"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala.
"Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu.
"Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.
Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi.
"Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.
Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta, dengan volume suara yang rendah, dia mulai memberikan saran.
"Bu, sebaiknya malam ini Ibu dan Zanna menginap di tempat lain, tolong dimengerti situasinya, karena saya dapat kabar dari tukang sapu di kantor polisi yang menguping pembicaraan Bagas di telepon, bahwa Bagas menyuruh seseorang untuk menculik Zanna yang akan dilakukan pada malam hari," kata Pak RT sambil menghela napas panjang setelah mengatakannya seolah-olah beban berat terlepas dari dadanya.
Pak RT menoleh kepada Danish, "Adik ini temannya Zanna? Pemilik motor yang parkir di depan situ?" tanya Pak RT kepada Danish.
"Iya, Pak," jawab Danish sambil mengangguk, wajahnya kebingungan mendengar penuturan Pak RT tadi kepada Leta.
"Saya minta tolong sama adik, untuk membawa Zanna keluar dari sini, tapi apakah bisa tanpa ketahuan siapapun? Saya khawatir ada yang mengikuti kalian," ujar Pak RT ragu-ragu tapi patut dicoba.
"Aku nyamar jadi cowok," celetuk Zanna seraya masuk ke dalam kamar dengan gerakan cepat.
"Ibu sementara bisa menginap di salah satu rumah warga ya, Bu ...," sambung Pak RT yang dibalas anggukkan lemah Leta.
"Dik, tolong tinggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi," pinta Pak RT kepada Danish.
Dua orang warga undur diri, Pak RT dan salah satu orang warga masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
"Sambil menunggu Ibu dan Zanna siap-siap, warga sedang berjaga-jaga mengepung area sekolahan ini," tutur Pak RT memberitahu kepada Leta, masih dengan suara pelan.
"Saya mau ke kamar, Pak ...," ujar Leta seraya bangkit dari duduknya pelan-pelan.
Leta berusaha agar dirinya tetap tenang, ia harus menyiapkan sesuatu untuk putrinya dan mengatur apa saja yang harus Zanna bawa malam ini. Rupanya, ini hari terakhir ia berada di sini. Nasib memang lucu, mempermainkan hidup tanpa bisa diduga sama sekali.
Leta melangkah perlahan menuju kamar, dilihatnya Zanna masih memasukkan barang-barang ke tas ranselnya. Dia hanya bisa membawa dua tas saja, maka dari itu, Zanna melipat baju dengan cara digulung kecil-kecil agar muat banyak di dalam tasnya.
"Seluruh berkas sudah dibawa?" tanya Leta berbisik, Zanna mengangguk, dia tidak menyisakan satu lembar pun.
Zanna melemparkan tas kecil ke atas kasur yang berisi pakaian lengkap Leta beserta handuk, sabun, shampoo, pasta gigi dan sikat gigi serta sandal. "Itu bekal Mama," bisik Zanna di telinga Leta.
Leta mengambil rompi yang terbuat dari bahan parasit dari bawah kasur dengan meminta tolong putrinya untuk mengangkat kasur dari satu sisi. Lalu menyuruh membuka kemejanya, dan memasangkan rompi itu pada tubuh Zanna yang diam saja tanpa bertanya apa-apa. "Di rompi ini isinya uang semua, tabungan mama selama dua belas tahun. Gunakan sebaik mungkin," bisik Leta dengan mata berkaca-kaca.
"Kita akan bertemu, besok," tandas Zanna kepada ibunya sambil mengancingkan kembali kemejanya.
Kemudian ia memakai sweater Danish dan memakai jaket jeans lusuh bagian luarnya, sengaja memakai baju berlapis agar terlihat besar gemuk untuk menyamarkan tubuh wanitanya. Lalu dengan cekatan mengikat rambutnya memakai karet pada bagian tengkuk dan melipatnya ke atas menggunakan jepit hingga ia bisa memakai kain penutup kepala yang biasa dipakai oleh Pak Parjo, yang disebut dengan kupluk.
Zanna memeluk Leta sebentar sebelum membawa dua buah tas ke ruang depan. Ia memakai sepatu olah raga dan telah siap untuk pergi. Leta menenteng tas berukuran lebih kecil yang telah disiapkan oleh putrinya, ia juga telah siap untuk dibawa pergi oleh Pak RT.
Melihat Zanna yang telah siap, Danish segera keluar menyiapkan motornya dan mengambil helm untuk Zanna, ia telah memikirkan jalan mana saja yang akan ditempuhnya untuk menghindari kalau-kalau memang ada yang mengikutinya.
Zanna memasang tas ransel pada punggungnya, tas itu begitu berat. Tas satu lagi akan di taruh di depan Danish. Ia berpamitan kepada mereka tanpa kata-kata, hanya melalui sorot matanya. Ia menaiki motor Danish dan mengangguk. Mereka mulai meninggalkan rumah sekolah diikuti oleh beberapa pasang mata yang menyaksikan dari tempat persembunyian termasuk Pak Parjo yang merasa sedih dan berkaca-kaca.
