Share

Bab 6

Mobil ini masih terparkir di pelataran rumah sakit saat aku bernyata siapa yang sakit. 

Dito mengubah posisi jok mobilnya menjadi lebih bersandar, ia menelengkan kepala untuk menatapku. 

"Aku mencoba untuk mengerti kemauan mama, A! Selama aku pergi, aku hanya menuruti semua keinginan mama untuk melupakanmu! Tapi aku---aku gak bisa, Ann! Aku gak bisa ngelupain kamu." 

Dito memejamkan mata dan kepalanya ditundukkan, dadanya mengembang saat ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Ada yang tidak beres, aku kira begitu. Karena biasanya Dito sama sekali tidak pernah sefrustasi ini jika kita bertengkar pun. 

Namun masalah ini, teramat berat bagi kita berdua. Terlebih orangtuanya.

Aku mengelus pundaknya pelan. Aku merasa akulah penyumbang terbesar dalam masalah ini.

Dito menahan tanganku, ia menggenggamnya dengan segala kerinduan.  

Rasa hangat berpendar di telapak tangan kami berdua. Aku mengerti, kami berdua sama-sama rapuhnya sekarang. 

"Siapa yang sakit, Dit?" tanyaku pelan. Mencoba memahami bahwa Dito punya alasan lain mengajakku ke rumah sakit.  

Wajah Dito datar, ia menatapku sendu. 

"Mama." ucap Dito nyaris tak bersuara. 

"Bu Susanti." gumamku tanpa suara. 

Dadaku seperti terkena bogem mentah saat Dito berkata, Bu Susanti terkena serangan jantung. 

Lututku rasanya langsung lemas, aku bahkan tak yakin kuat berdiri saat ini. Aku sukses membeku di samping Dito yang ikut terdiam. 

Mungkin bagi Bu Susanti aku slalu salah dan tak pernah benar. Aku pun tak bisa membuat suasana ini menjadi damai. 

Hal ini teramat genting untuk aku dan Dito jika masih bersama. 

Menurutku kita harus menjaga jarak, berkencan biasa, tidak tidur bersama dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang lain daripada hanya berdua saja. Itu lebih baik, pikirku. 

Lebih baik untuk kewarasan semua.

"Dit!" 

Dito menggeleng pelan. "Aku tidak tahu caranya pergi darimu, Anna! Temui mama, minta maaflah kepada beliau." 

Deg.

Aku tertegun. Aku tidak tahu pasti aku bisa melakukannya atau tidak. Aku bahkan tidak bisa merangkai kata-kata saat ini. Otakku rasanya tersumbat oleh rasa takut. 

"Aku percaya kamu bisa, Anna!" 

Dito menempelkan bibirnya di bibirku yang terkatup rapat. Ia membelai bibirku teramat dalam sampai aku tersengal-sengal. 

Dito mengusap bibirku sambil tersenyum kaku. "Aku kangen kamu, Anna! Aku kangen---maaf." 

Aku menghembuskan nafas melalui mulut. Tak sanggup rasanya kalau sampai Bu Susanti malah kaget dan jantungnya semakin kolaps.

**

Aku berdiri dengan lunglai. Rasanya kedua kaki sudah tak mampu lagi menopang tubuhku sendiri. Degup jantungku berdebar lebih cepat dan sangat sakit di dalam sini. Kedua mataku tiba-tiba memanas dan berkaca-kaca. Sekitar lima meter dariku, Bu Susanti terbaring lemah di atas pembaringan pasien. Hidungnya terhubung dengan selang oksigen, kabel-kabel elektrokardiogram terpasang di dadanya. 

Aku membisu di samping Dito yang membawakan buket bunga entah kapan ia belinya---mungkin di kursi penumpang karena aku tak benar-benar mengamati baik-baik isi mobilnya. 

"Dit..." Aku menatapnya, ia pasti tahu

aku cemas, aku takut, tapi ia tahu aku adalah gadis pemberani yang bisa meredam ketakutku sendiri.

Aku menggeleng pelan. Aku takut Bu Susanti malah benar-benar jantungan karena melihatku disini. 

Dito mengangguk, seulas senyum tipis ia berikan padaku. "Yang manis, Anna! Aku tahu kamu bisa." ucapnya serak di telingaku. Aku menelan ketakutanku dengan bulat-bulat. Aku mengambil alih buket bunga setelah memakai seragam khusus pengunjung pasien.

Aku menoleh ke arah Dito. Dito melihatku dari balik kaca lengkap dengan senyum tipisnya. 

Aku melemah, sama sekali tidak merasakan kemenangan yang kuharap disini saat menaruh buket bunga ke dalam vas. 

Bu Susanti menyambar lenganku, matanya mendelik meski terlihat lelah. "PER---GI!" 

Dito adalah hasratku dan milikku, begitu sebaliknya. Aku tidak bisa pergi dari Dito meski terputar-putar dalam tong setan yang memabukkan sekaligus memuntahkan isi perut. 

Aku membungkukkan badan untuk mencium punggung tangan Bu Susanti. Terlihat sedikit memaksa karena Bu Susanti jijik padaku. 

"Anna minta maaf, Ibu. Anak minta maaf! Anna salah." kataku selirih mungkin. 

Bu Susanti mendelikkan mata, aktivitas jantungnya semakin meningkat. Aku panik, dengan gegas aku memencet tombol emergency room untuk memanggil dokter jaga. Aku tidak mau Bu Susanti kolabs dan dosaku semakin banyak.

Tak menunggu lama, seorang dokter jaga dan perawatan masuk ke dalam kamar inap Bu Susanti dan memeriksanya.

Aku berangsur mundur, tubuhku bergetar. Takut. Aku menutup mulutku saat beliau mengusirku dengan tatapan mata marah.

Hati dan logika saling melempar persepsi sendiri. Aku tersiksa, aku seperti pembunuh jika Bu Susanti sampai mati karena masalah ini. 

Aku melepas seragam pengunjung pasien dengan cepat sebelum berlari keluar dari ruang ICU. Membiarkan orang-orang menatapku heran. Meninggalkan Dito yang harus masuk ke ruang ICU untuk menemani ibunya.

Aku berjongkok di selasar rumah sakit, menangis dengan keras. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi setelah ini. Ini sungguh menyakitkan. Takdir apa ini, Tuhan! 

Aku seperti tidak punya pilihan, selain menghilang dari kehidupan Dito.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
ya tinggalkan saja Anna tragis banget nasib cinta mu
goodnovel comment avatar
Rangga Dewi
tinggalkan dito ,mulai hidup mu yang baru an
goodnovel comment avatar
Poernama
tinggalkan Dito anna kmu harus kuat bangkit dan semangat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status