"Keluar rumah malam-malam. Duduk di mobil orang asing. Chat cowok yang kamu temui di diskotik."
"Kamu bukan orang asing. Kamu cowok bayaran." Ellan tertawa. "Ouch. Tapi fair enough." Sheana menggigit bibir, tak berkata-kata. "Aku bisa tahu kamu lagi hancur, tapi kamu jago banget nutupinnya," lanjut Ellan, suaranya lebih serius sekarang. "Kamu tuh... the kind of woman yang kalau jatuh, tetap duduk anggun di atas puing-puing." Sheana menoleh pelan. "Itu gombal?" "Bukan. Itu observasi." Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena masing-masing sedang mendengarkan pikirannya sendiri. "Kamu selalu gini ke semua klien kamu?" tanya Sheana akhirnya. "Enggak juga. Biasanya aku nggak diajak ngobrol panjang. Mostly cuma diminta temenin dinner, atau pretend jadi boyfriend buat impress teman-temannya. You’d be surprised how lonely rich people are." Sheana mengangguk pelan. "Kamu enggak takut? Ketemu macem-macem orang?" "Awal-awal iya. Tapi sekarang? Dunia ini tempat aneh, Sheana. Aku pernah dibayar cuma buat duduk diam dan dengerin seorang tante cerita soal kucing peliharaannya." Sheana tertawa kecil. "That sounds ridiculous." "But real. Very real." Sheana tak bisa menahan senyum kecil. "Kamu selalu selebay ini?" “Only when I like someone.” Mobil meluncur melewati jalan-jalan kota yang mulai sepi. Lampu jalan menari di kaca depan, menciptakan bayangan samar di wajah mereka. “Serius nih, kita mau ke mana?” tanya Sheana setelah beberapa menit. Ellan hanya menjawab dengan senyum misterius. “Tempat yang biasanya cuma aku datangi sendiri. Tapi malam ini... I feel like sharing it with someone.” Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka berhenti di gedung tua bertingkat lima yang kelihatannya seperti bekas kantor kosong. Lift rusak, jadi mereka naik tangga darurat yang dindingnya penuh coretan mural. “Aku enggak bawa heels, untungnya,” celetuk Sheana sambil ngos-ngosan. “Makanya aku jemput kamu jam segini. I was hoping you'd wear something comfy.” Begitu sampai di rooftop, pemandangan kota menyambut mereka. Lampu-lampu gedung di kejauhan berkilauan, langit malam sedikit berkabut tapi tetap memukau. “Aku biasa ke sini kalau pengen sendiri,” kata Ellan sambil meletakkan dua kaleng kopi dingin di pinggiran beton rooftop yang sudah dipenuhi lumut dan cat mengelupas. “No one ever comes up here.” Sheana duduk di sampingnya, menerima kaleng kopi yang masih berembun. “Tempatnya... old but kinda peaceful.” Ellan mengangguk. “Exactly.” “Kamu emang suka sendirian?” Ellan membuka kalengnya. “Kadang. Dunia bisa terlalu berisik.” Mereka duduk bersebelahan, minum kopi sambil memandangi langit kota. Suasana sunyi, tapi bukan canggung. Justru terasa... akrab. “Kamu tahu nggak, kamu keliatan beda malam ini,” kata Ellan tiba-tiba. “Karena aku tanpa make-up dan Cuma pake sandal jepit?” “Karena kamu keliatan real. Natural. And somehow, even more beautiful.” Sheana tertawa pendek. “Gombal kamu udah expired.” “Tapi jujur.” Sheana meneguk kopinya, lalu bertanya, “Kenapa kamu kerja kayak... gitu?” Ellan menghela napas. “Long story. But... let’s just say, aku ingin jalani hidup dengan caraku sendiri. Aku anak Alvino Wiradipta Ditya, you know that. Tapi aku nggak pernah cocok sama dunia bisnis. Daddy selalu kecewa karena aku nggak mau nerusin perusahaannya. But I’d rather be broke and free, daripada kaya tapi hidup buat ambisi orang lain.” Sheana menoleh. “Kamu beneran ninggalin