Hari demi hari berlalu. Aku meringkuk di atas pembaringan seperti anjing resah yang menunggu majikan pulang. Aku kesal sekaligus tak berdaya mendapati bahwa baru beberapa hari berlalu, namun rasanya sudah berabad-abad aku melalui hari-hari setelah pengusiran kemarin. Aku seperti terperosok ke dalam parit berlumpur yang membuat kakiku terjerat akar teratai dan tidak memiliki cara untuk meminta bantuan.
"Ya elah malah gini amat lo, Ann! Semangat kek, terus ke kantor polisi untuk ngelaporin Bu Susanti atas tindakan tidak menyenangkan dan penyerangan. Itu ada pasalnya tau." ucap Cary, ia menaruh kopi yang beraroma nangka, aroma gorengan juga terhirup oleh hidungku. Aku beranjak dengan malas. "Beneran ada pasalnya? Aku gak tahu pasal-pasal hukum." akuku jujur. Cary mengeluarkan sebatang rokok sebelum menyesapnya. Kepulan asap secepatnya ruang kamar, membuat dadaku sesak tak keruan. "Makanya jangan cuma pinter gaya di atas ranjang! Harus pinter dengan hukum-hukum yang berlaku di negara ini. Biar kalau ada apa-apa bisa bertindak, gak bego sama hukum!" sahut Cary.Aku tinggal di kostnya beberapa hari ini. Kemarin saat aku datang malam-malam dengan raut wajah berantakan dan ribut, dia tak henti-hentinya memaki Bu Susanti.Dia turut prihatin dengan kondisiku yang menyedihkan ini, tapi juga menjadikan ini guyonan.Aku mendesah. Ketidakbahagiaan Cary dan perangainya yang menghancurkan diri sendiri membuatnya lebih tertutup terhadap pernikahan."Gimana pun aku ini orang lemah, Car. Dito dan keluarganya orang kaya, bisa gunain uang dengan mudah bahkan membalikkan fakta sesungguhnya. Sedangkan aku? Peyek, diinjek langsung remuk."Cary tertawa miris. "Andai aku jadi kaya!" teriaknya. "Kaya monyet, ha-ha-ha."Kata-kata Cary berhasil menghiburku. Aku mencintai Dito sebelum aku mengerti bahwa kebahagiaan yang ku rasakan pada awalnya adalah hal termanis yang pernah ku ketahui. Tapi kemudian menjadi masam seiring berjalannya waktu. Aku tahu, dalam hidup kita memang bisa mencintai dan melukai orang dalam sekaligus --- tapi ketika perasaan sakit dan kecewa itu terlalu berat untuk di tanggung. Apa bisa aku melaju dengan tenang dan penuh pengharapan? Mustahil.Setengah jam berlalu. Yang aku habiskan dengan Cary hanyalah menghabiskan kopi dan gorengan sebelum kembali berkutat dengan konsumen di toko.Hatiku gusar ketika menyadari satu-satunya hal logis yang bisa aku lakukan adalah pergi bekerja. Menyingkirkan Dito dari pikiranku yang sekarang entah ada dimana.***Aku menutup telingaku dengan earphone untuk mendengarkan lagu. Lagu-lagu itu menemani ku menyusuri jalan pulang malam ini.Aku berpisah dengan Cary di halte karena ia harus pergi ke rumah temannya. Langkah kakiku berhenti di sebuah lesehan di emperan toko untuk membeli makan malam. "Lele bakar sama es teh satu porsi, Pak!" ucapku menyebutkan pesanan. Aku duduk seraya memainkan ponselku. Aku sudah berusaha mencari kabar Dito dari sahabat-sahabatnya atau rekan kerjanya. Sayang, mereka tidak tahu keberadaan Dito karena memang Dito juga tidak kerja. Bu Susanti nampaknya menyembunyikan Dito dari khalayak ramai.Aku tak pernah mengerti, bagaimana bisa ia memahamiku sejauh ini. Aku adalah perempuan yang butuh perhatian dan waktu. Dito memberikan segalanya dengan peringatan-peringatan kecil agar aku memahami tanggung jawabnya. Tapi di detik ini, Dito benar-benar menghilang! Perkembangan ini semakin membuatku gamang dan resah.