Ellan menuruni tangga bersama Sheana dan mengantar wanita itu pulang.
Langit malam masih berpendar lampu-lampu kota, tapi di antara mereka berdua, hanya ada keheningan yang bicara paling keras. Mobil berhenti agak jauh dari rumah, tepat di bawah bayang pohon. Jalanan sepi, udara malam sedikit lembap, dan lampu depan rumah Sheana menyala redup, seperti sengaja menunggu. Ellan mematikan mesin, lalu menoleh pelan. Matanya menatap dalam, serius, tapi tetap menyisakan kelembutan yang hanya Sheana yang tahu. “Next time,” katanya, suara serak dan jujur, “aku nggak bakal nunggu kamu chat duluan. Aku yang bakal nyari kamu.” Sheana diam. Pandangannya lurus ke depan, ke arah rumahnya, tapi pikirannya justru tersangkut pada sorot mata Ellan. Detak jantungnya—kencang, dalam, dan sulit diabaikan—menjawab semuanya. Tapi tetap saja, lidahnya kelu. Ellan mendekat sedikit, hanya beberapa senti. “Aku tahu kamu nggak biasa percaya orang. Tapi kamu juga tahu, I’m not just some guy.” Sheana menoleh perlahan. Sorot matanya rapuh, tapi juga hangat. Seolah dunia yang dia tinggali terlalu dingin, dan Ellan adalah satu-satunya jaket tipis yang bisa dia pinjam, walau untuk sementara. “Kalau aku kabur lagi?” bisiknya. Ellan tersenyum kecil. “Aku tetap nyari. Sampai ketemu. Sampai kamu nggak perlu kabur lagi.” Hening. Angin malam menyentuh pipi Sheana, membuat helai rambutnya bergerak pelan. Tanpa sadar, Ellan menyelipkan helaian itu ke belakang telinganya. Lembut. Nyaris seperti mimpi yang terlalu berani menyentuh kenyataan. “Ellan,” suara Sheana nyaris tak terdengar, “jangan terlalu baik.” “Telat,” katanya. “Udah kejadian.” Mereka tertawa kecil. Tawa yang tidak sekeras pesta, tapi jauh lebih tulus dari seluruh malam yang baru saja mereka lalui. Dan ketika Sheana akhirnya membuka pintu mobil, melangkah keluar, dan berdiri di trotoar sambil menatap Ellan untuk terakhir kalinya malam itu, dia sadar—malam ini bukan tentang pelarian. Tapi tentang seseorang yang diam-diam ingin menetap, walau tahu dia tak dijanjikan apa-apa. * "Ayolah, Sheana. Lo butuh healing, bukan nulis diary setiap malam sampe mata lo bengkak." Sheana menatap Grace dengan wajah lelah. “Gue nggak nulis diary, Grace. Gue cuma butuh... tenang.” “Tenang dari hidup lo yang stuck?” Grace mengangkat alis. “Udah deh. Malam ini gue traktir. Ada diskotik yang baru buka, DJ-nya dari Amsterdam. No pressure, just fun.” Awalnya Sheana ragu. Tapi bayangan wajah mama Dirga dan nada sindirannya tadi siang membuat keputusan jadi lebih mudah. Dan di sinilah dia malam ini. Berdiri dengan gaun hitam selutut dan rambut digelung rapi, dia tampak seperti bunga elegan di antara rumput liar. Grace menyorongkan satu gelas, lalu menunjuk seorang pria muda tinggi berjaket kulit yang berdiri di pojok. “Gue booking dia buat lo malam ini. Namanya Jo.” Sheana refleks memberi tatapan tajam, seolah tak setuju. “Trust me,” kata Grace tadi sambil menguncir rambutnya tinggi. “After that magical night with Pretty Boy Escort, lo butuh mainan baru. Refreshing!” Sheana hanya mengangkat bahu. Ia sebenarnya tidak tertarik. Tapi ada sesuatu yang menggerogoti hatinya. Rasa penasaran yang menyebalkan. Tentang apakah semua momen dengan Ellan... hanya bagian dari paket layanan? Sheana menatap Jo yang melambaikan tangan kecil dan tersenyum percaya diri. Dia berusaha membalas, tapi wajahnya