semuanya?” Ellan mengangguk. “Yup. I walk away. Semua fasilitas, semua ‘nama besar’ itu. Aku mulai dari nol. I choose this life, meskipun kadang absurd.” Sheana terdiam. Lalu berbisik, “Aku juga ngerti rasanya hidup karena pilihan orang lain.” “Dirga?” Sheana tak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya cukup jadi jawaban. "I won’t ask," kata Ellan pelan. “Aku nggak akan maksa kamu cerita. Tapi kalau suatu hari kamu pengen... aku di sini.” Sheana menatapnya. Ellan hanya tersenyum ringan, memberi kode kalau dia tak akan menggali lebih jauh jika Sheana belum siap. Mata Sheana melembut. Ia mengangguk sekali. "Thanks." Setelah itu, mereka hanya duduk diam. Tapi keheningan itu bukan kekosongan. Ada sesuatu yang berputar pelan di antara mereka—udara yang berubah tekstur. Hangat. Tapi berbahaya. "Can I ask you something weird?" tanya Ellan tiba-tiba. "Hm?" "Kamu percaya orang bisa saling nyelamatin... tanpa rencana? Tanpa tahu satu sama lain?" Sheana mengerutkan dahi. "Kenapa tiba-tiba tanya itu?" "Karena sejak siang tadi, aku ngerasa kayak kamu orang yang—if I let you in—some part of me will start healing. Tapi itu juga bikin aku takut." Sheana terdiam. Dadanya terasa sesak, tapi juga anehnya ringan. "Kamu ngeri sama aku?" bisiknya. "Bukan ngeri. Just... careful. Karena aku nggak mau ngerusak sesuatu... if it turns out real.” Sheana mengalihkan pandangan. Lalu berbisik, "Real’s scary." Ellan menoleh. "Tapi... worth it juga, kan?" Ia mengulurkan tangan, tidak menyentuh, hanya menggantung di antara mereka. "Boleh aku pegang tangan kamu? Gak buat apa-apa. Just... to make sure this moment is real." Sheana menatapnya beberapa detik. Lalu, pelan, ia menyentuhkan jari-jarinya ke tangan Ellan. Diam. Listrik kecil mengalir tanpa suara. “Kamu selalu kayak gini ke cewek-cewek?” tanyanya, setengah menggoda. “Enggak.” Ellan memutar badan, menatap Sheana lebih dekat. “Kamu beda. Dan aku suka hal-hal yang nggak bisa kujelasin alasannya.” Angin malam menyapu pelan rambut Sheana yang lepas dari hoodie. Di bawah cahaya kota, dia terlihat... sederhana. Tapi ada sesuatu dalam kesederhanaannya yang justru memikat Ellan dalam-dalam. “Aku seneng kamu mau ikut aku ke sini,” bisik Ellan. “Malam ini... aneh. Tapi menyenangkan,” jawab Sheana jujur. “Kadang... justru malam yang paling aneh itu yang paling berkesan." Mereka saling diam, lagi. Tapi keheningan kali ini lebih dalam, lebih intim. Kopi mereka tinggal setengah, tapi rasanya waktu berhenti sebentar.Sheana menarik napas, mencoba tidak gemetar. “Aku pikir kamu tahu, aku cukup pintar untuk nggak ngelakuin sesuatu yang bodoh.” Sunyi. Dirga hanya menatap Sheana tanpa kedip. Seolah mencari kebenaran dari kata-kata istrinya itu. “Dia cuma kenalan, Ga. Aku nggak minta kamu percaya langsung. Tapi kalau kamu masih anggap aku istrimu, minimal hargai keputusan aku untuk jujur sekarang.” Dirga masih diam, lalu makin mendekati Sheana tapi tidak menyentuhnya. Jarak mereka hanya satu napas. Tangannya menyelipkan rambut istrinya ke belakang telinga, seolah penuh kasih. “Aku cuma pengin kamu ingat,” katanya pelan, “bahwa segala sesuatu yang kamu lakukan sekarang... akan selalu punya konsekuensi.” Sheana mengangguk. “Aku tahu.” “Kamu tahu, Na…” bisiknya. “Aku nggak marah.” Sheana menatapnya ragu. “Aku cuma pengen ngerti,” lanjut Dirga, suaranya nyaris seperti pelukan. “Apa kamu lagi nyari sesuatu yang nggak bisa kamu dapet di rumah ini? Atau dari aku?”
Sheana hampir menjatuhkan ponselnya.Jarinya gemetar saat membaca pesan itu lagi.[ Keluar sama Grace ternyata cuma alibi, ya? ]Matanya menyapu sekitar, seolah paranoia mulai menempel seperti kabut. Lampu strobo, dentuman bass, orang-orang menari tanpa peduli dunia. Tapi Sheana tahu—ada mata yang mengawasinya.“Aku harus pulang,” gumamnya pelan, mencoba bangkit.Ellan menangkap lengannya, lembut tapi cukup kuat untuk menahan.“Sheana.” Suaranya rendah. “Siapa yang kirim pesan itu?”Dia menggeleng. “Nggak penting.”“Tapi bikin kamu pengen kabur di tengah malam yang udah sempurna ini?” Ellan mencondongkan tubuh, suara musik membuat dia harus bicara lebih dekat. “Tell me.”Sheana menarik napas panjang. “Itu... seseorang yang seharusnya nggak tahu aku di sini. But somehow, dia tahu.”“Dirga?”Sheana mengangguk. Ia memaksakan senyum. “Tapi aku udah biasa kayak gini. Aku bisa urus sendiri.”Ellan berdiri, mendekatinya lebih dekat dari seharusnya. “No. You’re not alone. Not tonight.”“Ellan
Ellan menuruni tangga bersama Sheana dan mengantar wanita itu pulang. Langit malam masih berpendar lampu-lampu kota, tapi di antara mereka berdua, hanya ada keheningan yang bicara paling keras. Mobil berhenti agak jauh dari rumah, tepat di bawah bayang pohon. Jalanan sepi, udara malam sedikit lembap, dan lampu depan rumah Sheana menyala redup, seperti sengaja menunggu. Ellan mematikan mesin, lalu menoleh pelan. Matanya menatap dalam, serius, tapi tetap menyisakan kelembutan yang hanya Sheana yang tahu. “Next time,” katanya, suara serak dan jujur, “aku nggak bakal nunggu kamu chat duluan. Aku yang bakal nyari kamu.” Sheana diam. Pandangannya lurus ke depan, ke arah rumahnya, tapi pikirannya justru tersangkut pada sorot mata Ellan. Detak jantungnya—kencang, dalam, dan sulit diabaikan—menjawab semuanya. Tapi tetap saja, lidahnya kelu. Ellan mendekat sedikit, hanya beberapa senti. “Aku tahu kamu nggak biasa percaya orang. Tapi kamu juga tahu, I’m not just some guy.” Sheana menol
"Keluar rumah malam-malam. Duduk di mobil orang asing. Chat cowok yang kamu temui di diskotik.""Kamu bukan orang asing. Kamu cowok bayaran."Ellan tertawa. "Ouch. Tapi fair enough."Sheana menggigit bibir, tak berkata-kata."Aku bisa tahu kamu lagi hancur, tapi kamu jago banget nutupinnya," lanjut Ellan, suaranya lebih serius sekarang. "Kamu tuh... the kind of woman yang kalau jatuh, tetap duduk anggun di atas puing-puing."Sheana menoleh pelan. "Itu gombal?""Bukan. Itu observasi."Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena masing-masing sedang mendengarkan pikirannya sendiri."Kamu selalu gini ke semua klien kamu?" tanya Sheana akhirnya."Enggak juga. Biasanya aku nggak diajak ngobrol panjang. Mostly cuma diminta temenin dinner, atau pretend jadi boyfriend buat impress teman-temannya. You’d be surprised how lonely rich people are."Sheana mengangguk pelan. "Kamu enggak takut? Ketemu macem-macem orang?""Awal-awal iya. Tapi sekarang? Dunia ini tempat
Kamar dipenuhi aroma sabun segar, bercampur dengan uap hangat dari kamar mandi yang baru saja digunakan. Dirga melangkah keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah dan air menetes dari ujung dagunya. Tubuhnya yang tegap dan terawat memancarkan pesona maskulin yang tak pernah gagal menggetarkan dada Sheana—meski ia tak akan pernah mengakuinya secara terang-terangan.Sheana menelan ludah pelan. Punggungnya menegang saat Dirga lewat di dekat tempat tidur tanpa mengucap sepatah kata pun. Jarak mereka hanya selemparan bantal, tapi terasa seperti dipisahkan ribuan kilometer.Sudah berapa lama mereka seperti ini? Dingin, formal, nyaris tanpa sentuhan. Padahal mereka tidur di ranjang yang sama.Ia teringat perjodohan itu—tiga belas tahun lalu. Ayahnya yang terlilit utang besar pada perusahaan milik keluarga Bimantara akhirnya menyerah. Demi menutup aib dan menyelamatkan bisnis keluarga, Sheana dikorbankan.“Anggap saja ini investasi jangka panjang,” begitu kata ayahnya.
“Ellan,” panggil Alvino.Ia mengangguk. “Dad.”Matanya sekilas beradu pandang dengan Sheana. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk menyampaikan ribuan kalimat yang tak bisa diucapkan di ruangan itu.Sheana seketika menolak irama normal jantungnya.Itu benar-benar Ellan yang ia kenal beberapa malam lalu.Wajah pemuda itu tampak sedikit lelah, tapi masih sama. Matanya menyapu ruangan dengan tenang.Keduanya terdiam. Mata mereka terkunci satu sama lain. Sekilas, napas Sheana tertahan. Ellan pun tampak membeku di tempat, seolah waktu di sekitarnya berhenti berdetak.Dirga menoleh, heran melihat keheningan yang aneh itu.“Kamu kenal?” tanyanya pelan pada Sheana.Sheana cepat-cepat menggeleng. “Nggak. Cuma... kaget aja.”Ellan tersenyum. Bukan senyum gigolo. Tapi senyum anak muda yang baru saja menemukan sesuatu yang tak terduga. Ia melangkah masuk, menyapa ayahnya dengan cepat, lalu—dengan penuh kesadaran—berdiri tepat di depan Sheana.Dirga bangkit, menjabat tangan Ellan. “Akhirnya bi