Mobil ini masih terparkir di pelataran rumah sakit saat aku bernyata siapa yang sakit.
Dito mengubah posisi jok mobilnya menjadi lebih bersandar, ia menelengkan kepala untuk menatapku.
"Aku mencoba untuk mengerti kemauan mama, A! Selama aku pergi, aku hanya menuruti semua keinginan mama untuk melupakanmu! Tapi aku---aku gak bisa, Ann! Aku gak bisa ngelupain kamu."
Dito memejamkan mata dan kepalanya ditundukkan, dadanya mengembang saat ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Ada yang tidak beres, aku kira begitu. Karena biasanya Dito sama sekali tidak pernah sefrustasi ini jika kita bertengkar pun.
Namun masalah ini, teramat berat bagi kita berdua. Terlebih orangtuanya.
Aku mengelus pundaknya pelan. Aku merasa akulah penyumbang terbesar dalam masalah ini.Dito menahan tanganku, ia menggenggamnya dengan segala kerinduan.
Rasa hangat berpendar di telapak tangan kami berdua. Aku mengerti, kami berdua sama-sama rapuhnya sekarang.
"Siapa yang sakit, Dit?" tanyaku pelan. Mencoba memahami bahwa Dito punya alasan lain mengajakku ke rumah sakit.
Wajah Dito datar, ia menatapku sendu.
"Mama." ucap Dito nyaris tak bersuara."Bu Susanti." gumamku tanpa suara.
Dadaku seperti terkena bogem mentah saat Dito berkata, Bu Susanti terkena serangan jantung.Lututku rasanya langsung lemas, aku bahkan tak yakin kuat berdiri saat ini. Aku sukses membeku di samping Dito yang ikut terdiam.
Mungkin bagi Bu Susanti aku slalu salah dan tak pernah benar. Aku pun tak bisa membuat suasana ini menjadi damai.
Hal ini teramat genting untuk aku dan Dito jika masih bersama.
Menurutku kita harus menjaga jarak, berkencan biasa, tidak tidur bersama dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang lain daripada hanya berdua saja. Itu lebih baik, pikirku.
Lebih baik untuk kewarasan semua."Dit!"Dito menggeleng pelan. "Aku tidak tahu caranya pergi darimu, Anna! Temui mama, minta maaflah kepada beliau."
Deg.
Aku tertegun. Aku tidak tahu pasti aku bisa melakukannya atau tidak. Aku bahkan tidak bisa merangkai kata-kata saat ini. Otakku rasanya tersumbat oleh rasa takut.
"Aku percaya kamu bisa, Anna!"
Dito menempelkan bibirnya di bibirku yang terkatup rapat. Ia membelai bibirku teramat dalam sampai aku tersengal-sengal.
Dito mengusap bibirku sambil tersenyum kaku. "Aku kangen kamu, Anna! Aku kangen---maaf."
Aku menghembuskan nafas melalui mulut. Tak sanggup rasanya kalau sampai Bu Susanti malah kaget dan jantungnya semakin kolaps.
**
Aku berdiri dengan lunglai. Rasanya kedua kaki sudah tak mampu lagi menopang tubuhku sendiri. Degup jantungku berdebar lebih cepat dan sangat sakit di dalam sini. Kedua mataku tiba-tiba memanas dan berkaca-kaca. Sekitar lima meter dariku, Bu Susanti terbaring lemah di atas pembaringan pasien. Hidungnya terhubung dengan selang oksigen, kabel-kabel elektrokardiogram terpasang di dadanya.
Aku membisu di samping Dito yang membawakan buket bunga entah kapan ia belinya---mungkin di kursi penumpang karena aku tak benar-benar mengamati baik-baik isi mobilnya.
"Dit..." Aku menatapnya, ia pasti tahu
aku cemas, aku takut, tapi ia tahu aku adalah gadis pemberani yang bisa meredam ketakutku sendiri.Aku menggeleng pelan. Aku takut Bu Susanti malah benar-benar jantungan karena melihatku disini.
Dito mengangguk, seulas senyum tipis ia berikan padaku. "Yang manis, Anna! Aku tahu kamu bisa." ucapnya serak di telingaku. Aku menelan ketakutanku dengan bulat-bulat. Aku mengambil alih buket bunga setelah memakai seragam khusus pengunjung pasien.
Aku menoleh ke arah Dito. Dito melihatku dari balik kaca lengkap dengan senyum tipisnya.
Aku melemah, sama sekali tidak merasakan kemenangan yang kuharap disini saat menaruh buket bunga ke dalam vas.
Bu Susanti menyambar lenganku, matanya mendelik meski terlihat lelah. "PER---GI!"
Dito adalah hasratku dan milikku, begitu sebaliknya. Aku tidak bisa pergi dari Dito meski terputar-putar dalam tong setan yang memabukkan sekaligus memuntahkan isi perut.
Aku membungkukkan badan untuk mencium punggung tangan Bu Susanti. Terlihat sedikit memaksa karena Bu Susanti jijik padaku.
"Anna minta maaf, Ibu. Anak minta maaf! Anna salah." kataku selirih mungkin.
Bu Susanti mendelikkan mata, aktivitas jantungnya semakin meningkat. Aku panik, dengan gegas aku memencet tombol emergency room untuk memanggil dokter jaga. Aku tidak mau Bu Susanti kolabs dan dosaku semakin banyak.
Tak menunggu lama, seorang dokter jaga dan perawatan masuk ke dalam kamar inap Bu Susanti dan memeriksanya.
Aku berangsur mundur, tubuhku bergetar. Takut. Aku menutup mulutku saat beliau mengusirku dengan tatapan mata marah.
Hati dan logika saling melempar persepsi sendiri. Aku tersiksa, aku seperti pembunuh jika Bu Susanti sampai mati karena masalah ini.
Aku melepas seragam pengunjung pasien dengan cepat sebelum berlari keluar dari ruang ICU. Membiarkan orang-orang menatapku heran. Meninggalkan Dito yang harus masuk ke ruang ICU untuk menemani ibunya.
Aku berjongkok di selasar rumah sakit, menangis dengan keras. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi setelah ini. Ini sungguh menyakitkan. Takdir apa ini, Tuhan!
Aku seperti tidak punya pilihan, selain menghilang dari kehidupan Dito.
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me