur mereka, aku memilih untuk memotret mereka berdua. Aku mengambil ponselku dan mengabadikan wajah lucu mereka.
Aku bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Mengingat kembali pengalamanku bersama teman-temanku di negeri kangguru ini. Aku sedikit tersenyum dan menenggelamkan seluruh tubuhku ke dalam bathtub.
"Ava! Apa kau masih lama di dalam? Perutku sakit! Cepatlah!" teriak Carla dari luar kamar mandi seraya menggedor pintu kamar mandi.
"Masuk saja! Pintunya tidak aku kunci!" balasku.
"Maksudmu aku hari buang air besar di samping dirimu yang sedang mandi?" tanya Carla dengan nada kesal.
"Ada sekat kaca yang memisahkan kita, bodoh, kalau kau memang tidak tahan, masuk saja!" teriakku.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Carla buru-buru menurun
Ayah dan ibuku menjemputku di bandara. Aku memeluk mereka dengan sangat erat ketika melihat mereka."Cuma 2 hari?" tanya ayahku."Luke, Harry, dan Mason harus berlatih sepak bola, yah, jadi kita pulang, sebenarnya aku masih ingin di Australia," jawabku.Aku lalu berpisah dengan teman-temanku dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka."Kau sudah makan?" tanya ibuku ketika kamu sudah berada di dalam mobil."Ah, aku justru sangat lapar sekarang, aku ingin makan di Wendy's," jawabku."Sepertinya ibu sudah lama tidak makan di Wendy's, kalau begitu, ayo kita kesana," ucap ibuku.Ayahku hanya tertawa ringan dan menginjak pedal gas lebih dalam untuk menuju ke restoran cepat saji itu dengan lebih cepat. Wendy's adalah tempat yang bersejarah untukku. Disana lah aku mendengarkan cerita Liam dan berbaikan dengan ayahku. Hal-hal baik terjadi padaku ketika aku di Wendy's."Ayah yang pesan," perintahku
Aku dan ayahku masuk ke dalam mobil dan pergi ke rumah lama kami, maksudku, rumah sebelum kami pindah ke rumah ibu baruku. Aku dan ayah sudah berniat untuk pergi kesana untuk memilah barang-barang yang akan disumbangkan dan yang akan di simpan."Oke, jadi, silahkan pisahkan barang-barangmu, ayah tidak memiliki banyak barang disini, karena... ya begitulah," ucap ayahku.Aku hanya menghela napas dan pergi ke lantai 2 tempat dimana kamarku berada.Aku membuka pintu kamar dan melihat sekeliling kamarku. Meja rias, lemari, meja belajar, dan sebuah tempat tidur dan kamar mandi dalam ruangan. Tidak ada boneka ataupun dekorasi yang biasanya ada di kamar seorang gadis SMA. Aku rasa tidak ada yang bisa aku sumbangkan selain baju-bajuku yang sudah menumpuk di dalam lemari. Aku selalu memakai pakaian yang aku cuci sendiri dan tidak pernah menyetrikanya, itu merepotkan.Barang-barang pentingku seperti paspor dan kartu tanda penduduk sudah ada di rumah ibuku. Aku rasa
Aku sebenarnya tidak tahu harus berkata apa. Hanya saja, aku tahu kalau ayahku memang hebat. Aku tidak merasa ayah adalah sampah karena masa lalunya. Aku rasa aku sedikit mengerti dengan kehidupan yang dia pilih. Ayah seorang yang kuat. Namun, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya kepada ayah. Aku hanya memandanginya yang tengah melanjutkan kegiatannya memasukan baju-bajuku ke dalam kardus."Ayah rasa sudah selesai, apa masih ada yang ingin kau masukan ke dalam kotak ini?" tanya ayahku."E-eh, sepertinya sudah," jawabku.Raut wajahnya kembali menjadi murung. Ayah lalu mengangkat kardus berisi pakaianku ke mobil. Aku hanya berjalan mengikutinya dan masuk ke mobil dan menunggu.Tidak lama kemudian, ayahku masuk dan memandangiku sejenak dan menyalakan mesin mobil meninggalkan rumah lama kami. Aku masih terdiam, tapi, kepalaku kosong, aku tidak benar-benar memikirkan sesuatu. Ayah adalah manusia yang hebat, sungguh."Mau membeli sesuatu dulu sebelum pulang?" ta
Renovasi rumah ibu sudah selesai. Besok tinggal membersihkan puing-puing dan semuanya sudah siap. Benar kata ayah, tidak akan sampai satu bulan untuk merenovasi rumah ini, atau mungkin karena ayah membayar lebih banyak pekerja? Entahlah, seingatku, ada lebih dari 20 orang yang bekerja merenovasi rumahku.Tidak banyak yang di renovasi, hanya menambahkan sebuah taman yang lumayan luas di belakang rumah dan menodifikasi garasi sehingga bisa langsung menuju ke taman belakang rumah.Selama satu bulan itu juga, aku banyak berdiskusi dengan ayahku dan juga teman-temanku yang mau membantuku mendirikan The Chevron Foundation. Kami juga sudah sepakat untuk menggunakan rumah lamaku sebagai 'markas' dan ayah juga sudah siap menggelontorkan dana untuk menambah kamar dan juga dapur. Rumah itu akan selesai sekitar 2-3 bulan lagi dan aku sangat bersemangat untuk itu."Oke, kalau begitu, aku akan mulai mencari donatur selain ayahmu besok, kau temani aku, ya," ujar Sa
