"Aku lebih dulu kenal sama kamu, Ell. Dan aku lebih pantas kalau disandingkan sama kamu.""Bukan kamu yang menilai pantas atau nggaknya, Mahi.""Aku masih muda, masih sendiri. Dia jauh lebih tua dari kamu. Dan terutama-dia istri orang.""Aku nggak peduli.""Kamu sanggup hancurin hidup kamu hanya karena perempuan kayak Sheana?""Siapa bilang hidup aku hancur? Dan 'perempuan kayak Sheana'-maksud kamu apa? Perempuan kayak dia... nggak ada duanya di dunia ini.""Kamu benar-benar dibutakan sama dia, Ell.""Aku emang buta. Makanya yang aku lihat cuma dia.""Tell me the truth-have you f*cked her? Is that why you're losing your damn mind over her?""Stay the hell out of my life, Mahi. It's still none of your goddamn business.""Ini jadi urusan aku, Ell. Aku calon tunangan kamu.""Dan sekarang kita bisa perjelas ini semua, Mahi. Ada orang lain yang aku cintai, yaitu Sheana. Jadi kita bisa batal
Beberapa menit kemudian, Sheana mendorong pelan dada Ellan. Matanya berkaca-kaca, bibirnya basah."Ellan... kita nggak bisa terus kayak gini..."Tapi Ellan masih memejam. Masih belum siap melepas."Just tonight," bisiknya pelan. "Just this moment. Biarkan aku lupa kalau kamu bukan milikku."Sheana mengusap pipinya. Dan walau tidak menjawab, ia tetap berdiri di sana.Bersama Ellan. Di ruang dan waktu yang sempit...Mereka memilih saling memiliki-meski tahu, kehilangan hanya tinggal menunggu giliran.Di tempat lain, Mahi kini berdiri di dekat buffet, sendirian, piring di tangannya nyaris tak disentuh.Matanya sibuk.Tatapannya melayang ke seluruh ruangan-ke panggung kecil di tengah, ke jajaran direksi, ke sudut tempat Alvino baru saja bicara dengan klien Jepang, dan terakhir... ke pintu masuk.Pintu itu terbuka pelan.Dua sosok melangkah nyaris bersamaan. Terpisah hanya beberapa detik. T
Wajah yang tadi siang cemberut di kantor, sekarang tampak kusut-dan rindu."Shea..." suara Ellan berat. "Aku beneran udah mau naik pager barusan."Sheana tertawa kecil. "Kamu udah gila, Ell."Ellan bersandar ke jok, meletakkan buket camilan di pangkuannya. "Kalau aku naik pager terus jatuh... kamu bakal turun?"Sheana berpura-pura berpikir. "Kalau kamu jatuhnya elegan, mungkin."Mereka tertawa kecil. Tapi kemudian hening lagi. Tatapan mereka saling bertaut di layar."Besok kita ketemu?" tanya Sheana pelan."Kalau kamu mau," jawab Ellan, lebih pelan lagi. "Tapi kali ini... jangan senyum ke dia kayak tadi."Sheana menunduk. "Dirga nyentuh aku... karena dia suami aku.""Tapi kamu diem."Ellan menatap layar. "Kamu nggak dorong dia. Kamu nggak... lihat aku."Sheana mengangkat wajahnya. "Tapi malam ini aku lihat kamu. Dan cuma kamu."Ellan memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi. "Cium layar. Sekarang."Sheana mengerutkan alis. "Apa?""Cium layar. Please. Biar aku bisa tidur."Sheana me
Alvino duduk di ujung meja, wajahnya seperti sedang menonton drama tak tertulis.Sheana akhirnya bicara. Suaranya tenang. Terlalu tenang. "Kalau bisa dipercepat dua minggu, harusnya divisi klinis juga bisa sinkronisasi data uji lapangan dari Hanoi. Aku bantu koordinasiin.""Ya... semua juga bisa cepat kalau yang ngomong Sheana," celetuk Ellan. "Kalau semua bisa dipercepat, semoga hati yang dingin juga bisa cepat mencair."Dirga menoleh, curiga. "Apa tadi?""Enggak." Ellan meneguk air putih cepat. "Itu metafora suhu."Alvino menghela napas panjang, lalu bicara, "Kita fokus ke timeline dan kesiapan tim. Ellan, kamu backup distribusi. Sheana, bantu tim klinis untuk validasi dokumen.""Dengan senang hati," ujar Sheana, masih tanpa ekspresi. Tapi tangannya merapikan tablet di atas meja... terlalu pelan. Terlalu anggun.Ellan menoleh padanya sekilas. "Kalau ada dokumen yang butuh tanda tangan manual, aku bisa ke ruangan kamu.
Lounge malam itu tidak terlalu ramai. Lampu neon ungu menghiasi dinding kaca. Di sofa VIP paling ujung, seorang wanita paruh baya dengan gaun hijau satin sedang tertawa kecil sambil menyeruput martini.Ellan duduk di sebelahnya. Kemeja hitam, dasi longgar, senyum setengah jadi.Dia tampan. Terlalu tampan untuk pria yang tampak segalau itu."Darling, kamu nggak seperti biasanya malam ini," ujar si wanita, suaranya seperti madu dan vodka bercampur jadi satu.Ellan menoleh sedikit, tersenyum sopan. "Long day, Tante. But I'm all yours tonight.""Oh, I know that," si wanita mengedip genit, lalu berdiri. "Tunggu sebentar ya. Aku harus angkat telepon."Begitu wanita itu melangkah menjauh, seseorang menarik kursi di seberang meja."Holy. Sh*t. Romeo in black silk," gumam suara yang sangat familiar.Ellan menoleh pelan.Grace.Dengan crop top hitam dan rambut dicepol asal-asalan, ia meletakkan gelas win
"Ssst," Ellan meletakkan telunjuk depan mulutnya. Suara itu rendah, nyaris seperti bisikan.Dan dalam sekejap, Sheana sudah tertarik ke lorong samping yang remang dan sepi. Detak jantungnya melonjak. Nafasnya tercekat."Apa yang kamu lakukan?" bisiknya nyaris tak bersuara.Ellan tidak menjawab.Matanya menatap Sheana seperti lelaki yang kehausan. Seperti orang yang hanya bisa bernapas kalau wanita di depannya ini ada dalam pelukannya lagi."Ellan!" bisik Sheana panik. "Kamu gila?! Kita masih di kantor-""Just thirty seconds," potong Ellan, matanya gelap dan penuh rindu. "I need this. I need you.""Sheesh, kamu nekat banget..." bisik Sheana, tapi suaranya melemah saat Ellan mencengkeram pinggangnya dan menariknya lebih dekat."Kamu tau nggak aku nahan kayak apa selama meeting tadi?" gumam Ellan, suara beratnya nyaris seperti desahan. "Kamu duduk di seberangku, ngeliatin layar-sementara aku cuma mikirin gimana ras