kehilangan ekspresi. Bukan dia. Bukan Ellan. Sekarang, di depan bar, seorang pria berdiri di sampingnya. Tinggi, berambut rapi, senyumannya terlatih. Terlalu sempurna untuk dianggap asli. Dan memang bukan. “Hi, aku Jo,” katanya ramah, sambil menyodorkan tangan. “Grace bilang kamu... butuh ditemani malam ini?” Sheana melirik tangannya, lalu ke wajahnya. Senyum sopan. Tatapan kosong. “Hmm,” gumam Sheana. “Kamu cowok bayaran?” Jo tertawa kecil. “Bahasanya bisa lebih halus, tapi... ya. Aku profesional.” Seketika, Sheana ingin pergi. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, terdengar suara familiar dari belakang Jo. “Wah, wah... kamu ngapain pakai jasa orang lain sih?” Suara itu. Sheana menoleh cepat. Ellan berdiri tak jauh, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, wajahnya santai tapi ada api kecil di balik mata pemuda itu. Di tangannya, ada jaket milik pria di depannya—Jo—yang sedang ditarik pelan. “Bro, maaf ya,” kata Ellan ringan, lalu menepuk bahu Jo. “Tante yang ini langganan tetap. Lain kali pilih klien yang belum ada cap-nya.” Jo terlihat bingung tapi menurut. Ia melangkah pergi tanpa banyak tanya. Sheana menatap Ellan. Campuran bingung, kesal, tapi juga... lega. “Kamu ngapain di sini?” tanyanya cepat. “Kangen,” jawab Ellan seenaknya. “Kamu ngikutin aku?” “Nggak. Aku kerja juga malam ini. Tapi pas tahu kamu ada di sini, aku barter klien.” “Barter?” “Yup.” Ellan menyeringai. “Tukeran. Dan aku pilih kamu.” Sheana ingin berkata banyak, tapi mulutnya hanya mengeluarkan gumaman, “Kamu gila.” “Tapi kamu senang aku datang.” Sheana tak menyangkal. Karena ya, dia memang... senang. “Lo ngapain di sini?” tanya Grace heran. Dia yakin kalau cowok yang ia pesan adalah Jo, bukan Ellan. Pemuda itu menatap Grace, lalu ke Sheana. "Tante yang ini cuma boleh pake jasa gue. Lain kali jangan panggil cowok lain buat nemenin dia.” Grace terkekeh. “Woy, lo serius?” Ellan melirik Sheana. “I'm dead serious.” Sheana menggigit bibir. “Ellan, kamu enggak harus—” “Why? You didn’t miss me?” dia menyeringai. “Maybe I did,” jawab Sheana pelan. Ellan mencondongkan tubuh, suara musik masih menggelegar, tapi telinganya hanya ingin menangkap suara Sheana. “You look different tonight.” “Too much?” Ellan menggelengkan kepala pelan. “Too damn beautiful.” Grace berdecak, “Gue nggak ngerti ini apa vibe-nya, tapi kalian berdua bikin gue ngerasa jadi kayak orang ketiga.” Ellan hanya menanggapi dengan anggukan malas, sebelum kembali menatap Sheana. “Next time, bilang langsung ke aku kalau kamu butuh ditemenin. Jangan lewat perantara, apalagi cowok dengan senyum default kayak Jo.” “Jangan bilang lo cemburu,” ujar Grace sambil ngakak. “Nggak. Cuma jijik,” sahut Ellan dengan wajah datar. *** Mereka duduk di lounge kecil, agak menjauh dari dance floor. “Kamu cemburu?” tanya Sheana, menatap Ellan yang masih menyipitkan mata ke arah Jo yang menghilang entah ke mana. “Kalau iya kenapa?” Sheana terkikik. “You’re such a brat.” “Brat yang kamu simpan nomornya di speed dial?” Sheana nyaris menyemburkan wine-nya. “Ellan!” “Cuma ngingetin, Tante. Aku ini bukan cowok bayaran sembarangan.” “Terus kamu apa?” Dia mendekat, nyaris menyentuh pipinya. “Special service. Only for you.” Sheana menatapnya, sejenak diam. Dunia malam begitu bising, tapi detik itu terasa hening. Pandangan mereka saling mengunci—penuh kode, tapi tak satu pun ingin mengartikan lebih dulu. Ellan menyentuh rambutnya. “Kalau malam ini bukan tentang healing, bukan juga tentang pelarian, boleh aku anggap ini tentang kita?” “Kita?” Sheana menahan tawa. “Kata itu berat banget buat dipakai sama cowok yang kerjaannya digebet semua tante-tante.” Ellan menaikkan alis. “Tapi cuma satu yang bikin aku dateng tiap dibutuhkan. Kamu.” Sheana mendesah, setengah tak percaya, setengah ingin mempercayai. Dan malam pun melanjutkan putarannya. Di tengah lampu gemerlap dan dentuman musik yang tak pernah lelah, dua orang yang seharusnya tak saling tergantung itu… mulai terseret pada sesuatu yang tak bisa dinamai. Tapi ketika Sheana menoleh untuk menatap Ellan lagi, ponselnya bergetar. Sebuah nama muncul di layar—nama yang seharusnya tidak tahu di mana dia berada malam ini. Matanya langsung kehilangan fokus. Senyum di bibirnya hilang. Ellan menyadarinya. “Kenapa?” “I have to get out of here. I’m sorry.” “Sheana, siapa yang nelpon?” Ponsel Sheana kembali bergetar. Kali ini sebuah pesan muncul. [ Keluar sama Grace ternyata cuma alibi, ya? ]Mereka saling menantang. Tapi jarak mereka sudah terlalu dekat untuk mempertahankan ego masing-masing.Ellan menarik Sheana ke atas tubuhnya, menggiringnya perlahan. Sheana masih pakai bra tipis dan celana dalam, kulitnya hangat dan sedikit lembap karena nyuci bareng tadi. Tangannya menggenggam lengan Ellan, menekan ringan."Aku nggak pernah ngelakuin ini dengan siapa pun kayak aku sama kamu, Ell.""Aku tahu. Aku juga nggak pernah begini sama siapa pun."Mereka berciuman, dalam, basah, panas. Ciuman yang membuat Ellan kehilangan nalar. Ia mulai menuruni leher Sheana, mengecup dan menyedotnya, meninggalkan jejak kemerahan di kulit mulus itu. Sheana mencakar halus punggung Ellan sambil menggeliat di bawah tubuhnya."Shea..." bisiknya dengan suara nyaris parau. "Let me take care of you tonight.""You better do it right."Ia tertawa kecil, dan dengan gerakan pelan namun pasti, membuka kait bra Sheana. Nafas Sheana tercekat, tapi ia tidak menolak. Ellan menyentuhnya, lembut, kemudian inten
Pelipisnya basah oleh keringat dingin. Napasnya tak teratur.Dirga... pikirnya samar. Kamu satu-satunya yang tahu ini semua.Tapi tak mungkin ia menghubunginya sekarang. Tidak saat ia sudah lari jauh dan memilih hidup dengan napasnya sendiri, meski pendek dan nyeri.Beberapa menit kemudian, rasa sakit itu mulai surut perlahan. Seperti gelombang yang tertarik mundur oleh pasang. Ia terkulai di atas ranjang, wajahnya masih pucat tapi tidak seputih tadi. Matanya mengarah ke langit-langit, kosong, namun tenang. Sejenak.Pintu terbuka."Aku balik!" teriak Ellan sambil membawa kantong plastik. Suaranya cerah, langkahnya ringan.Sheana buru-buru bangun duduk, mengelap keringat di pelipis dengan tangan dan menarik selimut ke atas tubuhnya."Kamu kelihatan capek banget," ujar Ellan sambil mendekat dan meletakkan makanan di meja kecil. Ia mencium pipi Sheana, lalu duduk di samping ranjang."Iya... kayaknya masuk angin, de