Aku menyadari kalau Sam memberikan tatapan penuh perhatian kepadaku saat ini. Dia seperti tengah memikirkan apa yang terjadi padaku."Sudahlah, Sam, aku tidak apa-apa," ucapku."Hmm, baiklah kalau begitu.""Kemana kita akan mencari donatur? Apa kau tahu?" tanyaku."Kita ke kantor ibuku dulu, dia pasti akan membantu, kemudian kita gunakan koneksinya dan mencari donatur yang lain, mereka pasti akan semangat bisa berpartisipasi dalam yayasan yang digerakkan oleh keluargamu," jelas Sam."Kalau hanya seperti itu, kenapa kau meminta aku untuk menemaniku? Kau bisa melakukannya sendiri kan?""Ava ....""Tapi sudah terlanjur, lanjutkan saja," ucapku seraya memandang keluar.Ah sial, ini bukanlah sesuatu yang kuharapkan hari ini. Mood ku menghilang setelah bertemu Ruby. Menyebalkan sekali, padahal dia sangat ramah denganku."Kenapa kita kesini?" tanyaku yang menyadari kalau ini adalah jalan menuju ke taman milik orang tua Sam.
Ketika aku keluar dari toilet mall, bekas tumpahan kopi yang kubeli sudah hilang. Petugas kebersihan kemungkinan sudah membersihkannya. Aku melirik ke jam besar yang berada di lantai dasar mall. Pukul setengah enam sore. Cepat sekali waktu berlalu jika kau mengisinya dengan menangis di kamar mandi mall.Aku melangkah keluar dari mall dan tampaknya, aku tidak akan mampir ke tempat Sam. Aku ingin pulang.Aku menunggu kereta bawah tanah bersama beberapa orang lainnya yang sepertinya baru saja pulang kerja. Mereka bau keringat.Tidak lama kemudian, kereta datang. Aku kemudian masuk ke dalam dan duduk di sebelah wanita berkemeja putih dan berambut keriting."Ajak aku bicara, nyonya, aku sedang sedih," batinku."Ayolah, pasti kau memiliki beberapa kalimat yang bisa kau sampaikan kepadaku, seperti selamat sore atau menanyakan bagaimana kabarku meskipun kita tidak saling mengenal." Begitulah isi hatiku saat ini."Menyebalkan," ucapku dalam hat
Cahaya matahari menyilaukan mataku yang baru saja terbuka. Aku berbalik menghadap ke sandaran sofa. Aku ketiduran di sofa lagi."Sayang, ayo sarapan, ibu sebentar lagi selesai memanggang roti," ucap ibuku dari arah dapur. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sudah bangun ya?Ah aku malas memikirkannya. Aku menuju ke kamar mandi dan mencuci muka serta menggosok gigi.Aku lalu memperhatikan bayangangku di cermin. Kejadian kemarin masih membekas dan wajahku sangat mencerminkan isi kepalaku saat ini yang juga tengah memikirkan kejadian kemarin.Apa aku memang tidak se-cantik wanita itu?Apa aku memang sangat kurang jika dibandingkan dengannya?Apa semua kisah cintaku harus memiliki momen seperti ini?Aku mungkin hanya salah lihat. Mungkin sebenarnya wanita itu tidak menciumnya. Hanya saja karena aku melihatnya dari arah yang tidak tepat, wanita itu jadi terlihat seperti sedang mencium bibir Sam."Dia menciumku di bibirku, kau ti
"Oke, jadi bagaimana kabar dari ibumu? Apa dia bersedia?" tanyaku tentang meminta ibu Sam untuk ikut menjadi donatur yayasan yang baru keluargaku dirikan."Yah, tentu saja dia dengan senang hati akan ikut membantu, tenang saja," jawab Sam."Kalau begitu semua beres, ayahku juga sudah siap dengan semua hal lainnya dan tinggal menunggu pembangunan markas selesai," ucapku seraya mengacungkan ibu jari."Apa kita mau mulai melakukannya dulu? Maksudku adalah sebaiknya kita mulai menyalurkan semua bantuan-bantuan yang kita dapatkan, meskipun markas memang belum selesai," saran Sam."Mungkin itu boleh juga, lebih cepat lebih baik, aku akan hubungi yang lain, supaya datang kerumahku dan mulai menyalurkan bantuan-bantuan yang sudah kita dapatkan," ucapku menyetujui saran Sam.Aku bergegas mengambil ponsel dan menelpon teman-temanku yang terlibat dalam pembangunan yayasan ini. Dan syukurlah mereka tidak memiliki jadwal yang benar-benar padat dan akan datang k