Share

Akting Zanna

Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta. 


Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya. "Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.


Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.


Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata  'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.


Terdengar helaan napas pendek Leta, meninggalkan pekerjaan yang telah menghidupi mereka selama ini meskipun jauh dari kata cukup, tetaplah berat bagi Leta. Namun, keselamatan dan masa depan yang cerah untuk putri semata wayangnya jauh lebih penting dibanding apapun.


"Mama akan berhitung dulu, jelas kita harus menghilang. Otomatis mama akan tinggalkan semuanya di sini. Ke depan, mama buka warung saja untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari," cetus Leta sambil menerawang.


Keduanya kembali terdiam, Zanna meresapi kata per kata yang diucapkan oleh Leta. Ia paham bahwa keadaan mereka sangat genting karena kehadiran Bagas Zo. 


Wajah cantik Zanna memerah, memendam amarah yang begitu besar terhadap ayahnya. Kemarahan yang tidak mampu ia lampiaskan selama bertahun-tahun. Kini, kemarahannya memuncak dan memastikan kebencian yang menggunung sudah dalam genggaman tangannya.


Tok tok.

Pintu yang terbuka diketuk. Dua kepala serentak menoleh ke arah pintu. Wajah Leta seketika pucat pasi, sementara wajah Zanna terasa semakin terbakar. 


Seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan masih tampan tersenyum kepada mereka. Tangannya menjinjing dua buah bungkusan, satu kantung kertas berlogo sebuah toko pakaian, satu lagi kantung plastik berisi makanan dan minuman.


Selain pucat pasi, tubuh Leta menegang. Ia baru melihat Bagas Zo lagi setelah bertahun-tahun yang lalu orang itu mengusirnya dari rumah dan memilih hidup bersama dengan wanita lain yang bisa dijualnya. Sementara Zanna Zo semakin memerah melihat Bagas Zo masuk ke dalam rumah serta meletakkan kedua bungkusan yang dibawanya ke atas meja.


"Apa kabar kalian?" Bagas Zo menyapa dengan seringai khasnya.


Tidak ada sahutan atas sapaan Bagas dari Leta maupun Zanna. Tubuh Leta gemetar, rasa takut telah bertambah berkali lipat dari pada rasa takut akan penyiksaan Bagas terhadapnya. Leta seakan merasa telah kehilangan putri satu-satunya bahkan sebelum Bagas mengutarakan niatnya. 


Lelaki itu menghampiri mereka masih memasang seringai. Kini kedua tangannya telah masuk ke dalam saku celana. Bahasa tubuh yang menyepelekan dan merasa superior. "Papa mau bicara dengan mamamu, tolong tinggalkan kami," perintahnya kepada Zanna seraya menggoyangkan kepalanya ke arah luar.


Zanna bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke depan, kini jarak antara mereka begitu dekat. Bola mata Zanna menatap tajam dan dingin sekaligus menantang, "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di sini. Silahkan keluar dan bawa kembali bungkusan itu," usir Zanna dengan nada tertahan.


Wajah Bagas pun memerah, dalam keterkejutannya, dia membalas tatapan tajam Zanna dengan melotot. Emosi telah merayap ke kepalanya. "Berani-beraninya kamu sama orang tua seperti itu?" hardik Bagas dengan keras.


"Orang tua? Benarkah? Orang tua yang ingin menjual istrinya demi uang? Atau orang tua yang juga menginginkan anaknya sebagai alat untuk menambang uang?" ledek Zanna dengan sorot mata merendahkan.


"Kurang ajar!" teriak Bagas seraya mengangkat tangannya ke atas hendak memberikan tamparan kepada putrinya yang dianggap sangat lancang.


Dengan gerakan cepat, Zanna mengayunkan langkah lebih mendekat ke arah Bagas. Jarak mereka hanya sekitar sepuluh senti meter. Perlahan tangan Bagas turun, napasnya memburu dengan mata memerah. Dia benar-benar marah sekarang. 


Zanna melenggang ke arah pintu dengan tenang, lalu mengulurkan tangannya sebagai tanda mempersilakan Bagas agar keluar dari rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara pekikan dari dalam. Leta tengah dibekap oleh Bagas hingga tidak bisa bergerak. 


