Share

Rahasia Leta

Hari tanpa sekolah adalah hari paling menyedihkan bagi Zanna. Dia merasa bosan dan muak atas hidupnya yang selalu kesepian. Dulu sewaktu masih kecil, Leta selalu ada di samping Zanna. Pelukan itu, kecupan itu adalah sarapan setiap paginya. 

Perlahan semuanya memudar, Leta bagaikan orang asing yang enggan mengulurkan tangannya. Bahkan berbicara dengan saling menatap mata pun, sudah tidak dilakukannya lagi. 

“Ada apa dengan orang-orang yang beranjak dewasa itu? Apakah karena kami tidak selucu waktu masih kecil? Tidak menggemaskan atau kenapa sih?” gumam Zanna dengan frustasi. 

Lamunannya buyar ketika suara Leta terdengar, “Zanna, kamu sudah tidak ada kelas hari ini?” tanya Leta dengan nada heran. 

“Sudah santai Ma, tinggal tunggu acara perpisahan. Mama kan harus datang, ada yang perlu mama tanda tangani,” sahut Zanna.

“Kalau mama hadir, apa kamu gak malu? Apa kamu gak akan ditertawakan dan diledek teman-temanmu?” tanya Leta merasa khawatir. 

Bertahun-tahun putrinya itu harus mengalami perundungan dan penindasan, juga cemoohan yang tidak pernah berhenti. Sampai suatu hari, pada saat Zanna baru masuk Sekolah Menengah Pertama, melarang ibunya datang ke sekolah hanya karena tidak tahan lagi dicemooh oleh teman-temannya. 

“Biar saja mereka sibuk mencemoohku, Mama harus datang untuk menerima penghargaan, aku tidak merasa malu Ma, Mama adalah ibu yang hebat buatku,” perkataan Zanna menyentuh hati Leta. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. 

“Baiklah, Sayang. Mama akan datang memakai baju terbaik mama.” Leta menghampiri Zanna dan mencium kepalanya. 

Leta Letisia, melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya. Hari ini ada kelas pagi, tapi setelah itu dia bebas sampai siang. Dia bisa menemani putrinya di rumah. 

Teringat peristiwa yang telah lewat, ketika Leta melihat putrinya bersimpuh di tanah kering, dikelilingi oleh anak-anak lain yang terus melakukan perundungan,

“Mata picek, mata picek, tangan kempreng, tangan kempreng!” seru mereka berirama sahut-sahutan. 

Salah satu dari mereka mulai melempari putrinya dengan pasir, teman-temannya terprovokasi dan ikut mengambil pasir lalu beramai-ramai melempari Zanna sambil berteriak, “Anak bajak laut, pergilah sana ke laut. Anak mata picek bajak laut!” seru mereka. 

Leta menyaksikan semuanya, ia segera berlari menghampiri mereka sambil teriak, “Bubar kalian, bubaarr ....” Salah satu dari mereka mengomandoi dan berteriak, “Ada bajak lauuutt, pergiiii ...!” 

Mereka membubarkan diri sambil berlari ke segala penjuru. Waktu itu, Zanna sudah memasuki kelas enam sekolah dasar. Sejak peristiwa itu, dia mogok sekolah dua hari, merasa trauma bertemu dengan teman-temannya. 

Leta mengadukan hal tersebut kepada pihak sekolah. Zanna dijemput oleh wali kelasnya sementara teman-teman yang melakukan perundungan kepada putrinya mendapatkan hukuman yaitu, berjemur di lapangan sepanjang jam pelajaran. 

Akan tetapi, tadi Zanna memintanya untuk hadir diundangan sekolah. Dia sudah tidak takut lagi, membuat hati Leta senang sekaligus terharu, apalagi sang Putri mengatakan bahwa dirinya adalah ibu terhebat.

“Mama sarapannya nanti aja ya, cuma ngajar satu jam kok,” ujar Leta sambil melirik meja makan, ada nasi goreng di sana. 

“Iya Ma,” sahut Zanna seraya mengambil tudung saji yang digantung di dinding lalu menutup sepiring nasi goreng buatannya.

Zanna mengantar kepergian Leta dengan pandangan matanya. Memperhatikan tangan kiri Leta yang terkulai. Tangan itu tidak bisa diajak bekerja. Seandainya dulu Leta mendapatkan perawatan yang baik, tentu cacat di tubuhnya tidak akan separah ini. 

Dia teringat bagaimana ayahnya memperlakukan Leta selalu dengan kekerasan fisik, hingga membuat ibunya cacat, alih-alih bertanggung jawab mengobati, tapi justru malah mengusir mereka keluar dari rumah yang telah ditempatinya dari sebelum Zanna lahir. 

Karena ayahnya, Zanna harus menerima perlakuan kasar dari orang-orang yang menganggap dirinya adalah anak buangan. Hal itu membuat ia menutup diri rapat-rapat. Tidak membiarkan siapa pun bisa menyentuh hatinya. Apalagi sang Ayah, Bagas Zo yang mulai rutin menemuinya secara diam-diam. 

Zanna mendengus, dia sangat membenci lelaki itu. Peristiwa pahit yang dialaminya waktu kecil, masih jelas terbayang di benaknya. Dia memang tidak ingin melupakan, berharap suatu saat nanti, saat ia sudah mempunyai kekuatan, akan menunjukkan kehebatannya, ingin membuat ayahnya menyesal karena telah membuangnya. Untuk itulah ia menolak memaafkan Bagas Zo.

Dia memutuskan untuk memberi tahu Leta bahwa Bagas Zo dalam satu tahun ini, telah mengunjunginya beberapa kali di  luar rumah dan kemarin berani masuk ke dalam rumah meskipun tanpa percakapan apa-apa antara dia dengan ayahnya. 

Pertemuan pertama, saat dia sedang menjemur pakaian. Zanna yang langsung mengenali sosok ayahnya, menatapnya dengan datar dan dingin. Tidak ada rona terkejut dari wajahnya. 

“Apa kabar putriku? Kamu telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Papa merindukanmu siang malam.” Masih terngiang jelas ucapan ayahnya waktu itu. 

Zanna benar-benar tidak mempedulikannya, dia melewati Bagas tanpa menoleh dengan ekspresi wajah yang datar dan dingin.

Pertemuan kedua, ia baru saja pulang dari mengerjakan tugas sekolah, tiba-tiba ayahnya menjejeri langkah Zanna yang hanya tinggal beberapa meter saja dari rumah. 

“Halo putriku, bagaimana sekolahnya? Kamu pasti capek ya pulang pergi jalan kaki setiap hari. Papa belikan motor ya untuk kamu?” Bagas Zo berusaha menyuap Zanna yang tidak bergeming. 

Sesampainya di rumah, Zanna langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia melihat ayahnya masih terpaku di depan rumah sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya berlalu dari sana. 


Pertemuan mereka yang terakhir adalah kemarin. Ayahnya nyelonong masuk ke dalam rumah yang pintunya masih terbuka dan Zanna sedang berusaha memasukkan butiran nasi ke mulutnya sambil berlinang air mata. 


Pagi itu pukul delapan lewat dua puluh menit, selepas Leta sarapan, mereka masih duduk di meja makan, Zanna akhirnya berterus terang kepada ibunya tentang kedatangan Bagas Zo secara detail. 


Wajah Leta begitu pucat pasi. Kekhawatiran dan ketakutannya selama ini, hampir mendekati kenyataan. Kali ini, Leta harus berterus terang kepada Zanna tentang apa yang terjadi di antara Leta dengan Bagas Zo dan apa yang selalu ditakutkan oleh Leta selama ini. 


“Kamu sudah dewasa sekarang, mama akan berterus terang padamu kenyataan yang sebenarnya tentang papamu dan kenapa mama mendapat penyiksaan dan pengusiran.” Leta berhenti sejenak, menarik napas panjang. 


“Sebenarnya hal ini sangat berat untuk mama ungkapkan, karena memang permasalahannya bukan permasalahan umum yang wajar terjadi, ini di luar batas kewajaran, mama mengatakan ini supaya kamu berhati-hati,” lanjut Leta, terpekur menatap lantai abu-abu, ubin yang hanya terbuat dari polesan semen.


Gadis itu bergerak gelisah, terlihat tidak sabar ingin mendengar cerita sesungguhnya. Pembukaan cerita Leta bagi Zanna terlalu panjang, tapi ia tidak berani protes saat melihat ibunya memasang mimik wajah serius seperti saat ini. 


Leta menarik napas panjang lagi, terlalu berat baginya menanggung semua derita yang timbul, berat juga untuk menceritakan hal-hal yang belum saatnya Zanna tahu mengingat usianya baru saja lepas sembilan belas tahun. Tapi kalau tidak sekarang, Leta khawatir sudah tidak ada waktu lagi. 


Matanya yang tinggal sebelah kanan menatap Zanna dengan gelisah, “Berulang kali Bagas Zo meminta Mama untuk menemani temannya di hotel dengan imbalan sejumlah uang.” Leta berhenti untuk melihat reaksi Zanna. 


Tidak ada tanda-tanda terkejut dari wajah putrinya itu, yang ada hanya rasa penasaran atas ceritanya. 


“Kamu belum mengerti ya?” ujar Leta lirih, putrinya masih polos untuk memahami permasalahan orang-orang dewasa. “Begini Zanna, kalau tiba-tiba Bagas Zo datang menyuruh kamu menikah dengan orang yang tidak kamu kenal, mau gak?” tanya Leta seraya memperhatikan raut wajah Zanna. 


“Gak mau lah, siapa juga yang mau nikah iihh amit-amit!” seru Zanna seraya bergidik ngeri.


“Kalau dipaksa? Dipukuli?” tanya Leta mengejar.


“Ya tetap gak mau,” ujar Zanna sungguh-sungguh. “Eh, memangnya mama di suruh menikah? Kan mama sudah menikah dengan papa.” Zanna terheran-heran, menatap Leta dengan mengangkat alisnya.


“Bukan disuruh menikah, tapi disuruh melayani laki-laki lain di dalam kamar hotel. Bahasa kasarnya, mama disuruh menjadi pelacur. Paham kamu sekarang?” Leta merasa sedikit kesal karena kepolosan putrinya itu. 


Zanna ternganga dengan mata melotot, baginya itu tidak masuk akal. Ayahnya tega memberikan istrinya sendiri kepada lelaki lain yang membuat mamanya dianiaya sampai diusir dari rumah, karena menolak keinginan Bagas. Ia mulai mengerti alasannya. 


Tidak lama kemudian, Zanna menangis meraung-raung. Leta terkejut melihat putrinya seperti itu, Leta menghampiri gadis kecilnya yang berbadan besar itu dan memeluknya erat dengan satu tangan.


Leta memberikan waktu kepada putrinya untuk menumpahkan beban hati lewat tangisan, meski ia harus menyampaikan rasa kekhawatirannya. Zanna yang mengerti bahwa ibunya masih ingin membicarakan sesuatu, ia berusaha menghentikan tangisnya masih sambil sesenggukan, “Katakan saja Ma ..,” ujar Zanna lirih. 


Leta memperbaiki posisi duduknya, “Bagas Zo tiba-tiba menemuimu pasti karena dia melihat kamu sebagai aset atau modal untuk mendapatkan uang dari lelaki, karena kamu cantik. Bukan karena peduli. Kalau dia peduli, dia akan mencarimu dari dulu, sebelum kamu menjadi gadis yang cantik seperti ini,” tutur Leta panjang lebar, mencoba membuat putrinya mengerti.


“Paling tidak, dia akan mengawinkanmu dengan lelaki tua yang kaya raya, pokoknya yang bisa menghasilkan uang banyak buat dia,” lanjut Leta, “Sekarang kamu paham kan apa yang mama takutkan?” tanya Leta seraya mengelus rambut putrinya. 


“Ngerti, Ma. Zanna ngerti sekali,” sahut Zanna. 


Mereka kembali berpelukan dalam suasana tertekan karena merasa hidup mereka masih terancam bahaya. Leta tidak habis pikir, kenapa Bagas bisa hadir di hadapan putrinya tepat saat Zanna tumbuh beranjak dewasa.


"Apakah selama ini dia mengetahui keberadaan kami dan sengaja menunggu sampai Zanna dianggap berharga olehnya? Betapa kejinya seorang ayah yang menganggap anaknya sendiri sebagai komoditas," batin Leta geram.


Tangan kanan dengan kulit yang sudah mulai terlihat kehilangan elastisitasnya, menyentuh kulit pipi Zanna. Tatapan matanya begitu sendu, akankah kini putrinya selamat dari cengkeraman Bagas, Leta meragukannya.


"Sayang, bagaimana kalau kita pindah dari sini secara diam-diam? Agar kita, terutama kamu, tidak bertemu lagi dengan lelaki itu." Leta mengucapkan kalimatnya dengan nada mengandung permohonan. 


Gadis itu terdiam, mencerna kalimat Leta dan berpikir. Hal yang melintas di benaknya adalah pindah tempat tinggal itu sangat membutuhkan biaya, sementara mereka bisa dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan. 


"Zanna bisa mengatasi hal ini Ma, jangan khawatir," sahut Zanna ragu-ragu, kenyataannya, ia sangat mengkhawatirkan Leta. Terpikir olehnya bahwa bisa saja Leta dijadikan senjata oleh Bagas agar ia mau menuruti keinginannya. 


Pikiran Zanna melayang ke masa kecilnya. Semua terekam jelas dalam ingatan. Ia bergidik ngeri, seketika menoleh dan menatap Leta lekat-lekat, "Ayo kita pindah saja, Ma ... tapi, apakah mama punya uang?" Manik mata coklat itu menyiratkan kekhawatiran akan masa depan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status