“Ellan,” panggil Alvino.
Ia mengangguk. “Dad.” Matanya sekilas beradu pandang dengan Sheana. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk menyampaikan ribuan kalimat yang tak bisa diucapkan di ruangan itu. Sheana seketika menolak irama normal jantungnya. Itu benar-benar Ellan yang ia kenal beberapa malam lalu. Wajah pemuda itu tampak sedikit lelah, tapi masih sama. Matanya menyapu ruangan dengan tenang. Keduanya terdiam. Mata mereka terkunci satu sama lain. Sekilas, napas Sheana tertahan. Ellan pun tampak membeku di tempat, seolah waktu di sekitarnya berhenti berdetak. Dirga menoleh, heran melihat keheningan yang aneh itu. “Kamu kenal?” tanyanya pelan pada Sheana. Sheana cepat-cepat menggeleng. “Nggak. Cuma... kaget aja.” Ellan tersenyum. Bukan senyum gigolo. Tapi senyum anak muda yang baru saja menemukan sesuatu yang tak terduga. Ia melangkah masuk, menyapa ayahnya dengan cepat, lalu—dengan penuh kesadaran—berdiri tepat di depan Sheana. Dirga bangkit, menjabat tangan Ellan. “Akhirnya bisa bertemu juga. Aku Dirga, sahabat ayahmu.” Ellan mengangguk sopan. “Ellandra.” Lalu ia menoleh ke Sheana. “Tante?” gumamnya pelan. Sheana menegang. Ellan tersenyum tipis, lalu buru-buru menambahkan, “Ah, maaf, saya kira Anda ibu teman saya. Mirip sekali.” Dirga tertawa. “Istriku. Sheana.” “Pantas,” bisik Ellan, matanya tak lepas dari Sheana. “Pantas... terlalu cantik untuk seorang ibu teman.” Sheana menyunggingkan senyum datar. Alvino kembali sibuk bicara dengan Dirga, menuntunnya untuk melihat koleksi lukisan di ruang tengah. “Kamu ikut, Ell?” “Nanti nyusul,” sahut Ellan santai. Begitu dua pria itu berjalan menjauh, keheningan menggantung. Sheana memalingkan wajah, merapikan roknya. “Kecil dunia ini, ya?” Ellan menyeringai. “Sheana... dramatik banget. Aku suka,” katanya pelan, seperti mengomentari dialog film. “Biasa aja,” sahut Sheana, agak ketus. Ellan menyandarkan diri di dinding, menyilangkan tangan. “Kamu kelihatan gugup. Tapi tenang, aku jago jaga rahasia.” Sheana mendesah. “Bagus. Karena kalau kau buka mulut, aku juga bisa buka semuanya.” “Oh?” Ellan menaikkan alis. “Maksudmu… kamu akan bilang ke Daddy kalau aku kerja sambilan?” Sheana menatapnya tajam. “Kalau perlu, iya.” Ellan melangkah pelan, memperkecil jarak. “Dan aku akan bilang... kamu salah satu klienku. Gimana? Mau sama-sama hancur atau—kita main aman?” Sheana tercekat. Ini bukan lagi permainan biasa. “Kamu br*ngsek,” bisiknya, tapi tak bergeming. “Dan kamu cantik sekali waktu marah,” gumam Ellan, lebih rendah. “Ayo, kasih nomormu. Biar aku pastikan kamu nggak nyasar lagi ke tempat begitu.” Sheana mendelik. “Jangan berharap aku akan datang lagi.” “Aku nggak berharap,” Ellan tersenyum miring. “Tapi... berharap itu gratis.” Ia menyodorkan ponsel. Dengan kesal, Sheana mengetik nomornya, lalu menyerahkan kembali tanpa berkata apa-apa. “Terima kasih, Nyonya Dirga,” bisik Ellan, lalu berbalik pergi, meninggalkan aroma parfum mahal dan jejak tawa di balik bibir yang tak sepenuhnya ramah. Di luar sana, suara Alvino dan Dirga mulai terdengar kembali, menghapus keintiman singkat yang barusan terjadi. *** Sheana duduk di pinggir ranjang. Lampu kamar redup, sementara suara air dari kamar