Gadis cantik itu menoleh ke dalam, gerakannya begitu tenang. Ia memicingkan matanya setelah menyapu keadaan sekitar yang sepi, tapi ia tahu Pak Parjo sedang berada di pos sekolah. Ia akan menjalankan aksinya. Tanpa melepaskan pandangan dari ibunya yang megap-megap nyaris kehabisan napas. Tangan Zanna menghentakkan kain daster lusuh yang dipakainya pada bagian depan. 


Sreek.

Tidak harus menggunakan tenaga lebih, kain itu sobek menganga, menampakkan gundukan kembar yang tengah bersemayam pada bantalan berbentuk setengah lingkaran. Bulat dan berisi dengan warna putih bercahaya. Sesaat, Bagas tidak mengerti maksud Zanna, ia menelan salivanya berulang kali, tanpa melepaskan tatapannya dari maha karya Tuhan yang teramat indah itu.


Srek.

Hentakan kedua pada bagian lengan atas, terbukalah bahu mulus Zanna yang membuat Bagas merasa pusing hingga tanpa disadari, bekapannya pada Leta mengendur. 


Merasa bisa mendapatkan asupan oksigen, Leta megap-megap dengan rakusnya menghirup udara, sebab kepalanya sudah terasa pusing dan melayang. Saat itu Leta tidak bisa berpikir apalagi memberi isyarat kepada Zanna atas apa yang sedang sedang dilakukan oleh putrinya. 


"Toloong ... toloong ... rampook ... toloong!" teriak Zanna sekencang-kencangnya dan mengulang-ulang meminta tolong.


Bagas sangat terkejut, refleks ia menghentakkan Leta sampai jatuh tersungkur ke lantai, lalu berlari ke bagian belakang rumah. Sayangnya, tidak ada pintu lain selain pintu di mana Zanna sedang berteriak dan menangis.


Terdengar suara kaki berlarian dari beberapa orang menuju rumah yang ditempati oleh Zanna. Bagas semakin panik, tidak mungkin berlari keluar melewati pintu itu, sebab orang-orang akan menangkapnya dengan mudah. Pilihan terakhirnya adalah masuk ke dalam kamar dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. 


Malang bagi Bagas, kamar itu tertutup. Satu-satunya jendela adalah yang menghadap ke teras depan. Tidak ada jalan untuk keluar dari sana, Bagas menggeserkan lemari pakaian yang terbuat dari plastik yang sudah tidak bisa berdiri kokoh. Dengan sangat terpaksa, Bagas menjadi sandaran lemari agar tidak jatuh di belakang lemari plastik tersebut, sekaligus menjadi tempat bersembunyi di sana. 


Pak Parjo dan beberapa orang telah sampai di teras, mereka ternganga melihat kondisi Zanna dengan pakaian yang sobek di sana-sini. Mata mereka beringas karena emosi, salah satu di antaranya bertanya, "Mana rampoknya? Dia mau rampok harta apa rampok kamu?" Disusul dengan suara orang-orang menanyakan hal yang sama dengan riuh rendah.


Zanna menunjuk ke arah dalam dengan dagunya, sementara kedua tangannya sibuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka sambil terduduk di lantai dan berlinang air mata. 


Seseorang berteriak, "Ibu Leta! Bu, ibu tidak apa-apa?" Sambil menghampiri Leta dan memapahnya keluar. Sementara beberapa orang langsung bergerak cepat menggeledah rumah yang hanya terdiri dari tiga ruangan. Dapur, ruang depan serbaguna dan kamar tidur. 


Kamar tidur terkunci dari dalam, serempak mereka mengambil keputusan untuk mendobrak pintu, mereka berhasil merusak pintu dan masuk ke dalam kamar sempit itu. 


Bagas Zo ditemukan di belakang lemari plastik dalam kondisi berjongkok dengan kedua tangan memegangi lemari agar tidak roboh ke depan. Sontak Bagas ditarik ramai-ramai dan digusur keluar dari kamar, meninggalkan lemari yang benar-benar jatuh terbanting ke lantai. Mereka tersulut emosi terlebih setelah melihat kondisi Zanna dan Leta.


