Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.
Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.
Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal bis kampung rambutan. Ini adalah perjalanan yang sangat jauh baginya bahkan di seumur hidupnya.
Ia mengingat segala hal yang terjadi begitu cepat dan beruntun di kepalanya, terutama kejadian di rumah Danish dua hari yang lalu, saat dirinya menginap karena menghindari rencana penculikan dari ayahnya sendiri.
Pagi itu, Zanna tengah menghirup udara segar di teras paviliun yang merupakan kamar dari Danish, ia duduk di kursi taman, menunggu matahari membiaskan cahayanya agar ia bisa berjemur. Tiba-tiba telinganya menangkap suara mesin mobil dan pagar yang digeret. Dari balik pepohonan, Zanna melihat sebuah mobil melaju perlahan dan berhenti di belakang motor yang membawanya ke sini.
Seseorang membuka pintu mobil dari dalam, keluarlah sosok yang membuat dirinya sesak napas seketika, tubuhnya bergetar hebat, jantungnya terkesiap seakan sempat melompat keluar dari rongga dadanya. Mulut indah itu ternganga dengan mata melotot. Alam bawah sadarnya mengingatkan agar ia segera angkat kaki dari kursi yang sedang didudukinya, tapi sesaat ia kebingungan.
'Apa artinya semua ini? Apakah seseorang di rumah Danish adalah antek-antek dari Bagas Zo? Apakah Danish sengaja membawanya ke sini untuk menjebaknya? Apakah lelaki yang bersama Bagas adalah lelaki yang akan menculiknya? Atau justru lelaki yang akan membeli dirinya dari Bagas?' Saat itu Zanna hampir merasa gila dengan situasi yang dihadapinya.
Untuk sesaat Zanna ragu, pasrah pada ayahnya atau berusaha menyelamatkan diri, sementara saat itu ia menganggap dirinya telah masuk dengan suka rela ke dalam perangkap yang dibuat oleh Danish. Air mata jatuh bercucuran, tapi justru air mata itu memberinya kekuatan untuk berontak dan menyelamatkan diri.
Dia harus segera bergerak, seandainya di dalam sana Danish telah bertemu dengan Bagas, tentu mereka akan mendatangi paviliun ini. Berpikir seperti itu membuat Zanna berlari masuk ke dalam paviliun dan mengunci pintu, lalu melesat ke dalam kamar untuk mengambil tas travel yang di dalamnya berisi rompi titipan Leta.
Tidak mau membuang waktu dengan menukarkan tas travel milik Danish dengan tas miliknya, ia meraih sepatu olah raga yang teronggok di depan pintu, memasukkan kakinya dengan terburu-buru dan segera kembali ke arah depan, melihat situasi dengan cepat. Menyapukan pandangan ke sekeliling, sepi.
Zanna tertegun, lewat mana ia akan kabur dari sana? Lewat pos satpam depan? Jelas tidak mungkin, mereka pasti sudah menjadikan satpam tersebut sebagai penjaga yang akan bertindak tegas saat tawanannya hendak melarikan diri.
Dia teringat ada tembok tinggi yang terlihat dari jendela kamar paviliun itu, dan pohon besar di depannya. Zanna memutuskan untuk kabur memanjat tembok, entah bagaimana caranya, ia akan mencari jalan nanti. Ia pun kembali berlari ke arah kamar dan membuka jendela, tas travel jinjing pasti akan menyulitkan pergerakannya, Zanna meloloskan jinjingan melalui kedua tangannya bersamaan dari arah atas, beruntung tubuhnya cukup kecil hingga tas jinjing itu bisa dipakainya seperti ransel.
Ia melompati jendela dan melangkah cepat menuju pohon itu, lalu mulai memanjat, menapakkan kakinya melalui celah ranting tebal dan cabang-cabang pohon. Sampai diujung tembok yang ternyata bertabur pecahan kaca. Dengan kebingungan ia melihat sekeliling, merasa aneh karena semua tampak tenang dan sepi.
Akhirnya ia menemukan jalan untuk pergi dari sana. seandainya bisa berjalan di atas tembok hanya berjarak sekitar tiga meter saja dari tempatnya, ia bisa turun dari tembok itu dengan memijak tembok tempat sampah di bawahnya. Dengan catatan, tidak sampai terjatuh, sebab sebuah keributan akan memancing Bagas Zo keluar dari rumah itu.
Gadis itu merasa ketakutan harus berjalan di atas potongan kaca yang runcing dan rapat, ia ragu apakah bisa melewati tantangan itu atau menyerah dan mencari jalan lain? Sesaat matanya menangkap seseorang keluar dari area halaman di samping paviliun. Ia mengira mungkin seseorang itu adalah salah satu yang bekerja di sini.
Seketika hatinya berbunga, ada sebuah pintu samping yang mengakses jalan keluar dari sana, menuju sebuah gang kecil. Jantungnya berdetak lebih kencang, ia harus segera turun dari atas pohon dan mengendap-endap menuju pintu itu. Matanya menyapu seluruh area dengan cepat, ia mulai menuruni pohon besar itu, sampai dengan selamat menjejak tanah.
