#Warning21+ #AdultRomance #MatureContent "Shea... kamu tahu nggak, kulit kamu ini kayak..." bisik Ellan, lalu menggigit manja sisi pinggang Sheana. Wanita itu melenguh kecil. "...kayak dosa yang pengen aku ulang-ulang tanpa tobat." Sheana menggigit bibir, menahan tawa dan rasa geli. Tapi dalam hatinya, ia tahu... ini bukan lagi permainan. *** Sheana, 35 tahun. Cantik, elegan, istri sah dari seorang pengusaha kaya raya. Tapi hidupnya sunyi. Pernikahannya dingin. Suaminya nyaris tak pernah peduli. Sampai suatu malam, ia bertemu Ellandra—brondong tampan, 23 tahun, seorang pretty boy escort profesional yang seharusnya hanya jadi pelarian. Tapi pria itu justru menyentuh luka terdalam Sheana yang tak pernah dilihat siapa pun. Lebih muda, lebih gila, dan... lebih berbahaya. Karena Ellan ternyata bukan pria biasa. Ia putra dari partner bisnis suaminya sendiri. Awalnya hanya tubuh. Lalu jadi candu. Dan pelan-pelan, cinta tumbuh di tempat paling terlarang. Tapi cinta mereka bukan tanpa batas. Ada pernikahan yang dipertaruhkan. Ada suami yang menyimpan rahasia besar. Dan ada masa lalu yang bisa menghancurkan semuanya. Ini bukan tentang siapa yang lebih muda atau lebih tua. Tapi siapa yang paling mampu membuatmu merasa hidup.
Lihat lebih banyak“Kalau seperti ini... apa aku masih sama? Masih Sheana yang kamu kenal dulu?”
Sheana menatap dalam, hanya beberapa inci dari wajah Ellan—baru saja bibirnya lepas dari pemuda yang terpaut belasan tahun darinya itu. Ellan tak menjawab. Tapi ia bertindak. Tangannya menangkap lengan Sheana, menariknya kembali. Dalam sentakan cepat, tubuh wanita itu dibalik, dan bibir mereka bertemu lagi. Ciuman itu rakus. Kasar. Terburu-buru. Tangannya menyusup ke balik kaos longgar Sheana, menyentuh kulit hangat yang selama ini hanya jadi imajinasi. Sentuhan berubah liar. Remasan menggantikan kelembutan. Bisikan Sheana yang memintanya tenang, tenggelam oleh gejolak yang tak terbendung. Pakaian mereka lepas satu per satu. Tak ada lagi jarak, hanya napas yang menyatu dan panas tubuh yang menyesakkan ruang. “Shea…” bisik Ellan. Panggilan itu nyaris seperti peringatan—tapi tak cukup kuat menghentikan amukan di dadanya. Tatapan mereka bersentuhan. Dalam mata Sheana ada getar—bukan penolakan, tapi ragu yang hanya Ellan bisa memahaminya. Ia tak berhenti. Melangkah, melebur, memecah rindu, sepi, dan luka yang tak kunjung pulih. “Aku kangen banget sama kamu, Shea…” desisnya. Tubuh mereka menyatu, dalam gerakan yang menyakitkan sekaligus penuh gairah. Mereka saling mencari, berganti posisi, berlayar dalam sunyi. Hingga akhirnya, dalam desakan terakhir, Ellan mencapai puncak. Ia tenggelam di pelukan Sheana, dengan wajah terkubur di leher wanita itu. Saat menarik diri, matanya menangkap sesuatu di dada kiri Sheana. Sebuah tato kecil bertuliskan satu huruf. “Ini... inisial namaku?” bisiknya, nyaris tak percaya. Sheana tak menjawab. Tapi malam itu, waktu seolah berhenti di kamar yang hanya milik mereka. Cinta mereka adalah luka. Cinta mereka adalah kenangan. Terlalu menyakitkan untuk diingat, Tapi terlalu indah untuk dilupakan. Meski jarak dan waktu telah memisahkan mereka selama bertahun-tahun. *** Sheana bersandar di dada Ellan. Kulit mereka masih hangat, napas mulai tenang. Jari-jari Ellan menyusuri rambutnya pelan, seperti ingin merekam semuanya. Ellan mencium ubun-ubunnya. “Aku masih ingat malam pertama kita