"Apa?!" Air muka Rigel mendadak pucat saat resepsionis menelepon untuk mengabarkan kalau baru saja terjadi kecelakaan. Bukan hanya itu, batinnya mendadak nyeri saat mengetahui siapa korbannya.
Tanpa memeduli Naresha yang hampir terjungkir dari pangkuan Rigel, karena pria itu beranjak cepat, pria itu bergegas keluar dari ruang kerjanya, menekan tombol lift yang terasa lama terbuka.
Hati Rigel terus berdoa---berharap kalau apa yang didengarnya beberapa menit lalu adalah suatu kebohongan. Ia sendiri masih tak percaya akan kehadiran Binar di perusahaannya. Ada perlu apa wanita itu kemari? Pikirannya bertanya-tanya. Namun, kerumunan yang dilihatnya saat ia sudah sampai di lokasi kejadian begitu menarik hatinya.
Rigel mengurai, mendesak masuk di antara kerumunan itu. Sejurus kemudian, kedua netranya terbelalak tatkala melihat wanita yang menjadi istrinya selama sebulan ini sedang terbujur tak berdaya di atas pangkuan Nira. Tubuh wanita itu mengeluarkan darah, membuat batinnya menatap tidak tega. Perlahan tubuhnya merosot, lalu diraihnya tubuh sang istri dari sekretarisnya.
"Binar ... bangun. Binar ...." Berapa kali pun Rigel memanggil, istrinya hanya membisu dengan mata terpejam damai. Ia mendongak, menatap nyalang satu per satu para karyawannya. "Kenapa kalian hanya berdiri, huh?! Cepat cari bantuan!"
"Kami sudah menelpon ambulance, Tuan. Sepertinya sebentar lagi akan segera sampai," ucap Nira dan benar saja, selang beberapa menit kemudian ambulance pun datang.
Para tim medis segera menurunkan tandu ambulance, membopong Binar, menaruhnya di atas tandu, kemudian memasukkannya ke dalam ambulance. Di saat Rigel hendak masuk ke dalam ambulance, sebelah tangannya tiba-tiba dicekal oleh Naresha.
"Kau tidak berniat masuk ke sana, 'kan?" tanya Naresha dengan tatapan tidak suka, terutama ketika Rigel hanya diam tak menanggapi. "Aku tidak mau naik mobil mengerikan itu. Lebih baik kita naik mobilmu saja," lanjutnya.
"Tapi dia membutuhkanku, Sha," sahut Rigel.
Naresha berdecak kesal. "Apa kau tidak lihat, sudah ada tim medis yang menemaninya?"
Terlihat mulut Rigel sudah terbuka. Pria itu berniat membantah ucapan wanita pujaannya. Entah mengapa, meski sudah ada tim medis yang menemani istrinya, ada rasa tidak rela jika ia harus meninggalkan istrinya. Ada rasa tanggung jawab yang dipikulnya. Sementara itu, beberapa pasang mata menatap nyalang kepadanya. Suami brengsek, mungkin itulah yang sedang dipikirkan para karyawannya. Namun, saat ini ia tidak peduli.
"Biar saya saja yang menemani Bu Binar, Tuan," usul Nira. Pada awalnya, Rigel ingin menolak, namun tarikan Naresha di tangannya membuatnya mengangguk.
***
Naresha membanting ponselnya ke sofa, kemudian menjatuhkan pandangannya kepada kekasihnya. "Mau sampai kapan kau terus memandanginya, huh?! Nanti juga sadar sendiri. Lebih baik sekarang kau antar aku pulang. Aku bosan di sini."
Usapan lembut Rigel terhenti. Pria itu kemudian memutar tubuhnya dan menatap Naresha. "Aku masih harus di sini, Sha. Jika kau ingin pulang, pulanglah sendiri. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu," lirihnya.
Naresha beranjak, kemudian menyilangkan kedua tangan di dada. "Maksudmu, kau lebih memilih wanita sialan itu daripada aku?!" tanyanya tak terima.
"Kumohon, mengertilah, Sha, dan jangan pernah kau mengatai istriku wanita sialan," sahut Rigel dengan lembut. Mendengarnya, napas Naresha memburu, karena tidak terima.
"Oh, jadi sekarang kau mengakui kalau dia istrimu. Baiklah aku mengerti, kalau di matamu sekarang aku bukan siapa-siapa lagi," desis Naresha. Ia kemudian menarik kakinya menuju pintu keluar. Namun, ketika tangannya sudah mencapai gagang pintu, sebelah tangannya ditarik Rigel. "Lepas!" ucapnya seraya menghentak tangannya.
"Siapa yang bilang kalau kau bukan siapa-siapa?!" Nada bicara Rigel meninggi.
Naresha memalingkan wajah enggan menanggapi, hanya gumaman yang terdengar dari bibirnya. "Seharusnya dia bukan hanya patah tulang, tapi mati."
"Apa kau bilang, Naresha?!" bentak Rigel seraya memalingkan wajah Naresha agar menatapnya.
"Cih, bahkan sekarang kau mulai berani membentakku. Jangan-jangan sekarang kau sudah mencintainya," tuduh Naresha seraya tertawa sumbang. Lain halnya dengan Rigel, air muka pria itu berubah merasa bersalah.
"Maaf, aku tak bermaksud membentakmu. Kau tahu bahwa sedari dulu aku hanya mencintaimu. Tapi kali ini, kumohon izinkan aku untuk menemani Binar," mohon Rigel seraya mengelus pipi kekasihnya. "Aku melakukannya karena saat ini dia adalah tanggung jawabku. Selain itu, apa kau tidak lihat bagaimana karyawanku menatap sinis pada kita? Aku tidak ingin mereka beraggapan buruk padamu," lanjutnya, membuat Naresha perlahan mengangguk.
"Baiklah aku maafkan. Sekarang aku pergi dulu," pamit Naresha. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk mengecup pipi kekasihnya.
Tak lama setelah kepergian Naresha, pintu ICU tempat Binar dirawat diketuk, kemudian menampilkan Nira dan seorang pria yang datang. Mata Nira yang langsung tertuju pada istri bosnya menatap dengan pandangan prihatin, sedangkan pria yang datang bersamanya menunduk takut---enggan menatap wajah sang bos.
"Kalian belum pulang?" ucap Rigel pada kedua pegawainya.
"Belum, Tuan," jawab Nira. Ia kemudian memberi kode pada pria di sebelahnya untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. "Ayo, Ndra," bisiknya.
Andra---pria yang berdiri di sebelah Nira---secepat kilat berlari ke arah Rigel, kemudian bersujud di bawah kaki pria itu. "Maaf, maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja. Tadi saya sedang terburu-buru hingga tidak sempat mengerem saat istri Tuan berlari di depan mobil saya," akunya.
"Brengsek! Apa kau tidak lihat dampak dari perbuatanmu, huh?!" geram Rigel seraya menarik kerah Andra agar pria itu berdiri, kemudian melayangkan pukulan-pukulan di wajah dan perut pria itu. Sementara itu, Andra hanya diam menerima hukumannya. "Nira, cepat hubungi polisi dan jebloskan pria ini ke penjara!" titahnya.
Andra menggeleng. "Jangan, Tuan. Saya mohon." Namun lirihannya sama sekali tak diindahkan Rigel. Bosnya itu malah menyeretnya ke luar, melemparkannya ke satpam rumah sakit untuk segera dibawa ke kantor polisi.
Dengan napas terengah Rigel kembali duduk di sebelah brankar Binar, pun dengan Nira yang duduk di seberangnya. Ada rasa kasihan sebenarnya dalam diri Nira pada Andra, namun ia tidak bisa apa-apa. Lagi pula, Andra memang bersalah.
Untuk beberapa saat, kamar itu terasa hening. Hanya bunyi mesin eletrokadriograf yang terdengar. Sampai kemudian, dengan hati-hati Nira menceritakan bagaimana awalnya Binar datang ke kantor untuk menyerahkan kotak makan dan map yang tertinggal, sebuah luka yang tersirat di matanya saat melihat Rigel sedang bersama Naresha, hingga akhirnya dengan perasaan kecewa Binar berlari secepat mungkin, kemudian terjadilah kecelakaan itu.
"Saya tidak tahu apa alasan Tuan menikah dengan Bu Binar, padahal saya tahu kalau Tuan sudah lama berpacaran dengan Bu Naresha. Tapi, apa pun alasannya, saya mohon mulai sekarang Tuan bisa lebih memahami perasaan Bu Binar. Bagaimanapun, statusnya sebagai istri lebih tinggi daripada Bu Naresha," tutur Nira. Ia menghela napas panjang, kemudian beranjak. "Saya pulang dulu. Semoga Bu Binar segera siuman. Assalamu'alaikum," pamitnya seraya menundukkan kepala.
"Wa'alaikumussalam," sahut Rigel setelah sekian menit ia hanya bergeming seraya mendengarkan ucapan Nira. Di saat mata coklat gelapnya menatap istrinya, ada rasa nyeri bagaikan tersayat sembilu. Ia tak menyangka kalau ia adalah jalan yang memicu kecelakaan itu terjadi. "Maaf," lirihnya bersama setetes bulir bening yang lolos di sudut matanya.
Kedua telapak tangan Rigel terkepal erat hingga menampilkan urat-urat yang membiru dan buku-buku jari yang memutih. Rahangnya tampak tegas. Aura dingin kentara menyelimuti paras pria yang baru saja resmi menjadi seorang ayah. Pun, iris coklat gelapnya seakan mematik api amarah pada wanita yang berhasil selamat dari maut beberapa waktu yang lalu.Binar, wanita yang menyandang status ibu baru itu kini hanya bisa terbaring pasrah di atas ranjang pesakitan dengan segala macam alat yang menempel pada tubuhnya. Wanita itu mengalami koma, yaitu situasi darurat di mana tubuh tidak sadar karena menurunnya aktivitas otak karena kondisi tertentu.Selepas dari ruang NICU Akhtar, Rigel bergegas pergi ke ruang dokter yang memanggilkan. Hanya satu yang di pikirannya, yaitu kondisi sang putra. Masih tampak jelas di ingatannya bagaimana tubuh Binar terguling melewati setiap undakan anak tangga, sehingga menyebabkan ceceran d
Derai kekhawatiran itu kentara di wajah wanita paruh baya yang sedang mengikuti brankar yang membawa majikannya. Segala doa ia rapalkan dalam hati. Batinnya tidak sanggup melihat wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi dengan mata terpejam erat dan darah terus-terusan mengalir dari bagian selatan tubuh majikan yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri."Ya Allah, Nona Binar ... hiks ... kenapa ini bisa terjadi?" lirih Bi Jum, wanita paruh baya itu saat pegangan tangannya pada brankar terlepas, karena perawat membawanya ke sebuah ruangan. Sungguh ia tidak rela meninggalkan Binar sendiri di dalam sana, tetapi perawat itu menahannya dan pria di sampingnya agar tidak ikut masuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan Rigel?"Argh ...," erang Rigel sambil meninju tembok tak bersalah.Bi Jum terperanjat. "Yang sabar, Tuan. Sebaiknya kita berdoa agar Allah menyelamatkan Nona Binar dan anak kalian." Sebelah tangannya terulur, tetapi segera ditepis Rigel. Hal itu tak membuat wanita paruh baya
Pelan, Rigel---pengusaha muda nan tampan itu---membuka pintu kamarnya yang berada di rumah orangtuanya dengan perasaan takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap dengan damai. Ya, sejak kematian sang ayah, ia dan Binar memutuskan untuk menemani sang mama sementara waktu.Lelah tampak kentara di wajah Rigel. Ia menarik dasi yang terasa mencekiknya seharian ini sambil menarik kaki ke arah sang istri. Setelah sampai, ia duduk si sisi ranjang, tersenyum kecil sambil mengusap lembut surai kecoklaatan istrinya yang sedang tertidur dalam posisi miring membelakanginya. Menghentikan usapan, sejenak kepalanya berpaling sambil menutup mata dan mengembuskan napas berat. Perkataan dokter sungguh menghantui pikirannya, belum lagi fakta-fakta yang harus ia selidiki. Membuka mata, ia lantas kembali memberi usapan di kepala sang istri. Setelah itu, lama sekali ia mendaratkan bibir di surai kecoklat
Suara ketukan pintu terdengar. Setelah dipersilakan masuk, maka Rigel---si pengetuk---pun membuka pintu, masuk, kemudian duduk di tempat yang dipersilakan. Ada semburat tanda tanya di wajahnya, bahkan semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh, ia sudah tidak sabar mendapat jawaban dari sang dokter yang kini duduk di seberangnya. Rigel berdeham dengan wajah dinginnya. "Bisa kita langsung saja?"Dokter Fatih mengangguk. "Dari gejala-gejala yang terlihat, saya menduga kalau ayah Anda terkena racun risin yang terpapar melalui jalur udara. Entah itu yang di-extract menjadi bubuk, maupun semprot."Dahi Rigel tampak mengerut. "Diduga? Jadi, maksud Dokter itu belum pasti?"Dokter Fatih
Di saat matahari berada di antara waktu Dzuhur dan Maghrib---Ashar---di mana panjang bayang-bayang melebihi panjang benda itu sendiri, lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir Binar sayup-sayup terdengar. Tak seperti biasanya, kali ini wanita berbadan dua itu tak ber-tilawah, pun tidak tartil. Getar dan isak menyusup dalam setiap bacaannya. Sesekali wanita itu berhenti sambil menajamkan indra penglihatannya. Kabur. Kabut itu seakan menebal hingga mengikis jarak pandangnya, membuat rintik hujan air mata tak sengaja jatuh mengenai kitab suci yang dipegangnya."Hal jazā'ul-iḥsāni illal-iḥsān ...." Bersama berakhirnya Ar-Rahman ayat 60 yang artinya, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." rintik hujan air mata Binar semakin deras. Kepala wanita itu semakin menunduk dan bahu ringkihnya bergetar hebat mendapat serangan hebat yang menikam jantungnya. Rasanya, kenapa begitu perih?Tanpa wanit
Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan muntah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur."Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.