Danish mengambil jalur menuju sekolah mereka. Berlawanan dengan arah jalan saat mereka tadi pulang dari rumah Lidya. Ia membawa motornya memasuki jalan-jalan tikus sebelum masuk ke jalan raya dan kembali memasuki gang-gang kecil. Sampai akhirnya berhenti di sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas.
Seorang satpam membukakan pagar bagi anak tuan mereka yang terus melajukan motornya dan berhenti di samping mobil yang terparkir. Zanna segera turun dari motor dan melepaskan ransel yang memberati pundaknya. Ia sudah merasa pegal. "Ini di mana?" tanya Zanna bingung karena mereka memasuki sebuah rumah.
"Kita akan berganti kendaraan, jadi kamu bisa menanggalkan bajumu yang berlapis itu. Ayo sini, ikut aku ...," ajak Danish membawa Zanna ke arah sayap kiri dari rumah tersebut.
Di sana ada paviliun yang ternyata adalah kamar Danish. Zanna masuk ke dalam paviliun menuju kamar mandi. Ia melepaskan kain penutup kepala dan menggerai rambutnya.
"Zan ... ini tas buat menyimpan bajumu," kata Danish dari balik pintu kamar mandi.
Zanna membuka pintu, tanpa bicara apapun, menerima tas yang disodorkan oleh Danish.
"Ini kaus yang cocok untukmu," ujarnya lagi.
Ia kembali masuk ke kamar mandi, melucuti pakaiannya satu per satu lalu melipat dan memasukkan ke dalam tas travel pinjaman, termasuk rompi titipan Leta. Ia mengenakan T-Shirt berwarna salem pemberian Danish yang memang cocok dengan warna kulitnya.
Setelah merasa semua beres, ia keluar sambil menenteng tas travel dan tidak melihat sosok Danish di ruangan itu. Kakinya melangkah menuju sofa, menunggu sang empunya kamar sambil berpikir. Jam di dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam, rasa kantuk telah menyerangnya, ia sangat lelah dan capek, menguap terus menerus dan membutuhkan sebuah bantal.
Tiba-tiba ia terhenyak, ingat akan sesuatu bahwa Bagas Zo mengetahui rencana kampus mana yang akan ia pilih. Seketika tubuhnya terasa lunglai, haruskah ia memupus cita-citanya memasuki kampus ternama? "Tidak, tidak mau!" seru Zanna tanpa sadar.
"Tidak mau apa?" tanya Danish yang membawa nampan berisi dua gelas susu hangat dan menyodorkannya kepada Zanna.
Zanna menerima gelas itu dan meminum isinya sekaligus sampai tandas. "Danish, bisa gak sih kalau beasiswa kita dialihkan ke kampus lain?" tanya Zanna dengan mimik serius.
"Kenapa? Bagas tahu rencana kampus kamu?" tanyanya menebak.
Zanna mengangguk, ia menatap Danish lekat-lekat, menunggu jawaban.
"Seluruh Universitas Negeri menerimanya, Zan ... kamu tinggal pilih saja," jawab Danish kalem.
"Ah, serius?" tanya Zanna mendadak bersemangat saking senangnya.
"Gak, tigarius malah," seloroh Danish menggoda Zanna yang makin menggemaskan.
"By the way, kamu bisa tidur sini kalau ngantuk, aku tidur di dalam," kata Danish menunjuk ke arah rumah induk. Dia tidak tega melihat kelelahan dan kantuk di wajah Zanna.
"Aku bingung, tidur sini ya gak enaklah sama orang tuamu, kalau jalan lagi gak enak juga ngerepotin kamu tengah malam," ujar Zanna dengan jujur.
"Orang tuaku gak apa-apa, sering kok temen-temenku nginap di sini," tutur Danish juga mengatakan yang sebenarnya.
"Cewek juga?" tanya Zanna heran campur penasaran.
"Yup, cewek juga. Tapi ... mereka sih rombongan kalau nginep," jawab Danish santai.
"Ooh ...," balas Zanna pendek. Ia kagum terhadap Danish yang mempunyai banyak teman.
"Gimana? Tidur sini? Atau jalan? Tapi, mau kemana?" tanya Danish meminta kepastian.
"Terserah kamu gimana baiknya," jawab Zanna pasrah saking bingungnya.
"Kalau terserah sih, ya kamu tidur sini aja selamanya, siapa tahu kita malah dinikahkan, hahaha ...," ujar Danish terbahak, menertawakan khayalannya.
"Nikah darurat maksudmu? Ogah ah," soloroh Zanna mengimbangi kejahilan Danish.
"Aku tidur di mana?" tanya Zanna yang telah menguap lagi.
"Sini," ajak Danish seraya bangkit dan membawa Zanna ke ruang dalam.