mandi dalam menandakan Dirga masih mandi. Ponselnya bergetar pelan. [Notifikasi W******p – Nomor tak dikenal] Ellan [ Udah bisa napas normal, Sheana? Or masih kebayang aku duduk di seberang kamu tadi siang? ] Sheana melirik layar, alisnya naik setengah. Typing... Typing... Tapi tak jadi dikirim. Baru saja dia meletakkan ponsel, notifikasi lain masuk. Ellan [ Kamu acting-nya bagus banget. Tapi sorot mata nggak pernah bohong. ] Sheana menggertakkan gigi, lalu membalas cepat. Sheana [ Ngapain sih kamu nyimpen nomorku? ] Ellan [ Ya karena aku emang perhatian. Lagipula, who else’s gonna remind you to behave? ] Sheana [ Lucu banget. Kamu pikir aku bakal ketar-ketir ketemu kamu lagi? ] Ellan [ Nggak. Tapi tadi kamu kayak orang baru keluar dari ruang interogasi FBI. I’d say... cute. ] Sheana [ Aku udah bilang, aku bukan bagian dari duniamu. ] Ellan [ Ah, denial is hot. ] Sheana [ Kamu emang sengaja cari masalah ya? ] Ellan [ Nope. Just good at reading people. Dan kamu tuh gampang banget dibaca. I mean... married to Dirga Aryan Bimantara? Come on. ] Sheana membeku. Tangannya memegang ponsel erat. Satu bagian dari dirinya ingin berhenti baca, tapi bagian lainnya... penasaran. Sheana [ Kamu nggak tahu apa-apa soal hidupku. ] Ellan [ Maybe. Tapi aku tahu gimana rasanya jadi invisibly miserable. ] Sheana [ Kamu bener-bener drama. ] Ellan [ I’m just observant. And guess what? I like what I see. ] Sheana [ Kamu tuh gigolo. Udah cukup buat ngelus dada. ] Ellan [ Correction. Part-time entertainer. Big difference. ] Sheana [ Aku gak tertarik ketemu kamu lagi. ] Ellan [ Aku belum ngajak ketemu. Tapi... since you brought it up—wanna grab a drink tonight? ] Sheana [ Hard no. ] Ellan [ Yakin? Aku bisa bikin kamu lupa sama semua mimpi buruk yang kamu peluk tiap malem. ] Sheana [ Kamu tuh toxic. ] Ellan [ Maybe. Tapi kamu tetep bales chat aku. ] Tiba-tiba voice note masuk. Suara napas berat dan satu kalimat pendek. “You’ll think about me tonight. Just wait.” Sheana buru-buru menghapusnya. Ia menarik napas dalam, menatap bayangan dirinya di cermin. Matanya tajam, tapi ada getar di bibirnya yang tak bisa ia bantah. Dalam hati, ia berpikir... This guy is dangerous. Tapi justru itu yang bikin dia tak bisa sepenuhnya memalingkan diri.Sheana menarik napas, mencoba tidak gemetar. “Aku pikir kamu tahu, aku cukup pintar untuk nggak ngelakuin sesuatu yang bodoh.” Sunyi. Dirga hanya menatap Sheana tanpa kedip. Seolah mencari kebenaran dari kata-kata istrinya itu. “Dia cuma kenalan, Ga. Aku nggak minta kamu percaya langsung. Tapi kalau kamu masih anggap aku istrimu, minimal hargai keputusan aku untuk jujur sekarang.” Dirga masih diam, lalu makin mendekati Sheana tapi tidak menyentuhnya. Jarak mereka hanya satu napas. Tangannya menyelipkan rambut istrinya ke belakang telinga, seolah penuh kasih. “Aku cuma pengin kamu ingat,” katanya pelan, “bahwa segala sesuatu yang kamu lakukan sekarang... akan selalu punya konsekuensi.” Sheana mengangguk. “Aku tahu.” “Kamu tahu, Na…” bisiknya. “Aku nggak marah.” Sheana menatapnya ragu. “Aku cuma pengen ngerti,” lanjut Dirga, suaranya nyaris seperti pelukan. “Apa kamu lagi nyari sesuatu yang nggak bisa kamu dapet di rumah ini? Atau dari aku?”