***"Mbak... Mbak..." Aku tergeragap seraya tersenyum kaku kepada penjual pecel lele suroboyoan ini."Berapa, pak?" tanyaku sambil merogoh tas tenteng untuk mengambil dompet."Dua puluh lima ribu, Mbak! Ngelamun bae, baru banyak pikiran?" tukasnya dengan perhatian.Aku mengangguk sambil meringis, ku ulurkan uang pas untuk membayar pesanku."Makasih, Mbak. Ati-ati!"Aku mengagumi. kembali memasang earphone seraya keluar dari kedai.Musik menghentak dengan irama electronic dance music yang membuatku menikmati perjalanan ini dengan santai, sesekali aku memanggutkan kepala. Toh malam ini seperti biasa, aku melamunkan wajahnya dan memikirkan Dito.Memasuki lahan kost Cary, aku membuang napas panjang sebelum ku saksikan mobil sedan berhenti di lahan parkir yang di khususkan untuk tamu kost eksklusif bertingkat tujuh ini. Aku tertegun. Ini terlalu rumit untuk di pahami sekaligus. Aku seolah berpijak pada tanah tak seimbang saat Dito mengamatiku dengan tajam sebelum langkah-langkah lebarnya mendekatiku dengan wajah lusuh dan kusam. Dito memelukku dengan erat. Aku bergeming. Apa ini nyata? Atau hanya halusinasi? Aku sungguh dilema, ia menemuiku untuk menyingkirkan keresahan di benakku atau hanya ingin menambah beban lagi?Tanpa sadar aku tak bisa menghentikan air mataku yang membasahi jaketnya. Aku terpukul dengan kejadian kemarin yang begitu membuatku semakin sadar bahwa ada banyak hal yang tidak baik-baik saja sampai kapanpun jika hubungan ini akan terus berlanjut. Dan aku yakin, hubungan ini harus di perjelas arah tujuannya."Apakah harus sekejam itu, Dit? Apa harus sampai ngehancurin apapun dikost ku?"Dito menyapukan pandangannya di wajahku, jari telunjuknya menghapus linangan air mata di pipiku. Dito menggeleng perlahan seraya membenturkan kepalanya di keningku dengan frustasi."Anna..." Aku mengepalkan tanganku hingga bunyi kresek yang aku remas membuat Dito mengalihkan pandangannya, seulas senyum tipis beradu di raut wajahnya."Kamu lapar, Anna?""Kelihatannya?" jawabku malas dengan raut wajah berpikir.Dito tahu aku disini? Apa jangan-jangan Cary memberitahunya? Ya Tuhan, Cary.Dito tersenyum kaku, dia bahkan terlihat tenang sekali meski lingkar matanya menghitam."Pulang, Dit! Ibumu pasti nungguin kamu dirumah." sindirku seraya tersenyum miris. Bu Susanti pasti bakal uring-uringan lagi kalau tahu anaknya masih menemuiku, cewek murahan yang menjadi wahana obsesi anaknya sendiri. Mungkin ini yang tidak Dito ceritakan pada ibunya, seks. Namun seberapa besar salah anaknya, Bu Susanti pasti menepis segalanya dengan dalih yang biasa ia lakukan. Bukan Dito yang salah, aku yang salah.Dito mengerang frustasi, wajahnya terlihat gelisah. Ia membuka mobil dan lantas mencengkeram lenganku seraya mendorongku masuk ke dalam mobil sedan yang menjadi saksi kisah cinta kami menggebu-gebu. Kami pernah memadu kasih di kursi penumpang saat menganggap bahwa dosa besar yang kami lakukan adalah hal biasa."Kamu mau membawaku kemana, Dit?" tanyaku panik, "jangan main-main kamu, Dit." imbuhku memberontak saat ia mencoba memakaikan sabuk pengaman."Aku gak ngajak kamu kemana-mana, Anna. Tenanglah, aku masih kekasihmu." kata Dito sambil membelai rambutku.Aku terdiam, membiarkan radio melantunkan lagu-lagu populer untuk mengisi keheningan selama perjalanan yang entah kemana ini.Namun hatiku semakin tidak tenang saat mobil berbelok ke arah rumah sakit."Kita sampai, Anna!" Aku melihat sekeliling dengan keheranan. "Siapa yang sakit?"Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me