Kamar dipenuhi aroma sabun segar, bercampur dengan uap hangat dari kamar mandi yang baru saja digunakan. Dirga melangkah keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah dan air menetes dari ujung dagunya. Tubuhnya yang tegap dan terawat memancarkan pesona maskulin yang tak pernah gagal menggetarkan dada Sheana—meski ia tak akan pernah mengakuinya secara terang-terangan.
Sheana menelan ludah pelan. Punggungnya menegang saat Dirga lewat di dekat tempat tidur tanpa mengucap sepatah kata pun. Jarak mereka hanya selemparan bantal, tapi terasa seperti dipisahkan ribuan kilometer. Sudah berapa lama mereka seperti ini? Dingin, formal, nyaris tanpa sentuhan. Padahal mereka tidur di ranjang yang sama. Ia teringat perjodohan itu—tiga belas tahun lalu. Ayahnya yang terlilit utang besar pada perusahaan milik keluarga Bimantara akhirnya menyerah. Demi menutup aib dan menyelamatkan bisnis keluarga, Sheana dikorbankan. “Anggap saja ini investasi jangka panjang,” begitu kata ayahnya. Saat itu, Sheana masih dua puluh dua. Lulusan baru yang bahkan belum sempat menikmati dunia. Dan Dirga? Tujuh tahun lebih tua, pewaris tunggal dengan reputasi dingin dan tak pernah terlihat dengan perempuan mana pun di depan publik. Pernikahan mereka lebih mirip kesepakatan bisnis dibanding ikatan emosional. Tapi kenyataan tak pernah sesederhana yang tampak. Meski jarang disentuh, meski nyaris tak pernah dibelai, malam-malam tertentu Dirga tetap menyentuhnya. Diam-diam. Tanpa banyak bicara. Tanpa ciuman, tanpa pelukan setelahnya. Seperti transaksi yang dipenuhi rasa malu. Dan malam ini, Sheana ingin lebih dari itu. Ia menyampirkan rambutnya ke satu sisi, membiarkan lehernya terbuka. Malam terlalu sunyi untuk hanya tidur tanpa suara. Ia membiarkan jari-jari menelusuri garis dada Dirga secara halus saat ia duduk di tepi ranjang. “Ga...” bisiknya lembut. Pria itu menoleh, sejenak tatapan mereka bertemu. Dirga tampak ragu. Namun ia tak menolak ketika Sheana bersandar, mendekat, hingga jarak mereka tak lebih dari dua inci. Hanya perlu satu gerakan kecil untuk mencium. Satu. Tapi... “Maaf, aku capek.” Suaranya datar. Sheana terdiam. Bibirnya masih setengah terbuka saat Dirga menarik diri dan membalikkan badan, masuk ke bawah selimut dan memejamkan mata. Tak ada pelukan. Tak ada kehangatan. Hanya penolakan. Sheana berdiri pelan, menahan napas agar tak terdengar isaknya. Ia tahu ini bukan pertama kalinya. Tapi malam ini, penolakan itu terasa seperti tamparan. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil bantal dan berjalan keluar kamar. Dirga tahu. Tapi ia tetap diam. ** Kamar sebelah gelap, hanya diterangi lampu tidur redup. Sheana melempar bantal ke kasur, lalu duduk sambil menatap ponselnya. Kesal. Terluka. Dan sedikit... malu. Lalu jemarinya mulai bergerak sendiri. Ia membuka kolom chat—nama itu ada di urutan atas. Ellan. Ia mengetik cepat, tanpa berpikir. Sheana [ Still up? ] Balasan datang hanya dalam hitungan detik. Ellan [ Always. Missing me already? ] Sheana mendengus. Sheana [ Jangan GR. I’m just... bored. ] Ellan [ Jam segini tuh bahaya kalau kamu lagi bosen, Sweetheart. ] Sheana [ Aku baru aja keluar dari kamar suamiku. Aku berhak dong bosen. ] Ellan mengirim voice note singkat, suaranya rendah dan menggoda. “Come out. Gimana kalau aku bantu ilangin rasa bosan itu? I’m not far.” Sheana menggigit bibirnya. Ia tahu ini gila. Tapi rasa kecewa itu seperti bensin yang disiram ke bara amarahnya. Sheana [ I don’t even have makeup on. ] Ellan [ Nggak usah dandan. Datang aja, apa adanya. ] Sheana [ Gak bisa. I’m in pajamas. ] Ellan [ Even better. Mau taruhan aku bakal nyampe sana dalam lima belas menit? ] Dan entah kenapa, tawa kecil keluar dari mulut Sheana. Dia benar-benar sinting. Ponselnya berdering. Nama Ellan terpampang di layar. Ia menjawab, setengah berbaring di ranjang. “Seriously, Ellan? Tengah malem gini?” “Seriously, Sheana? You texted me first,” balasnya enteng. “Jam segini, istri orang yang cakep tiba-tiba nge-chat… masa aku bilang ‘nggak boleh’?” Suara Sheana tercekat, antara ingin tertawa dan ingin marah. “Kamu enggak pernah serius ya?” “Cuma sama kamu aku jadi kayak badut. Di luar sana, aku CEO bayangan loh. Punya crown invisible, ingat nggak?” Sheana menahan tawa. “Aku lagi enggak mood bercanda, Ell.” “Fine. Tapi aku tahu kamu marah. You sound... invisibly miserable.” Diam. Lalu, pelan-pelan, Sheana menjawab, “Aku enggak tahu kenapa aku chatting kamu barusan.” “Karena kamu kesepian. And I don’t blame you.” Tiba-tiba, suara Ellan berubah serius. “Let me see you tonight. Just talk, I promise. No funny stuff.” “Aku... nggak tahu.” “Ten minutes, Babe. Aku tunggu di bawah, hoping you show up. Tapi kalau nggak... I’ll leave, heartbroken. Fair enough?” Sheana memejamkan mata. Perasaan berkecamuk. Tapi tubuhnya tetap bergerak ke arah lemari pakaian. *** Mobil coupe hitam berhenti di depan trotoar gelap. Lampu depan menyinari siluet seseorang yang berdiri dengan hoodie kebesaran, celana training, dan sandal jepit. Sheana. Mesin masih menyala saat Ellan membuka pintu penumpang dari dalam. Ia mencondongkan tubuh, matanya bersinar nakal di bawah sorotan lampu jalan. “Wow,” gumamnya, menatap dari atas ke bawah. “Aku nggak nyangka bakal jemput cewek yang kayaknya baru lolos dari karantina.” Sheana melotot. “Kamu ngajak keluar malam-malam, aku pikir ke minimarket.” “Perfect, soalnya emang itu tujuan pertamaku.” Ellan menyeringai. “Ayo masuk. Cepetan sebelum aku berubah pikiran.” Tapi Sheana masih belum bergerak. Jelas tampak berpikir. "Come on, Sweetheart. Nggak dingin kalau duduk di sini bareng aku." Sheana menghela napas sebelum melangkah masuk. Kaki-kakinya masih ragu, tapi tangannya sudah menutup pintu mobil beraroma peppermint dan cologne mahal. "Kamu ngelakuin ini sering ya?" tanya Sheana setelah duduk. Ellan menyeringai, menyalakan lampu kabin sebentar lalu mematikannya lagi. "Jemput istri orang jam dua belas malam, maksudnya?" Sheana hanya mendengus, menyandarkan tubuh di jok kulit. "Nggak lucu." "Okay, okay." Ellan menoleh, matanya terang meski malam sudah larut. "Tapi FYI, biasanya klien-ku yang manggil jam segini tuh... bayar extra. Karena hitungannya lembur." Sheana menoleh cepat. "Lembur?" "Uh-huh." Ellan mengangguk dramatis. "Jam kerja normal tuh sampe jam sebelas. Setelah itu, tarifnya beda." Sheana memutar bola mata. "Ya udah. Kamu butuh cash? Aku bawa." Ia membuka dompet, menyelipkan jemari ke slot uang kertas, mencoba menarik selembar ratusan ribu. Tapi Ellan tertawa keras, mengambil dompetnya dan menutupnya lagi dengan cepat. "Relax. Tonight’s on me. Free service khusus Sheana si Hoodie girl yang misterius." Sheana menatapnya tajam. "Kamu bener-bener cari masalah." "Aku bosen hidup tenang." Hening sejenak. Mesin mobil masih menyala, suara musik jazz lembut mengalun dari speaker. Sheana menatap keluar jendela, sementara Ellan memperhatikan wajahnya dari samping. "Kamu kelihatan... bukan orang yang biasa begini," ujar Ellan pelan. "Begini gimana?" Sheana membalas cepat.Mereka saling menantang. Tapi jarak mereka sudah terlalu dekat untuk mempertahankan ego masing-masing.Ellan menarik Sheana ke atas tubuhnya, menggiringnya perlahan. Sheana masih pakai bra tipis dan celana dalam, kulitnya hangat dan sedikit lembap karena nyuci bareng tadi. Tangannya menggenggam lengan Ellan, menekan ringan."Aku nggak pernah ngelakuin ini dengan siapa pun kayak aku sama kamu, Ell.""Aku tahu. Aku juga nggak pernah begini sama siapa pun."Mereka berciuman, dalam, basah, panas. Ciuman yang membuat Ellan kehilangan nalar. Ia mulai menuruni leher Sheana, mengecup dan menyedotnya, meninggalkan jejak kemerahan di kulit mulus itu. Sheana mencakar halus punggung Ellan sambil menggeliat di bawah tubuhnya."Shea..." bisiknya dengan suara nyaris parau. "Let me take care of you tonight.""You better do it right."Ia tertawa kecil, dan dengan gerakan pelan namun pasti, membuka kait bra Sheana. Nafas Sheana tercekat, tapi ia tidak menolak. Ellan menyentuhnya, lembut, kemudian inten
Pelipisnya basah oleh keringat dingin. Napasnya tak teratur.Dirga... pikirnya samar. Kamu satu-satunya yang tahu ini semua.Tapi tak mungkin ia menghubunginya sekarang. Tidak saat ia sudah lari jauh dan memilih hidup dengan napasnya sendiri, meski pendek dan nyeri.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu mulai surut perlahan. Seperti gelombang yang tertarik mundur oleh pasang. Ia terkulai di atas ranjang, wajahnya masih pucat tapi tidak seputih tadi. Matanya mengarah ke langit-langit, kosong, namun tenang. Sejenak.Pintu terbuka."Aku balik!" teriak Ellan sambil membawa kantong plastik. Suaranya cerah, langkahnya ringan.Sheana buru-buru bangun duduk, mengelap keringat di pelipis dengan tangan dan menarik selimut ke atas tubuhnya."Kamu kelihatan capek banget," ujar Ellan sambil mendekat dan meletakkan makanan di meja kecil. Ia mencium pipi Sheana, lalu duduk di samping ranjang."Iya... kayaknya masuk angin, de
Satu minggu kemudian"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna."Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana."Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh."Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don't know what you're doing to me."Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini
Suara film berganti jadi lagu tema lucu. Sheana tertawa kecil, lalu refleks menyuapi Ellan keripik. "Tuh, liat deh, cowoknya salah kostum ke rumah calon mertua."Ellan mengunyah sambil melirik Sheana dari atas. "Kamu juga salah kostum ke rumah persembunyian. Siapa suruh cuma bawa dress tipis sama underwear lucu? Nggak nyangka bakal kabur ya?""Emangnya kamu nyangka?""Nggak. Tapi aku selalu siap." Ellan menyeringai, tangannya yang sejak tadi melingkar di perut Sheana kembali menyusup ke dalam kaos."Eh-!" Sheana langsung memelototinya. "Tangan kamu tuh...""Just warming you up," ucap Ellan santai, senyum jailnya nggak hilang. "Blame the shirt, not me. Lubangnya tuh kayak ngundang.""Kalau kamu nggak stop, aku lempar nih HP-nya.""Siap, Tante." Ellan menarik tangannya pelan-pelan, lalu mengecup pundak Sheana.Mereka kembali diam sejenak. Film masih terus berjalan, tapi sorotan mata mereka mulai mengabur dari laya
Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a
"Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.