Tak ayal, pukulan dan tendangan liar dari warga setempat harus dirasakan oleh Bagas. Ia menjadi bulan-bulanan warga yang semakin lama, semakin banyak. Sementara para wanita terlihat sibuk mengurusi Leta dan Zanna sambil bertanya-tanya dengan ramai.


Setelah ketua warga datang ke lokasi, pemukulan terhadap Bagas yang sudah babak belur, berhenti. Ketua warga dibantu dengan warga berbondong-bondong menyerahkan Bagas ke kantor polisi.


Tuduhan terhadap Bagas tidak tanggung-tanggung, yaitu upaya pemerkosaan, sebab tidak masuk akal bagi warga kalau Bagas akan merampok di rumah Leta yang miskin itu, apalagi penampilan Bagas sangat necis. 


Bagas Zo mengatakan kepada polisi bahwa dia adalah ayah kandung Zanna dan Leta adalah mantan istri yang diceraikannya, dia berada di situ untuk membicarakan putrinya yang akan memasuki masa perkuliahan.


Mendengar hal itu, warga tidak percaya, mereka menyangkal dengan berbagai asumsi, 

"Mana ada mantan istri yang tidak mengenali mantan suaminya?"

"Bagaimana ceritanya ayah kandung merobek baju yang dikenakan oleh anaknya sendiri kalau tidak bertujuan mesum?"

"Kalau memang tidak bersalah, kenapa harus bersembunyi di balik lemari?"

"Kenapa Ibu Leta di dorong jatuh? Heh, beraninya sama orang cacat." 

"Lagian kalau memang benar anaknya, kenapa membiarkan anaknya hidup miskin padahal Anda orang kaya?"


Suara-suara itu hiruk pikuk dan riuh rendah. Suasana kembali memanas, orang-orang yang bergerombol akan mudah tersulut emosinya hanya mendengar sebuah kalimat provokasi. Melihat kondisi yang mengarah tidak kondusif, pihak kepolisian berusaha menghalau warga dan berjanji akan menyelidikinya secepat dan sebaik mungkin. 


Perlahan warga mundur lalu meninggalkan kantor polisi satu per satu, tapi ada juga yang masih bertahan di sana, karena ingin tahu seperti apa proses yang akan terjadi selanjutnya.


Zanna telah berganti pakaian dan merasa lelah berdrama menangis. Ia merebahkan dirinya di atas kasur lepek yang keras. Matanya memandang nanar pada satu titik, masih melamunkan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia yakin, Bagas akan menekan ibunya seandainya dibiarkan mereka saling bicara. Sudah pasti, hasilnya adalah kemenangan atas rencana Bagas Zo. Zanna bergidik ngeri. 


Leta memasuki kamar melalui pintu yang telah rusak akibat didobrak paksa, gerakannya terburu-buru sambil agak meringis merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Dia duduk di pinggiran ranjang, suara derit ranjang tua itu terdengar nyaring tatkala mendapat beban tambahan dari Leta. Matanya terlihat basah dan merah. 


"Nak, bereskan barang-barang pentingmu, masukkan ke dalam tas ransel, lalu temuilah teman mama, tinggalkan di sana barangnya lalu kamu kembali pulang. Besok pagi kita sama-sama bawa barang lainnya, lalu kembali kesini. Kita akan lakukan kepindahan secara diam-diam," perintah Leta kepada putrinya. "Jangan khawatir, mama punya sedikit tabungan untuk menyewa tempat baru. Pokoknya keluar dulu dari sini. Usahakan tetangga tidak ada yang tahu kepergian kita," lanjut Leta perlahan.


Gadis itu menoleh kepada Leta, terlihat ibunya menahan sakit dan sorot matanya menyiratkan rasa takut yang nyata. Hati Zanna mencelos, perasaannya teramat pedih. "Ya, aku ikut apa kata mama," jawabnya dengan penuh keyakinan. 


Tok tok tok

Suara ketukan pada pintu. Leta berdiri dan tergopoh-gopoh ke pintu sambil berseru, "Siapa?" Dengan mimik wajah bertanya-tanya.


"Kami dari kepolisian," sahut seseorang dari balik pintu. 


Leta tertegun sejenak. "Polisi?" gumamnya semakin resah. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nita Rezky
keren bgt aktingnya zannaa....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status