ketemu,” bisiknya nyaris tak terdengar. Sheana tak menjawab. Tapi genggamannya pada tangan Ellan menguat—itu cukup sebagai jawaban. “You looked so... out of place. Tapi entah kenapa, kamu juga jadi wanita paling cantik di ruangan itu.” Suara Ellan nyaris mengantuk, tapi ingatannya tajam. “Waktu itu kamu ngeliat aku kayak orang asing yang nggak penting. But that night, something clicked.” “Stop,” gumam Sheana dengan mata terpejam. “You’re making it sound too romantic.” Ellan terkekeh pelan. “Biarin. Karena emang itu yang aku rasa. You were chaos... Tapi tiap kali deket kamu, dunia aku malah lebih tenang. Kamu bikin hidup aku jungkir balik, tapi aku juga nggak mau semuanya kembali kayak dulu.” Sheana diam. Hening menggantung. Tatapannya menyentuh langit-langit kamar yang remang, membangkitkan kenangan yang begitu jelas, begitu hidup. Beberapa tahun yang lalu, Ia berdiri di tepi lounge dengan segelas wine di tangan dan mini dress yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Memperlihatkan lekuk yang tak lagi muda, tapi justru menampilkan kedewasaan yang mahal. “Lo cantik banget, sumpah,” bisik Grace, menyilangkan kaki sambil menyesap cocktail. “Tapi auranya… depressing abis. Kayak lo baru ditinggal nikah.” Sheana menghela napas. “Lo tahu yang lebih parah?” “Apa?” “Gue bahkan belum sempet ditinggal. Gue masih dijadiin figuran di rumah sendiri.” Grace mendecak pelan. “Sheana... lo tuh smart, classy, desirable. Masalahnya bukan di lo, tapi di suami lo yang super membosankan itu.” “Boring, tapi masih jadi alasan Mama Dirga nelpon gue tiap hari,” gumam Sheana. “Dan malam ini gue harus pulang cepet karena beliau mau nginap besok.” “Oh for f—” Grace menahan umpatan. “Forget Dirga. Malam ini, lo butuh… disruption. Dan—ah, perfect timing.” Sheana tidak menjawab. Tatapannya menelisik kerumunan, memperhatikan tawa berlebihan para wanita di antara rayuan palsu dari pria-pria muda yang menjual senyum seperti komoditas. Manis tapi tak sepenuhnya tulus. Semua terasa... kosong. “Gue nggak yakin ini ide bagus,” gumamnya, jari-jarinya menyentuh permukaan dingin gelas wine yang belum ia sentuh. Grace mendesah, lalu menyandarkan tubuh. “Lo tuh terlalu kaku, Na. Bukan berarti lo harus tidur sama siapa pun. Kadang, lo Cuma butuh seseorang buat dengerin lo sambil nemenin minum. That’s it.” “Dan cowok-cowok itu… dibayar buat pura-pura peduli?” sindir Sheana. “Enggak semua pura-pura. Ada yang emang pinter bikin perempuan ngerasa hidup lagi.” Grace melirik seseorang di kejauhan, lalu mengangkat tangan, memberi isyarat. Sheana buru-buru menarik lengannya. “Grace, serius. Gue Cuma pengen duduk, minum, terus pulang.” “Terlambat.” Grace terkekeh. “He’s coming.” Dan di detik itulah, Sheana melihatnya. Seorang pria muda, berpakaian hitam kasual yang dipadu dengan jaket kulit dan sneakers putih bersih. Rambutnya sedikit messy, senyumnya terlalu percaya diri, tapi bukan tipe yang menyebalkan. Usianya mungkin dua puluh lima, atau lebih muda. Tapi caranya berjalan... tidak seperti anak-anak. “Ellandra, ini Sheana. Temen gue,” kata Grace cepat, sebelum berdiri. “She’s a bit tense, so be nice.” “Always,” sahut Ellan, suaranya dalam dan lembut. Matanya langsung menatap Sheana tanpa ragu. “Hi.” Sheana meneguk ludah. “Grace, gue—” “Terserah lo mau ngobrol atau enggak. Tapi paling enggak, kasih kesempatan,” ujar Grace sambil berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam jarak yang terlalu dekat untuk sebuah pertemuan pertama.Mereka saling menantang. Tapi jarak mereka sudah terlalu dekat untuk mempertahankan ego masing-masing.Ellan menarik Sheana ke atas tubuhnya, menggiringnya perlahan. Sheana masih pakai bra tipis dan celana dalam, kulitnya hangat dan sedikit lembap karena nyuci bareng tadi. Tangannya menggenggam lengan Ellan, menekan ringan."Aku nggak pernah ngelakuin ini dengan siapa pun kayak aku sama kamu, Ell.""Aku tahu. Aku juga nggak pernah begini sama siapa pun."Mereka berciuman, dalam, basah, panas. Ciuman yang membuat Ellan kehilangan nalar. Ia mulai menuruni leher Sheana, mengecup dan menyedotnya, meninggalkan jejak kemerahan di kulit mulus itu. Sheana mencakar halus punggung Ellan sambil menggeliat di bawah tubuhnya."Shea..." bisiknya dengan suara nyaris parau. "Let me take care of you tonight.""You better do it right."Ia tertawa kecil, dan dengan gerakan pelan namun pasti, membuka kait bra Sheana. Nafas Sheana tercekat, tapi ia tidak menolak. Ellan menyentuhnya, lembut, kemudian inten
Pelipisnya basah oleh keringat dingin. Napasnya tak teratur.Dirga... pikirnya samar. Kamu satu-satunya yang tahu ini semua.Tapi tak mungkin ia menghubunginya sekarang. Tidak saat ia sudah lari jauh dan memilih hidup dengan napasnya sendiri, meski pendek dan nyeri.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu mulai surut perlahan. Seperti gelombang yang tertarik mundur oleh pasang. Ia terkulai di atas ranjang, wajahnya masih pucat tapi tidak seputih tadi. Matanya mengarah ke langit-langit, kosong, namun tenang. Sejenak.Pintu terbuka."Aku balik!" teriak Ellan sambil membawa kantong plastik. Suaranya cerah, langkahnya ringan.Sheana buru-buru bangun duduk, mengelap keringat di pelipis dengan tangan dan menarik selimut ke atas tubuhnya."Kamu kelihatan capek banget," ujar Ellan sambil mendekat dan meletakkan makanan di meja kecil. Ia mencium pipi Sheana, lalu duduk di samping ranjang."Iya... kayaknya masuk angin, de
Satu minggu kemudian"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna."Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana."Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh."Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don't know what you're doing to me."Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini
Suara film berganti jadi lagu tema lucu. Sheana tertawa kecil, lalu refleks menyuapi Ellan keripik. "Tuh, liat deh, cowoknya salah kostum ke rumah calon mertua."Ellan mengunyah sambil melirik Sheana dari atas. "Kamu juga salah kostum ke rumah persembunyian. Siapa suruh cuma bawa dress tipis sama underwear lucu? Nggak nyangka bakal kabur ya?""Emangnya kamu nyangka?""Nggak. Tapi aku selalu siap." Ellan menyeringai, tangannya yang sejak tadi melingkar di perut Sheana kembali menyusup ke dalam kaos."Eh-!" Sheana langsung memelototinya. "Tangan kamu tuh...""Just warming you up," ucap Ellan santai, senyum jailnya nggak hilang. "Blame the shirt, not me. Lubangnya tuh kayak ngundang.""Kalau kamu nggak stop, aku lempar nih HP-nya.""Siap, Tante." Ellan menarik tangannya pelan-pelan, lalu mengecup pundak Sheana.Mereka kembali diam sejenak. Film masih terus berjalan, tapi sorotan mata mereka mulai mengabur dari laya
Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a
"Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen