Share

Bab 5

Hari demi hari berlalu. Aku meringkuk di atas pembaringan seperti anjing resah yang menunggu majikan pulang. Aku kesal sekaligus tak berdaya mendapati bahwa baru beberapa hari berlalu, namun rasanya sudah berabad-abad aku melalui hari-hari setelah pengusiran kemarin. Aku seperti terperosok ke dalam parit berlumpur yang membuat kakiku terjerat akar teratai dan tidak memiliki cara untuk meminta bantuan.

"Ya elah malah gini amat lo, Ann! Semangat kek, terus ke kantor polisi untuk ngelaporin Bu Susanti atas tindakan tidak menyenangkan dan penyerangan. Itu ada pasalnya tau." ucap Cary, ia menaruh kopi yang beraroma nangka, aroma gorengan juga terhirup oleh hidungku. 

Aku beranjak dengan malas. "Beneran ada pasalnya? Aku gak tahu pasal-pasal hukum." akuku jujur. 

Cary mengeluarkan sebatang rokok sebelum menyesapnya. Kepulan asap secepatnya ruang kamar, membuat dadaku sesak tak keruan. 

"Makanya jangan cuma pinter gaya di atas ranjang! Harus pinter dengan hukum-hukum yang berlaku di negara ini. Biar kalau ada apa-apa bisa bertindak, gak bego sama hukum!" sahut Cary.

Aku tinggal di kostnya beberapa hari ini. Kemarin saat aku datang malam-malam dengan raut wajah berantakan dan ribut, dia tak henti-hentinya memaki Bu Susanti.

Dia turut prihatin dengan kondisiku yang menyedihkan ini, tapi juga menjadikan ini guyonan.

Aku mendesah. Ketidakbahagiaan Cary dan perangainya yang menghancurkan diri sendiri membuatnya lebih tertutup terhadap pernikahan.

"Gimana pun aku ini orang lemah, Car. Dito dan keluarganya orang kaya, bisa gunain uang dengan mudah bahkan membalikkan fakta sesungguhnya. Sedangkan aku? Peyek, diinjek langsung remuk."

Cary tertawa miris. "Andai aku jadi kaya!" teriaknya. "Kaya monyet, ha-ha-ha."

Kata-kata Cary berhasil menghiburku. Aku mencintai Dito sebelum aku mengerti bahwa kebahagiaan yang ku rasakan pada awalnya adalah hal termanis yang pernah ku ketahui. Tapi kemudian menjadi masam seiring berjalannya waktu. 

Aku tahu, dalam hidup kita memang bisa mencintai dan melukai orang dalam sekaligus --- tapi ketika perasaan sakit dan kecewa itu terlalu berat untuk di tanggung. Apa bisa aku melaju dengan tenang dan penuh pengharapan? Mustahil.

Setengah jam berlalu. Yang aku habiskan dengan Cary hanyalah menghabiskan kopi dan gorengan sebelum kembali berkutat dengan konsumen di toko.

Hatiku gusar ketika menyadari satu-satunya hal logis yang bisa aku lakukan adalah pergi bekerja. Menyingkirkan Dito dari pikiranku yang sekarang entah ada dimana.

***

Aku menutup telingaku dengan earphone untuk mendengarkan lagu. Lagu-lagu itu menemani ku menyusuri jalan pulang malam ini.

Aku berpisah dengan Cary di halte karena ia harus pergi ke rumah temannya. 

Langkah kakiku berhenti di sebuah lesehan di emperan toko untuk membeli makan malam. 

"Lele bakar sama es teh satu porsi, Pak!" ucapku menyebutkan pesanan. Aku duduk seraya memainkan ponselku. Aku sudah berusaha mencari kabar Dito dari sahabat-sahabatnya atau rekan kerjanya. Sayang, mereka tidak tahu keberadaan Dito karena memang Dito juga tidak kerja. Bu Susanti nampaknya menyembunyikan Dito dari khalayak ramai.

Aku tak pernah mengerti, bagaimana bisa ia memahamiku sejauh ini. Aku adalah perempuan yang butuh perhatian dan waktu. Dito memberikan segalanya dengan peringatan-peringatan kecil agar aku memahami tanggung jawabnya. Tapi di detik ini, Dito benar-benar menghilang! Perkembangan ini semakin membuatku gamang dan resah.

***

"Mbak... Mbak..." 

Aku tergeragap seraya tersenyum kaku kepada penjual pecel lele suroboyoan ini.

"Berapa, pak?" tanyaku sambil merogoh tas tenteng untuk mengambil dompet.

"Dua puluh lima ribu, Mbak! Ngelamun bae, baru banyak pikiran?" tukasnya dengan perhatian.

Aku mengangguk sambil meringis, ku ulurkan uang pas untuk membayar pesanku.

"Makasih, Mbak. Ati-ati!"

Aku mengagumi. kembali memasang earphone seraya keluar dari kedai.

Musik menghentak dengan irama electronic dance music yang membuatku menikmati perjalanan ini dengan santai, sesekali aku memanggutkan kepala. Toh malam ini seperti biasa, aku melamunkan wajahnya dan memikirkan Dito.

Memasuki lahan kost Cary, aku membuang napas panjang sebelum ku saksikan mobil sedan berhenti di lahan parkir yang di khususkan untuk tamu kost eksklusif bertingkat tujuh ini. Aku tertegun. Ini terlalu rumit untuk di pahami sekaligus. Aku seolah berpijak pada tanah tak seimbang saat Dito mengamatiku dengan tajam sebelum langkah-langkah lebarnya mendekatiku dengan wajah lusuh dan kusam. 

Dito memelukku dengan erat. Aku bergeming. Apa ini nyata? Atau hanya halusinasi? Aku sungguh dilema, ia menemuiku untuk menyingkirkan keresahan di benakku atau hanya ingin menambah beban lagi?

Tanpa sadar aku tak bisa menghentikan air mataku yang membasahi jaketnya. Aku terpukul dengan kejadian kemarin yang begitu membuatku semakin sadar bahwa ada banyak hal yang tidak baik-baik saja sampai kapanpun jika hubungan ini akan terus berlanjut. Dan aku yakin, hubungan ini harus di perjelas arah tujuannya.

"Apakah harus sekejam itu, Dit? Apa harus sampai ngehancurin apapun dikost ku?"

Dito menyapukan pandangannya di wajahku, jari telunjuknya menghapus linangan air mata di pipiku. Dito menggeleng perlahan seraya membenturkan kepalanya di keningku dengan frustasi.

"Anna..." 

Aku mengepalkan tanganku hingga bunyi kresek yang aku remas membuat Dito mengalihkan pandangannya, seulas senyum tipis beradu di raut wajahnya.

"Kamu lapar, Anna?"

"Kelihatannya?" jawabku malas dengan raut wajah berpikir.

Dito tahu aku disini? Apa jangan-jangan Cary memberitahunya? Ya Tuhan, Cary.

Dito tersenyum kaku, dia bahkan terlihat tenang sekali meski lingkar matanya menghitam.

"Pulang, Dit! Ibumu pasti nungguin kamu dirumah." sindirku seraya tersenyum miris. Bu Susanti pasti bakal uring-uringan lagi kalau tahu anaknya masih menemuiku, cewek murahan yang menjadi wahana obsesi anaknya sendiri. Mungkin ini yang tidak Dito ceritakan pada ibunya, seks. Namun seberapa besar salah anaknya, Bu Susanti pasti menepis segalanya dengan dalih yang biasa ia lakukan. Bukan Dito yang salah, aku yang salah.

Dito mengerang frustasi, wajahnya terlihat gelisah. Ia membuka mobil dan lantas mencengkeram lenganku seraya mendorongku masuk ke dalam mobil sedan yang menjadi saksi kisah cinta kami menggebu-gebu. Kami pernah memadu kasih di kursi penumpang saat menganggap bahwa dosa besar yang kami lakukan adalah hal biasa.

"Kamu mau membawaku kemana, Dit?" tanyaku panik, "jangan main-main kamu, Dit." imbuhku memberontak saat ia mencoba memakaikan sabuk pengaman.

"Aku gak ngajak kamu kemana-mana, Anna. Tenanglah, aku masih kekasihmu." kata Dito sambil membelai rambutku.

Aku terdiam, membiarkan radio melantunkan lagu-lagu populer untuk mengisi keheningan selama perjalanan yang entah kemana ini.

Namun hatiku semakin tidak tenang saat mobil berbelok ke arah rumah sakit.

"Kita sampai, Anna!" 

Aku melihat sekeliling dengan keheranan. "Siapa yang sakit?"

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
ngapain ke rumah sakit siapa yg sakit
goodnovel comment avatar
Poernama
jgn kalah sm cinta menyiksa Anna
goodnovel comment avatar
Rangga Dewi
ibu nya dito kah yg sakit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status