Danish membukakan pintu, yang berhadapan dengan pintu kamar mandi. Di sanalah kamarnya berada. Sebuah spring bed berukuran besar terletak di tengah-tengah ruangan, melihat kasur yang begitu nyaman, membuat Zanna tidak tertarik untuk mengeksplorasi barang-barang lainnya.
Gadis itu melangkah ke arah kasur, menenteng tas travel seraya berkata, "Tolong tutup pintunya."
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik
Masa orientasi kampus adalah masa kelam tersendiri bagi Zanna. Di hari pertamanya berbaur dengan mahasiswa-mahasiswi lain, semua memandang gadis itu dengan tatapan aneh dan dengan caranya masing-masing, mereka berusaha menghindar agar tidak berada dekat-dekat dengan dirinya.Meskipun sudah terbiasa dikucilkan, kali ini, Zanna merasakan sesuatu yang lain. Lebih menyakitkan dan menyedihkan. Ia hanya menghibur dirinya sendiri dengan ungkapan, 'mungkin baru lulus SMA masih kekanak-kanakkan, ayo Zanna ... kuatkan hatimu'. Ia mengatakannya terus berulang-ulang.Saat istirahat, perutnya berontak, ia merasa kelaparan.Zanna mengikuti petunjuk menuju kantin. Sayangnya kantin itu penuh. Dengan perlahan Zanna melangkah mundur, dirinya tidak berani ikut duduk bersama yang lainnya karena khawatir mereka semua terganggu oleh kehadirannya.Akhirnya ia memutuskan membeli beberapa buah gorengan dan es teh, lalu beranjak
Zanna menghidangkan segelas air putih yang diambilnya dari dispenser diluar kamar untuk teman barunya, Marcelia yang masih mondar-mandir di kamarnya."Uh, di sini panas banget. Lo udah berapa lama tinggal sini?" Marcel memutar tombol kipas angin yang melekat pada dinding di sebelah ranjang."Baru semalam di sini," jawab Zanna sambil memperhatikan Marcelia memutar tombol itu. Dari kemarin ia bertanya-tanya dalam hatinya, fungsi tombol itu untuk apa, ternyata pengontrol kipas angin yang berputar di plafon kamarnya.Marcelia ikut duduk di pinggir kasur, karena di kamar itu, satu-satunya kursi dipakai oleh Zanna untuk meletakkan tasnya."Minum dulu, maaf tidak ada suguhan lain," ujar Zanna merasa tidak enak hati. "Aku ke kamar mandi dulu ya, mau ganti baju, gerah," lanjut Zanna, kali ini berpamitan sebentar.Gadis itu hanya mengangguk sambil meraih gelas berisi air putih yang disuguhkan Zanna. Sekali teguk, tandas
Di sinilah Zanna terdampar, di sebuah salon mewah yang bahkan ia tidak berani menginjak lantai licin berkilau itu kalau saja Marcelia tidak menarik tangan dan memaksanya masuk ke dalam. Zanna merasa risih dengan sendal jepitnya yang kotor.Marcelia menyerahkan Zanna kepada seorang capster sambil memberitahukan banyak hal. "Beri dia model rambut yang kekinian tapi cocok dengan wajahnya, jangan lupa abis potong dimasker, lalu medi pedi," tutur Marcel."Sip, siip ...." Salah seorang dari mereka menarik Zanna untuk dibawa ke tempat cuci rambut. Zanna begitu kikuk dan merana, tangan orang asing merambah rambutnya dan ia merasa malu hati karenanya.Sementara Zanna dipermak, Marcel menyelinap keluar dari salon dan berkeliling mencari sandal, sepatu serta baju untuk Zanna kuliah. Baju yang dipilih Marcel hanya beberapa helai celana jeans dengan warna berbeda serta atasan yang terdiri dari beberapa T-shirt serta blouse kain. Ia memilihkan paka
BMW 4 series memasuki area kampus dan berhenti tepat di samping pintu gerbang asrama yang baru saja dibuka. Seorang gadis mengenakan kaus turtle neck tanpa lengan dengan jaket diikat pada pinggang rampingnya, memakai rok pendek lebar berpadu celana leging bersepatu kets, ia melangkah memasuki gerbang asrama.Hari masih sangat pagi untuk ukuran anak-anak mahasiswa yang masih suka bermalas-malasan, tapi mereka diwajibkan bangun pagi karena setiap kegiatan dilakukan paling lambat pukul 7.30.Gadis itu mengetuk pintu kamar Zanna, seseorang yang melihatnya menegur, "hai ... cari Zanna ya? Dia lagi mandi tuh.""Oh, makasih," sahut Marcel seraya menghampiri satu set kursi kayu tua dan duduk di atasnya.Suasana pagi cukup ramai di asrama, lalu lalang mahasiswi membawa handuk dan peralatan mandi, sebagian sudah siap-siap berangkat dan menunggu temannya dengan duduk di ruang tunggu tak terkecuali Marcelia.Sosok gadis cantik berkulit