Satu minggu kemudian"Pindah dikit dong, hoodie aku ketarik," keluh Sheana sambil menyikut pelan perut Ellan.Ellan yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding dengan kaki selonjor dan Sheana setengah tidur menyandar ke dadanya, cuma nyengir. Tangan kanannya masuk dari bawah hoodie yang kebesaran di badan Sheana, menjelajahi perut hangat perempuan itu dengan malas tapi penuh makna."Aku bantu ngangetin badan kamu, itu niatnya," bisik Ellan di dekat telinga Sheana."Niat nakal." Mata Sheana melirik, separuh mengancam, separuh geli. Tapi dia tak menjauh, malah membiarkan jari-jari Ellan bermain di sana. Sampai jari itu turun terlalu jauh."Ellan," desisnya, pelototan kali ini sungguhan.Ellan langsung angkat tangan sambil ketawa kecil. "Oke, oke. I surrender. Tapi kamu tahu itu distracting banget, kan? You, in my hoodie, acting like you don't know what you're doing to me."Sheana menyandarkan kepalanya lagi, kali ini
Suara film berganti jadi lagu tema lucu. Sheana tertawa kecil, lalu refleks menyuapi Ellan keripik. "Tuh, liat deh, cowoknya salah kostum ke rumah calon mertua."Ellan mengunyah sambil melirik Sheana dari atas. "Kamu juga salah kostum ke rumah persembunyian. Siapa suruh cuma bawa dress tipis sama underwear lucu? Nggak nyangka bakal kabur ya?""Emangnya kamu nyangka?""Nggak. Tapi aku selalu siap." Ellan menyeringai, tangannya yang sejak tadi melingkar di perut Sheana kembali menyusup ke dalam kaos."Eh-!" Sheana langsung memelototinya. "Tangan kamu tuh...""Just warming you up," ucap Ellan santai, senyum jailnya nggak hilang. "Blame the shirt, not me. Lubangnya tuh kayak ngundang.""Kalau kamu nggak stop, aku lempar nih HP-nya.""Siap, Tante." Ellan menarik tangannya pelan-pelan, lalu mengecup pundak Sheana.Mereka kembali diam sejenak. Film masih terus berjalan, tapi sorotan mata mereka mulai mengabur dari laya
Seorang asisten laki-laki mencoba menjelaskan, suaranya nyaris tenggelam. "Kami sudah menelusuri apartemennya, Pak. Semua barang penting hilang. Dia pergi... dengan sengaja.""Dengan perempuan itu." Alvino mendesis seperti akan meludah. "Tell me it's not true."Tak ada yang menjawab. Hanya diam. Dan itu cukup menjadi jawaban paling menyakitkan."Anak saya kabur, dengan istri partner bisnis terbesar perusahaan ini! Ini penghinaan! Pengkhianatan!" Napasnya memburu. "Dan kalian semua di sini Cuma berdiri?!"Tangan Alvino menyambar dokumen di meja dan melemparkannya ke dinding. Sebuah figura pecah. Dua sekretaris yang berdiri di luar ruangannya saling pandang, lalu mundur pelan-pelan, seolah takut jadi korban berikutnya.Lantai itu membeku. Tapi di gedung yang berbeda, di sebuah ruangan kerja pribadi yang jauh lebih tenang-suasana justru berbanding terbalik.Dirga duduk di kursi kulit berwarna hitam, menatap sebotol kecil obat yang a
"Ke apartemenku dulu. Ambil barang dan cash, terus kita kabur dari kota ini. Aku tahu tempat aman di luar kota. I have a plan."Sheana terdiam sejenak. "Kamu bener-bener udah siap tinggalin semuanya?""Aku gak pernah se-yakin ini sama apapun, Shea. Dan kalau kamu ikut... itu cukup buat aku."Di kejauhan, terdengar suara pintu mobil ditutup keras."Ellan!"Itu suara Alvino.Sheana dan Ellan saling pandang. Napas mereka membeku seketika."Go." Bisik Ellan, matanya tajam.Tanpa menunggu lagi, mereka lanjut berlari menyeberang ke gang sempit yang hanya muat satu sepeda motor. Sepatu Sheana terperosok di tanah lembab, tapi ia terus berlari. Tote bag-nya berguncang di bahu.Di belakang mereka, suara pintu pagar dibuka kasar."Sheana! Ellan! Berhenti!"Mereka berdua semakin kencang larinya, jantung berdegup hebat. Seolah kalau mereka berhenti sekarang, dunia akan menelan mereka hidup-hidup.