Zanna meningkatkan kewaspadaannya, ia harus melewati bagian depan paviliun yang terbuka, perkiraannya, halaman depan paviliun bisa terlihat dari arah rumah induk. Ia bimbang untuk melewatinya, 'bagaimana kalau ayahnya yang entah berada di mana dalam rumah tersebut, melihatnya?' Ia tertegun, kembali berpikir. Satu-satunya cara adalah nekat.
Ia mengikat rambutnya dan menggulung semua rambut menjadi berbentuk cepol, berjalan cepat tanpa bersuara sambil agak menunduk adalah pilihannya. Nasib memang berpihak padanya, belum saatnya ia untuk bertemu dengan Bagas Zo. Ia berhasil mencapai pintu samping yang tidak terkunci, menyelinap dalam celahnya lalu berjalan ke arah orang yang tadi keluar dari sana.
Tidak jauh dari sana ada sebuah warung yang menjual sayur mayur, Zanna melihat orang itu sedang berbelanja. Ia melewatinya dan melirik dengan sudut mata, dalam hatinya berkata, "Terima kasih, Mbak."
Zanna sampai di jalan raya, menghentikan angkutan kota tanpa tahu tujuannya kemana, yang penting keluar dari area sana. Ia melakukan trik naik turun angkutan sebanyak tiga kali dan berhenti saat matanya melihat sebuah wartel yang menyatu dengan warnet.
Ia menelepon Pak RT, untuk meminta berbicara dengan ibunya. Hanya ingin mengabari bahwa ia baik-baik saja agar perasaannya lebih tenang. Saat itu, Leta memberikan ide agar Zanna melanjutkan kuliah di luar kota dan bisa tinggal di asrama kampus, untuk itu Leta mengatakan bahwa Zanna harus segera bergerak, lebih cepat lebih baik.
Zanna mencegat taksi untuk menuju alamat Lidya, tempat di mana ia menitipkan berkas dan pakaian terbaiknya. Di sana pun ia tidak bisa berlama-lama karena Danish mengetahui alamat itu. Ia menggunakan uang yang ditinggalkan Bagas di meja makan, masih berjumlah lima lembar seratus ribuan, satu lembar diambilnya untuk membayar argo taksi yang berjumlah tujuh puluh ribu lebih.
Tanpa mengatakan banyak hal kepada Lidya, ia hanya pamit bahwa dirinya harus segera mendaftarkan diri pada Universitas di luar kota dan meminta sebuah dus untuk tempat pakaian dan berkas pentingnya.
Lidya memesankan taksi untuk Zanna pergi ke terminal bis tanpa tahu tujuan gadis itu hendak kemana. Lidya membawakan bekal makanan dan air minum yang di masukkan ke dalam tas travel Zanna.
Namun, Zanna tidak pergi hari itu, dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan membulatkan tekad. Ia menyewa sebuah kamar di dekat terminal untuk bermalam di sana. Sore harinya, ia mencari warnet dan mengumpulkan semua data Universitas hingga pilihannya jatuh ke kota Jakarta.
Dia telah bertekad, apapun yang terjadi, demi sebuah gelar untuk memuluskan cita-citanya yang sederhana; Keluar dari kemiskinan, ia harus merampungkan perkuliahan tepat waktu dan segera mencari pekerjaan, dalam tempo yang singkat ia berharap mendapatkan pencapaian yang luar biasa untuk membuktikan diri sekaligus membalaskan dendam kepada ayahnya.
Di bis inilah sekarang, gadis itu sedang menyongsong masa depannya, sendiri. Tanpa bantuan siapapun. Hanya berharap pendaftarannya lancar dan ia resmi menjadi anggota dari almamater yang ditujunya. Sebelum menaiki bis, Zanna melakukan panggilan interlokal kebagian pendaftaran mahasiswa baru dan dipersilakan untuk datang keesokan harinya.
Sebuah buku kecil dipegangnya erat-erat, di sana ada catatan mengenai alamat kampus, tempat penginapan murah dan taksi apa yang harus ia naiki. Sumber datanya ia peroleh dari hasil surfing net sewaktu di warnet kemarin.
"Mama, do'akan Zanna," batinnya sambil memejamkan mata dan menangis dalam diam. Hatinya begitu pedih atas perjalanan hidup yang ia lalui dan harus berperan sedirian, tanpa orang tua, tanpa saudara, tanpa teman adalah kesepian yang menyiksa jiwa dan raganya.
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik
Masa orientasi kampus adalah masa kelam tersendiri bagi Zanna. Di hari pertamanya berbaur dengan mahasiswa-mahasiswi lain, semua memandang gadis itu dengan tatapan aneh dan dengan caranya masing-masing, mereka berusaha menghindar agar tidak berada dekat-dekat dengan dirinya.Meskipun sudah terbiasa dikucilkan, kali ini, Zanna merasakan sesuatu yang lain. Lebih menyakitkan dan menyedihkan. Ia hanya menghibur dirinya sendiri dengan ungkapan, 'mungkin baru lulus SMA masih kekanak-kanakkan, ayo Zanna ... kuatkan hatimu'. Ia mengatakannya terus berulang-ulang.Saat istirahat, perutnya berontak, ia merasa kelaparan.Zanna mengikuti petunjuk menuju kantin. Sayangnya kantin itu penuh. Dengan perlahan Zanna melangkah mundur, dirinya tidak berani ikut duduk bersama yang lainnya karena khawatir mereka semua terganggu oleh kehadirannya.Akhirnya ia memutuskan membeli beberapa buah gorengan dan es teh, lalu beranjak
Zanna menghidangkan segelas air putih yang diambilnya dari dispenser diluar kamar untuk teman barunya, Marcelia yang masih mondar-mandir di kamarnya."Uh, di sini panas banget. Lo udah berapa lama tinggal sini?" Marcel memutar tombol kipas angin yang melekat pada dinding di sebelah ranjang."Baru semalam di sini," jawab Zanna sambil memperhatikan Marcelia memutar tombol itu. Dari kemarin ia bertanya-tanya dalam hatinya, fungsi tombol itu untuk apa, ternyata pengontrol kipas angin yang berputar di plafon kamarnya.Marcelia ikut duduk di pinggir kasur, karena di kamar itu, satu-satunya kursi dipakai oleh Zanna untuk meletakkan tasnya."Minum dulu, maaf tidak ada suguhan lain," ujar Zanna merasa tidak enak hati. "Aku ke kamar mandi dulu ya, mau ganti baju, gerah," lanjut Zanna, kali ini berpamitan sebentar.Gadis itu hanya mengangguk sambil meraih gelas berisi air putih yang disuguhkan Zanna. Sekali teguk, tandas
Di sinilah Zanna terdampar, di sebuah salon mewah yang bahkan ia tidak berani menginjak lantai licin berkilau itu kalau saja Marcelia tidak menarik tangan dan memaksanya masuk ke dalam. Zanna merasa risih dengan sendal jepitnya yang kotor.Marcelia menyerahkan Zanna kepada seorang capster sambil memberitahukan banyak hal. "Beri dia model rambut yang kekinian tapi cocok dengan wajahnya, jangan lupa abis potong dimasker, lalu medi pedi," tutur Marcel."Sip, siip ...." Salah seorang dari mereka menarik Zanna untuk dibawa ke tempat cuci rambut. Zanna begitu kikuk dan merana, tangan orang asing merambah rambutnya dan ia merasa malu hati karenanya.Sementara Zanna dipermak, Marcel menyelinap keluar dari salon dan berkeliling mencari sandal, sepatu serta baju untuk Zanna kuliah. Baju yang dipilih Marcel hanya beberapa helai celana jeans dengan warna berbeda serta atasan yang terdiri dari beberapa T-shirt serta blouse kain. Ia memilihkan paka
BMW 4 series memasuki area kampus dan berhenti tepat di samping pintu gerbang asrama yang baru saja dibuka. Seorang gadis mengenakan kaus turtle neck tanpa lengan dengan jaket diikat pada pinggang rampingnya, memakai rok pendek lebar berpadu celana leging bersepatu kets, ia melangkah memasuki gerbang asrama.Hari masih sangat pagi untuk ukuran anak-anak mahasiswa yang masih suka bermalas-malasan, tapi mereka diwajibkan bangun pagi karena setiap kegiatan dilakukan paling lambat pukul 7.30.Gadis itu mengetuk pintu kamar Zanna, seseorang yang melihatnya menegur, "hai ... cari Zanna ya? Dia lagi mandi tuh.""Oh, makasih," sahut Marcel seraya menghampiri satu set kursi kayu tua dan duduk di atasnya.Suasana pagi cukup ramai di asrama, lalu lalang mahasiswi membawa handuk dan peralatan mandi, sebagian sudah siap-siap berangkat dan menunggu temannya dengan duduk di ruang tunggu tak terkecuali Marcelia.Sosok gadis cantik berkulit
Kedua gadis jalan beriringan, yang satu tampak keren, satu lagi cantik mempesona. Mereka cocok jika menjalin persahabatan. Keduanya menjadi pusat perhatian, apalagi penampilan mereka yang mencolok bagaikan artis ibu kota.Jumat siang saat keduanya tengah menikmati semangkuk bakso di kantin kampus, Marcelia mengajak Zanna keluar kota untuk sekedar membuang waktu akhir minggu."Jalan, yuk. Menikmati week end," ajak Marcel kepada Zanna."Kemana?" tanya Zanna."Ke puncak, di sana tempatnya dingin, kita nginep di Villa abis tuh jalan-jalan ke kebun teh trus makan jagung bakar, kita seru-seruan aja," tukas Marcel."Emang boleh pergi dari asrama?" tanya Zanna merasa ragu."Boleh, eh gak tahu juga, nah elo yang tingal sana gimana aturannya?" tanya Marcel dengan mimik serius."Yang pasti sih boleh keluar menginap kalau orang tua atau saudara yang jemput, itupun dengan bukti-bukt