Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
Aku berdecak kesal saat Dito menaruh banyak makanan di atas meja. "Kamu yakin Dit, aku harus makan sebanyak ini?" tanyaku dengan nada kesal. Bagaimana tidak, ia menaruh banyak junk food dan makan penuh karbohidrat meski aku sudah makan. Dito mengangguk tanpa ragu. "Kamu gak gendut-gendut, Beib! Kamu pasti cacingan!" cibirnya langsung tanpa tedeng aling-aling. Aku melotot. Mr.Berlebihan benar-benar nyebelin, tapi aku cinta dan setengah gila dengan segala risiko yang ada. "Aku mungkin cacingan, karena cacingnya yang obesitas kalau setiap hari kamu bawain makanan sebanyak ini!" sungutku sambil membuka bungkus chicken wing dan mengunyah isinya."Kalau gitu aku beliin obat cacing dulu!" Dito segera berlalu dari kamarku.Aku mendesah lelah. Saking cintanya, kadang-kadang Dito bisa berlebihan untuk menunjukkan bahwa ia sangat mencintaiku. Tapi terkadang sikap itu membuatku merasa tidak nyaman karena aku tidak bisa membalasnya dengan cinta yang sama besar dengan apa yang aku terima darinya.
Dito Andreas Dharmasyah keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk di atas betis. Aku menyesal melihatnya seperti itu, ia menjadi titik kulminasi pencapaian seksual ku selama ini. "Beib, kedip dong!" serunya dengan lantang. Ah, aku menunduk dan menelengkan kepalaku. Harusnya aku sudah biasa melihatnya seperti ini. Segar, basah sekaligus menggoda. "Kenapa?" Dito menangkup wajahku yang tersipu malu. "Biasa! Hanya satu yang kurang dengan hubungan kita." Aku tersenyum masam. Dito yang paham dengan maksudku, langsung mencium keningku lembut. "Sabar, Anna! Biarkan aku berpakaian dulu." *** Aku menggoyangkan lengan Dito. Laki-laki ini pasti paham dengan wajahku yang pias dan takut. Bu Susanti tidak pernah menyukaiku sementara putranya begitu memujaku. Keadaan ini benar-benar memusingkan kepala. Aku gamang. Dito mengulum senyum, tangannya menggandengku sebelum masuk ke dalam rumah orang tuanya. Aku gelisah, kerap kali aku mendapati tatapan sinis dari ibunya. Kadang pula
Aku terus terisak saat Dito memakiku dengan kata-kata kasar di dalam mobil.Dia bukan Dito yang ku kenal. Bukan pula ini yang harus ia lakukan, ia hanya perlu menenangkan diri ku sebentar agar aku bisa tenang. Dito dengan ringannya malah membuatku semakin sadar bahwa ini semua percuma.Kepalaku dipenuhi riuh yang begitu ribut. Amarahku menyalak begitu saja saat Dito masih saja mencibirku bahwa aku orang yang tidak sabaran. Aku memaki diri ku sendiri dalam hati untuk memberanikan diri mengatakan unek-unekku selama berhubungan dengannya."Terus mau sampai kapan hubungan kita akan seperti ini? Sampai aku tua, dan kamu akan meninggalkanku saat sariku sudah habis?" kataku sambil menusuk-nusuk dadanya. "Apa kamu gak mikirin aku, mikirin kondisiku! Setiap hari kamu menjejaliku dengan semua keinginanmu. Apa kamu hanya akan terus begini dengan obsesimu sendiri , Dit!" Dito membuang muka, seakan tak acuh denganku."Lihat aku, Dit! Lihat aku! Betapapun aku mengharapkan pernikahan bersamamu, ak
Aku memberengut. Suasana hatiku masih kacau sejak Dito berpamitan agar aku tidak perlu menunggunya datang, aku benar-benar khawatir dia tidak kembali untuk menemuiku lagi. Aku termenung sambil mengingat masa-masa indah dan pahit bersamanya dengan sedikit penyesalan. Apalagi setelah membayangkan perbedaan antara aku dan dia, dan semua stigma kurang ajar yang aku lakukan, aku yakin Bu Susanti sedang memarahi Dito sekarang. Menjelek-jelekkan aku dan meminta Dito meninggalkan ku. Kini, melihat nasibku yang akan terjadi di kemudian hari, semua terasa jauh lebih buruk. "Cemberut aja, Ann! Kenapa, lo?" Cary, teman dari kampung menatapku sambil terheran-heran. Aku mencebik. "Aku sudah bilang sama ibunya Dito kalau anaknya sudah kawin sama aku, Car!" Cary mengumpat seraya menyilangkan jari telunjuknya di kening. Menganggap ku sinting. "Setan yang nyamber lo kayaknya setan gila, Ann! Punya keberanian dari mana lo sampe bilang begitu sama ibunya Dito! Kalau dia jantungan gimana, lo juga y
Hari demi hari berlalu. Aku meringkuk di atas pembaringan seperti anjing resah yang menunggu majikan pulang. Aku kesal sekaligus tak berdaya mendapati bahwa baru beberapa hari berlalu, namun rasanya sudah berabad-abad aku melalui hari-hari setelah pengusiran kemarin. Aku seperti terperosok ke dalam parit berlumpur yang membuat kakiku terjerat akar teratai dan tidak memiliki cara untuk meminta bantuan."Ya elah malah gini amat lo, Ann! Semangat kek, terus ke kantor polisi untuk ngelaporin Bu Susanti atas tindakan tidak menyenangkan dan penyerangan. Itu ada pasalnya tau." ucap Cary, ia menaruh kopi yang beraroma nangka, aroma gorengan juga terhirup oleh hidungku. Aku beranjak dengan malas. "Beneran ada pasalnya? Aku gak tahu pasal-pasal hukum." akuku jujur. Cary mengeluarkan sebatang rokok sebelum menyesapnya. Kepulan asap secepatnya ruang kamar, membuat dadaku sesak tak keruan. "Makanya jangan cuma pinter gaya di atas ranjang! Harus pinter dengan hukum-hukum yang berlaku di negara in