Sheana hampir menjatuhkan ponselnya.Jarinya gemetar saat membaca pesan itu lagi.[ Keluar sama Grace ternyata cuma alibi, ya? ]Matanya menyapu sekitar, seolah paranoia mulai menempel seperti kabut. Lampu strobo, dentuman bass, orang-orang menari tanpa peduli dunia. Tapi Sheana tahu—ada mata yang mengawasinya.“Aku harus pulang,” gumamnya pelan, mencoba bangkit.Ellan menangkap lengannya, lembut tapi cukup kuat untuk menahan.“Sheana.” Suaranya rendah. “Siapa yang kirim pesan itu?”Dia menggeleng. “Nggak penting.”“Tapi bikin kamu pengen kabur di tengah malam yang udah sempurna ini?” Ellan mencondongkan tubuh, suara musik membuat dia harus bicara lebih dekat. “Tell me.”Sheana menarik napas panjang. “Itu... seseorang yang seharusnya nggak tahu aku di sini. But somehow, dia tahu.”“Dirga?”Sheana mengangguk. Ia memaksakan senyum. “Tapi aku udah biasa kayak gini. Aku bisa urus sendiri.”Ellan berdiri, mendekatinya lebih dekat dari seharusnya. “No. You’re not alone. Not tonight.”“Ellan
Ellan menuruni tangga bersama Sheana dan mengantar wanita itu pulang. Langit malam masih berpendar lampu-lampu kota, tapi di antara mereka berdua, hanya ada keheningan yang bicara paling keras. Mobil berhenti agak jauh dari rumah, tepat di bawah bayang pohon. Jalanan sepi, udara malam sedikit lembap, dan lampu depan rumah Sheana menyala redup, seperti sengaja menunggu. Ellan mematikan mesin, lalu menoleh pelan. Matanya menatap dalam, serius, tapi tetap menyisakan kelembutan yang hanya Sheana yang tahu. “Next time,” katanya, suara serak dan jujur, “aku nggak bakal nunggu kamu chat duluan. Aku yang bakal nyari kamu.” Sheana diam. Pandangannya lurus ke depan, ke arah rumahnya, tapi pikirannya justru tersangkut pada sorot mata Ellan. Detak jantungnya—kencang, dalam, dan sulit diabaikan—menjawab semuanya. Tapi tetap saja, lidahnya kelu. Ellan mendekat sedikit, hanya beberapa senti. “Aku tahu kamu nggak biasa percaya orang. Tapi kamu juga tahu, I’m not just some guy.” Sheana menol
"Keluar rumah malam-malam. Duduk di mobil orang asing. Chat cowok yang kamu temui di diskotik.""Kamu bukan orang asing. Kamu cowok bayaran."Ellan tertawa. "Ouch. Tapi fair enough."Sheana menggigit bibir, tak berkata-kata."Aku bisa tahu kamu lagi hancur, tapi kamu jago banget nutupinnya," lanjut Ellan, suaranya lebih serius sekarang. "Kamu tuh... the kind of woman yang kalau jatuh, tetap duduk anggun di atas puing-puing."Sheana menoleh pelan. "Itu gombal?""Bukan. Itu observasi."Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan karena masing-masing sedang mendengarkan pikirannya sendiri."Kamu selalu gini ke semua klien kamu?" tanya Sheana akhirnya."Enggak juga. Biasanya aku nggak diajak ngobrol panjang. Mostly cuma diminta temenin dinner, atau pretend jadi boyfriend buat impress teman-temannya. You’d be surprised how lonely rich people are."Sheana mengangguk pelan. "Kamu enggak takut? Ketemu macem-macem orang?""Awal-awal iya. Tapi sekarang? Dunia ini tempat
Kamar dipenuhi aroma sabun segar, bercampur dengan uap hangat dari kamar mandi yang baru saja digunakan. Dirga melangkah keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah dan air menetes dari ujung dagunya. Tubuhnya yang tegap dan terawat memancarkan pesona maskulin yang tak pernah gagal menggetarkan dada Sheana—meski ia tak akan pernah mengakuinya secara terang-terangan.Sheana menelan ludah pelan. Punggungnya menegang saat Dirga lewat di dekat tempat tidur tanpa mengucap sepatah kata pun. Jarak mereka hanya selemparan bantal, tapi terasa seperti dipisahkan ribuan kilometer.Sudah berapa lama mereka seperti ini? Dingin, formal, nyaris tanpa sentuhan. Padahal mereka tidur di ranjang yang sama.Ia teringat perjodohan itu—tiga belas tahun lalu. Ayahnya yang terlilit utang besar pada perusahaan milik keluarga Bimantara akhirnya menyerah. Demi menutup aib dan menyelamatkan bisnis keluarga, Sheana dikorbankan.“Anggap saja ini investasi jangka panjang,” begitu kata ayahnya.
“Ellan,” panggil Alvino.Ia mengangguk. “Dad.”Matanya sekilas beradu pandang dengan Sheana. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk menyampaikan ribuan kalimat yang tak bisa diucapkan di ruangan itu.Sheana seketika menolak irama normal jantungnya.Itu benar-benar Ellan yang ia kenal beberapa malam lalu.Wajah pemuda itu tampak sedikit lelah, tapi masih sama. Matanya menyapu ruangan dengan tenang.Keduanya terdiam. Mata mereka terkunci satu sama lain. Sekilas, napas Sheana tertahan. Ellan pun tampak membeku di tempat, seolah waktu di sekitarnya berhenti berdetak.Dirga menoleh, heran melihat keheningan yang aneh itu.“Kamu kenal?” tanyanya pelan pada Sheana.Sheana cepat-cepat menggeleng. “Nggak. Cuma... kaget aja.”Ellan tersenyum. Bukan senyum gigolo. Tapi senyum anak muda yang baru saja menemukan sesuatu yang tak terduga. Ia melangkah masuk, menyapa ayahnya dengan cepat, lalu—dengan penuh kesadaran—berdiri tepat di depan Sheana.Dirga bangkit, menjabat tangan Ellan. “Akhirnya bi